Bijak Bermedia Tanpa Hoaks, Menjaga Ideologi Negara

Oleh : Annisa Swasti Fauza, Mahasiswa Sosiologi, FISIP, UBB


Setiap umat beragama di Indonesia memiliki kepercayaan ataupun aturan yang mengikat diri mereka baik terhadap diri sendiri ataupun lingkungan sosial.

Bersifat religius serta menyebarkan perdamaian untuk hidup bersama merupakan tujuan yang ingin dicapai. Toleransi antar umat beragama di Indonesia bisa dibilang sangat tinggi.

Hal ini bisa dilihat saat pelaksanaan salat jumat umat muslim di masjid, biasanya agama lain yang lewat di sekitaran masjid berusaha menjaga suasana tetap nyaman dan tenang dalam beribadah. Begitupula sebaliknya, saat umat kristiani berdoa di gereja.

Sebagai umat beragama kita harus saling menghargai agar kepentingan yang ada tidak berbenturan, sehingga konflik tidak muncul. Sebab, agama merupakan cara yang ampuh untuk membakar amarah dan emosi masyarakat. 

Bicara agama sangat sensitif karena apabila terlalu liberal maka kemungkinan akan jatuh dalam sekularisasi seperti dalam negara barat dan jika agama itu terlalu radikal ada kemungkinan agama akan jatuh dalam konservatisme.

Akhir-akhir ini di Indonesia banyak bermunculan kelompok-kelompok agama yang bersifat radikal. Sebelum itu, kita harus mengetahui maksud dari radikal itu sendiri. Menurut KBBI, ‘Radikal’ memiliki maksud amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan) ; dan maju dalam berpikir atau bertindak.

Sementara itu ‘ Radikalisme ‘ menurut KBBI adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis ; dan sikap ekstrim. Secara umum, radikalisme ini bersifat keras dan menganggap mereka yang bertentangan haruslah dimusnahkan.

Cara yang biasa digunakan jauh dari kemanusiaan sehingga tak heran apabila senjata api atau bom bunuh diri terjadi. Menurut Mark Juergenmeyer, ahli soal gerakan revivalisme keagamaan menuliskan bahwa ada kerancuan yang mendasar terkait doktrin keagamaan yang dipahami sebagai basis legitimasi untuk berbuat kekerasan atas Negara yang dianggap sekular.

Radikalisme timbul akibat minimnya pemahaman individu terhadap ajaran yang mereka anut. Sehingga, ketika mereka dihasut oleh kata-kata manis dengan embel-embel jihad, langsung ikut perintah saja bagaikan ‘kerbau yang dicolok hidungnya’.

Padahal sesungguhnya arti jihad sendiri dalam agama adalah usaha menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin (petunjuk bagi alam semesta), jihad juga merupakan keinginan diri sendiri untuk melawan sisi negatif yang terpendam dalam diri masing-masing individu.

Maka, makna jihad kerap disalahpahami berjuang hanya di medan perang seperti menggunakan kekerasan dan terorisme.

Padahal menempuh pendidikan dengan belajar sunguh-sungguh untuk membahagiakan orang tua dan mengharumkan nama bangsa merupakan salah satu jihad juga.

Radikalisme merupakan akar lahirnya terorisme apabila tidak ditanggulangi dengan serius. Terorisme sendiri merupakan usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.

Sebenarnya tidak hanya minimnya pemahaman tentang ajaran  agama setiap  individu, akan tetapi wawasan yang kurang luas dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara  bisa menjadi faktor penyebab seseorang menjadi radikal.
Istilah Radikalisme agama bukan merupakan hal yang baru di dunia. Sebab, hal yang berkaitan dengan kelompok ini sudah ada sejak abad 16-19 M.

Di abad tersebut terjadilah peristiwa Perang Salib yang melibatkan dua agama besar pada waktu itu yaitu Islam dan Barat.

Umat muslim kerap dijadikan disebut-sebut sebagai sarangnya kelompok radikal di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada pasca kemerdekaan hingga reformasi. Dimana saat itu, sejak jawa diipimpin oleh Kartosuwiryo pada operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI).

Sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya, gerakan ini dapat digagalkan, akan tetapi muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya.

Namun, yang paling menyita perhatian ialah komplotan Abu Bakar Ba’asyir yang bertanggung jawab pada Bom Bali I dan II.

Sementara untuk kelompok radikal di dunia yang tengah menjadi sorotan ialah militan ISIS.  Bahkan, kini ISIS telah menyebar hingga penjuru dunia dan berhasil menguasai satu kota Negara tetangga, yakni kota Marawi dan Filipina.

Tak heran bila kemudian masyarakat Indonesia, bahkan dunia mempersepsikan bahwa radikalisme telah menjadi bagian dari Islam.

Zaman sekarang, peran media sosial sangat berpengaruh  terhadap persepsi masyarakat. Misalnya saja, media sosial luar cenderung memperlihatkan bahwa umat muslim lah yang merupakan dalang dibalik serangan-serangan yang terjadi di tempat keagamaan akhir-akhir ini.

Tak menutup kemungkinan media sosial bisa menjadi sarana ujaran kebencian ekstrimis kelompok radikalisme agama ini. Bahkan sekilas informasi yang ditampilkan benar-benar terlihat seperti ajaran (akidah) suatu agama tertentu.

Efektivitas media sosial ini lebih komunikatif, interaktif, dan langsung menyasar ke sasaran.
Sebenarnya, fenomena belajar islam online bukanlah suatu persoalan, justru sebagai media dan pendekatan baru pembelajaran.

Namun, tidak banyak dari remaja yang melihat pada latar belakang dan validitas data media sosial yang dikunjungi. Maka dari itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam membendung ideologi yang sekiranya menyesatkan bangsa dan Negara.

Sebab, radikalisme ini bisa merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Rusaknya moral suatu bangsa bisa menghancurkan Negara tersebut dari dalam, yang justru membuat pertahanan serta kesatuan bangsa menjadi goyah dan lemah. Bijak dalam menggunakan teknologi dan menyaring informasi yang ada merupakan peranan mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa. Mulai terbiasa untuk menelaah asal muasal suatu informasi yang bersifat propaganda dan hoaks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait