Kriteria Penjamin Klien Permasyarakatan dalam Program Reintegrasi Sosial

Penulis: Msy. Siti Hajir, S.Si., PK Ahli Pertama BAPAS Kelas I Palembang

Swakarya.Com. Sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh Belanda, karena sejarah mencatat negara tersebut berabad-abad menjajah bangsa ini. Salah satu bentuk warisan hukum yang diturunkan oleh Belanda adalah Kitab Undang-Unddang Hukum Pidana (KUHP). Dinamika perkembangan zaman menuntut perubahan konsep hukum dalam KUHP terus digalakkan.

“Dalam Pasal 54 Rancangan KUHP dinyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah:

Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.”

Rancangan KUHP tersebut merupakan implementasi dari sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjadi landasan paradigma baru fungsi pemidanaan masa kini. Fungsi Pemidanaan yang semula bertujuan untuk membalas untuk pembalasan dan penjeraan menjadi suatu upaya reintegrasi sosial pelaku tindak pidana.

Paradigma inilah yang pada akhirnya melahirkan suatu sistem pembinaan pada narapidana yang telah diimplementasikan lebih dari 30 tahun yang lalu oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Sistem pembinaan ini dikenal dengan istilah Sistem Pemasyarakatan.
Namun beberapa masalah muncul seiring perkembangan zaman yang cukup menyita perhatian publik, seperti melonjaknya narapidana yang tidak diiringi dengan kesiapan penampungan Lapas (over capacity) sehingga menyebabkan masalah lain ikut bermunculan diantaranya pelarian narapidana, kerusuhan antar narapidana, dan kekerasan sesama narapidana.

Beberapa masalah tersebut pada akhirnya membuat operasional dan sistem pengawasan di Lapas menjadi tidak maksimal sehingga berdampak pada rendahnya kemampuan negara dalam memenuhi hak-hak narapidana selama dalam proses pembinaan di Lapas.

Terlebih saat pandemi Covid-19, kondisi over capacity tersebut membuat panik pemerintah karena ditakutkan membuat klaster-klaster penyebaran virus corona di seluruh Lapas Indonesia. Pertimbangan tersebut didasarkan pada riset WHO yang menyimpulkan bahwa terdapat 3 objek yang menjadi sumber penyebaran dan penularan Covid-19, yaitu tempat yang ramai, tempat yang sempit, dan tempat tertutup yang tidak memiliki sirkulasi udara yang baik.

Ketiga indikator penyebaran Covid-19 tersebut dimiliki oleh Lapas di Indonesia karena faktor over capacity. Sampai akhir tahun 2021 , over capacity Lapas dan Rutan di Indonesia mencapai 105 persen.

“Untuk wilayah Sumatera Selatan sendiri, over capacity pada 17 Lapas dan 3 Rutan yang mencapai 140 persen. Dengan kapasitas 6.605 narapidana, saat ini Lapas dan Rutan di Sumatera Selatan di huni oleh 16.511 narapidana pada bulan Mei tahun 2022. Persentase over kapasitas ini akan terus merangsek naik sampai dengan tahun 2025 jika merujuk hasil riset Center Detention Studies bersama Tim Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.”

Sehingga pada akhirnya, Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Intergasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 merupakan isi yang berkembang di awal tahun 2020 dan menjadi perhatian masyarakat luas karena banyaknya narapidana yang dibebaskan dengan program asimilasi di rumah.

Berbagai pro dan kontra dari masyarakat bermunculan sebagai respon kepedulian terhadap keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Banyak masyarakat takut kebebasan pelaku tindak pidana dari status narapidana menjadi mantan narapidana dengan proses yang dipercepat membuat mereka kembali mengulangi kesalahan di masa lalu.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sebenarnya fungsi pemidanaan lebih kepada proses reintegrasi sosial pelaku tindak pidana sehingga diharapkan dapat kembali menjadi pribadi yang positif dan berbaur dengan masyarakat luas. Adapun reintegrasi sosial merupakan sebuah proses yang melibatkan peran Pembimbing Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat PK) dalam membimbing dan mengawasi narapidana yang beralih status menjadi Klien Pemasyarakatan di bawah naungan Balai Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat Bapas).

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahn 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan dijelaskan bahwa reintegrasi sosial adalah sebuah proses pemulihan hubungan hidup, penghidupan, dan kehidupan narapidana.

Dalam proses pembimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh PK tidak dapat dilepaskan dari 4 dimensi yang menjadi pendekatan awal dalam pemberian intervensi kepada klien pemasyarakatan. Pendekatan ini merupakan sebuah pendekatan ilmiah untuk memahami individu klien sebagai wujud implementasi salah satu fungsi Bapas yaitu Penelitian Kemasyarakatan.

Adapun 4 dimensi tersebut adalah: 1) karakteristik individu, 2) hubungan keluarga, 3) konteks komunitas, 4) kebijakan negara. PK melakukan penelitian kemasyarakatan melalui 4 dimensi ini sebagai bahan rekomendasi apakah narapidana yang menjadi warga binaan pemasyarakatan (selanjutnya disingkat WBP) layak diusulkan dalam program reintegrasi sosial dengan statusnya sebagai klien pemasyarakatan di bawah pengawasan Bapas.

Salah tugas PK sebagai Pejabat Fungsional Bapas adalah membimbing dan mengawasi program reintegrasi sosial terhadap klien pemasyarakatan. Adapun program reintegrasi sosial yang diimplementasikan bagi klien pemasyarakatan meliputi pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan asimilasi di rumah. Terhadap program reintegrasi sosial dalam bentuk asimilasi di rumah harus didukung oleh surat jaminan dari seorang penjamin.

Pada dasarnya Penjamin bagi WBP sudah dipilih oleh Lapas, namun PK berkewajiban memverifikasi calon penjamin bagi WBP yang akan diikutsertakan dalam program reintegrasi sosial berbentuk asimilasi di rumah. PK menilai kelayakan penjamin berdasarkan hubungan kekeluargaan yang jelas antara penjamin dengan WBP serta domisili penjamin yang valid.

Sebenarnya tidak ada kriteria khusus bagi pihak tertentu menjadi penjamin WBP dalam program reintegrasi sosial. Dalam beberapa aturan terkait reintegrasi sosial, kriteria penjamin ialah pihak yang menyanggupi jaminan bahwa WBP yang telah beralih status menjadi klien pemasyarakatan tidak melarikan diri dan melakukan perbuatan melanggar hukum.

Penjamin juga menyatakan kesediaannya dalam pembimbingan dan pengawasan klien pemasyarakatan selama mengikuti program reintegrasi sosial berbentuk asimilasi di rumah.
Dalam Teori Sumber Hukum Positif dijelaskan bahwa Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku pada suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Jika kriteria penjamin tidak dapat dari ketentuan perundang-undangan yang ada, dapat diambil dari kebiasaan tertulis maupun tak tertulis.

Berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan, kriteria calon penjamin yang dinilai kelayakannya oleh PK secara kontinyu dan tidak melanggar aturan hukum positif merupakan kebiasaan dalam penelitian kemasyarakatan yang dapat dijadikan landaan hukum.

“Dalam Penelitian Kemasyarakatan, kriteria penjamin dapat dilihat pada kondisi calon penjamin yang terdiri dari:

Riwayat Perkawinan Penjamin; merupakan kriteria pertama yang dinilai oleh PK dalam menentukan kelayakan seorang menjadi penjamin, dimana penjamin harus memiliki riwayat perkawinan yang baik dan bukan berasal dari keluarga broken home;

Relasi Sosial Dalam Keluarga; yaitu hubungan yang terjadi secara dua arah (timbal balik), yang terjadi antara dua orang yang berperan secara aktif dan harus berjalan dengan baik.;
Relasi Sosial dengan Masyarakat; yaitu hubungan baik antara penjamin dan masyarakat sekitar;

Pekerjaan dan Keadaan Ekonomi; dimana penjamin harus memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan cukup;

Keadaan Rumah Tempat Tinggal Penjamin; yaitu rumah yang layak dan nyaman bagi klien yang secara tidak langsung berdampak pada keberhasilan program reintegrasi sosial;

Kondisi Alam Tempat Tinggal Penjamin; yaitu kondisi yang akan membantu klien menghabiskan waktunya dengan aktivitas bermanfaat sehingga ia tidak lagi terjerumus ke dalam perbuatan melawan hukum.”

Selain penilaian 6 kondisi tersebut, PK juga harus menilai calon penjamin dari faktor usia, riwayat kesehatan dan pendidikan. Usia yang matang dan lebih tua dari klien diharapkan mampu memberikan pengalaman dan pembelajaran hidup bagi klien. Begitu juga dengan riwayat kesehatan yang baik, akan menjadi pondasi yang kokoh bagi seorang penjamin dalam mengawal proses pembimbingan dan pengawasan bagi klien pemasyarakatan. Serta tingkat pendidikan sangat mempengaruhi manajerial seorang penjamin dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana tersirat dalam “Perjanjian Sebelum Reintegrasi” dan “Komitmen Bersama” yang sudah disepakati dan ditandatangani bersama PK sebelum pelaksanaaan Reintegrasi Klien Pemasyarakatan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *