Luka Pilpres 2019: Awal Pemecah Belah Bangsa

Oleh: Rizky Redha/ Anggota Kebijakan Publik Pengurus Pusat KAMMI

Pilpres 2019 begitu banyak menyisakan luka. Tidak hanya insan Politik namun seluruh bangsa mengalami hal yang serupa. Begitu banyak aura perpecahan terjadi, hingga masih berlangsung hari ini.

Padahal kedua calon sudah berdamai dengan bersatu dalam kabinet yang sama. Jokowi – Ma’ruf Amin menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Prabowo – sandi menjadi menteri. Kedua pasangan bahkan seakan tidak ada beban sama sekali, bahkan menikmati.

Namun para pendukung keduanya, bahkan hari ini masih bersikut sikutan. Dengan sebutan cebong dan kadrun menjadi panggilan yang tak pantas dipertontonkan.

Isu agama seakan menjadi anti bagi petahana, sehingga para buzzeRP pun menjelma menjadi “Tuhan” yang menetukan mana ustad yang harus di-upgrade dan mana ustad yang harus di-downgrade.

Perpecahan ini sangat menyakitkan, terasa hingga pelosok negeri. Tidak hanya tentang pilihan presiden belakang, namun sudah mengakar hingga menjadi dendam pribadi antar pendukung. Bahkan sisa-sisa Pilpres ini meninggalkan tendensi yang besar bagi bangsa ini.

Yang taat beragama dan menyuarakan perintah agama dicap radikal, ekstrimis, hingga teroris. Yang berjiwa nasionalis dianggap radikal, liberal hingga komunis.

Tanpa terasa, bangsa ini menjadi terkotak-kotak menjadi dua bagian besar. Baik dari segi pandangan politik hingga profesi individu. Sehingga sangat terasa begitu nyata perpecahan yang ditinggalkan oleh elite politik pada perhelatan akbar Pilpres 2019.

Hingga hari ini belum ada yang mampu menyatukan kedua belah kubu ini. Belum menemukan titik tengah persatuan Indonesia yang tertuang dalam pancasila. Karena semua mengaku merasa paling pancasila. Entah Pancasila yang mana yang sedang mereka perjuangankan dan gaungkan, yang jelas ego politik ini harus segera dihentikan dan didamaikan.

Pemerintah yang sah juga terlalu menjadi kompor yang terang menyala-nyala. Orang-orang yang menjadi kompor dibiarkan liar berberargumen seenaknya dan bahkan dipelihara dengan baik. Padahal keberadaan mereka membuat gaduh semakin menjadi jadi.

Seharusnya ketika kedua pasang calon dalam Pilpres 2019 kemarin sudah bersatu dan bersama. Bergerak untuk Indonesia. Mereka juga harus mengajak pendukung masing-masing untuk berbenah dan bersama sama dalam satu perjuangan itu. Agar tendensi Pilpres 2019 bisa berhenti dan reda. Namun kedua pasang ini seakan tidak menghiraukan hal ini, bahkan tidak ada satupun perkataan atau ajakan dari keduanya untuk menyatukan bangsa yang terlanjur pecah karena Pilpres tersebut.

Sebentar lagi akan menjadi waktu yang sama. 2024 perhelatan itu akan kembali. Namun hingga sekarang tendensi 2019 itu masih terasa. Akankah tendensi tersebut akan terulang dan semakin menjadi-jadi. Atau tendensi itu akan hilang dan berubah menjadi kekuatan besar untuk bersama?

Yang jelas semua ini harus mulai dibenahi, mental, moral dan intelektual bangsa ini harus kembali pulih. Agar mampu menerima perbedaan dan pandangan dengan bijaksana, bukan dengan cercaarn lewat media maupun sindiran kata-kata dari pemecah belah bangsa.

Sebagai anak bangsa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negeri ini. Kami hanya meminta agar para orangtua yang sedang berkuasa dan akan berkuasa, hentikan Pemecahan bangsa ini dalam bungkus pemilu. Karena luka Pilpres 2019 hingga saat ini masih terasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *