Tidak Ada Ruang Restoratif Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Penulis, Swakarya.Com. Sudirman, SH
Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang

Swakarya.Com Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah dimulai dibahas sejak tahun 2012 dan akhirnya membuahkan hasil dengan telah disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tanggal 12 April 2022.

UU TPKS telah mengakmodasi enam elemen kunci dalam RUU TPKS, yakni Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pemidanaan, Hukum acara khusus penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Hak korban dan keluarga korban, Pencegahan, Koordinasi dan Pengawasan. RUU TPKS juga telah mengatur sembilan bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yakni : Pelecehan seksual non fisik, Pelecehan seksual fisik, Pemaksaan kontrasepsi, Pemaksaan sterilisasi, Pemaksaan perkawinan, Penyiksaan seksual, Eksploitasi seksual, Perbudakan seksual, Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Hal yang perlu digaris bawahi bahwa RUU TPKS mengakomodir Kekerasan seksual berbasis elektronik sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual. Rumusan ini memberikan jawaban atas kekosongan hukum terhadap kekerasan seksual yang juga terjadi didunia digital atau online yang tidak dapat dijangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.

Ancaman pidana terhadap pelaku TPKS juga diatur didalam RUU TPKS yakni kepada pelaku dapat dijatuhkan pidana penjara, pidana denda atau pidana lainnya menurut ketentuan undang-undang.

Disamping pidana pokok, pelaku TPKS dapat dijatuhkan pidana tambahan yakni pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampunan, pengumuman identitas pelaku dan perampasan keuntungan dan atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.

Selain dijatuhi pidana, pelaku TPKS dapat dikenakan tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan restitusi yang harus diberikan pelaku terhadap korban. Didalam RUU TPKS telah mengakomodasi hak korban yakni meliputi

Hak Atas Penanganan Perkara yakni Hak korban atas Informasi penagangan perkara baik itu proses dan hasilnya, perlindungan dan pemulihan, layanan hukum dan penguatan psikologis.

Hak Atas Perlindungan yakni Hak korban atas perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan dan perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban.

Hak Atas Pemulihan yakni Hak korban atas Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Mental dan Sosial serta Restitusi.

Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat berakibat terhadap korban mengalami kerugian baik kerugian materi, fisik dan psikis.

Didalam lingkungan masyarakat banyak yang menganggap remeh dalam penyelesaian permasalahan TPKS ini, ragam penyelesaian di masyarakat ada yang dengan cara pelaku membayar ganti rugi dengan uang, ada yang menikahkan korban dengan pelaku, bahkan ada yang dengan cara pelaku membayar denda kepada lingkungan masyarakat.

Meskipun penyelesaian-penyelesaian permasalahan TPKS itu sangat jelas tidak bisa mengembalikan korban ke keadaan semula dimana terdapat hal seperti trauma yang dialami dan memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menghilangkan trauma atas tindak pidana kekerasan seksual tersebut, terlebih lagi bila pelaku dinikahkan kepada korban dimana korban akan hidup dengan pelaku yang mana ada potensi pelaku akan melakukan kekerasan lagi terhadap korban.

Pendekatan restorative justice adalah sebuah alternatif penyelesaian perkara tindak pidana melalui mediasi dengan mempertemukan korban dan pelaku beserta pihak-pihak lain dengan berfokus pada pengembalian ke keadaan semula baik pelaku maupun korban.

Dalam Penangangan Penyelesaian tindak pidana dengan sistem hukum pidana di negara kita saat ini lebih mengedepankan pendekatan keadilan restoratif. Telah banyak Payung hukum yang mengatur Sistem pidana yang mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, seperti
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Nomor 1691/ DJU/ SK/ PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Bila dikaitkan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Restorative Justice memang memiliki tujuan yang baik yakni pengembalian kedalam kondisi semula dimana setelah terjadinya tindak pidana namun yang menjadi permasalahan apakah kemudian Restoratif Justice dapat menjamin menghadirkan rasa kedilan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual dimana mengingat begitu banyaknya kerugian korban baik itu kerugian meteril, fisik dan psikis serta proses penyembuhan trauma yang begitu panjang bahkan seumur hidup.

Tindak Pidana kekerasan seksual akan memiliki kekhususan penanganan di banding tindak pidana yang lain. Tindak Pidana Kekerasan seksual akan menimbulkan banyak akibat negatif terlebih lagi apabila yang menjadi korban adalah anak dimana seorang anak masih membutuhkan waktu untuk tumbuh dan kembang, hal tersebut akan sangat berbekas dan akan meninggalkan ingatan yang lama baik secara fisik maupun secara internal.

Perhatian terhadap pemulihan korban kekerasan seksual dan pemidanaan bagi pelakunya perlu sebanding dengan perhatian kita untuk mencegah peristiwa berulang. Tindakan yang diterima oleh korban bisa mengubah hidupnya secara drastis dengan berbagai dampak yang dialami antara lain stress yang berujung depresi, trauma, dan penyakit-penyakit lainnya hingga korban dapat mengakhiri hidupnya sendiri.

Pendekatan restorative justice hanya dapat dijadikan pendekatan penyelesaian perkara jika pelaku adalah seorang Anak, sebagaimana dituangkan Didalam Pasal 5 Ayat (1) UUNo. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.

Sehingga pantas bila tidak ada ruang Restoratif Justice terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pendekatan Restorative Justice tidak bisa dijadikan sebagai solusi terhadap penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual.

Bentuk pemikirannya ialah dimana Restoratif Justice kurang bisa melindungi korban, hal ini akan mengakibatkan munculnya pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual bisa diselesaikan dengan ganti rugi, juga tidak ada jaminan keamanan bagi korban jika ada ancaman kembali dari pelaku.

Penguatan konsep Restorative justice hendaknya terus dilakukan agar lebih mengutamakan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual serta mendapatkan haknya untuk pulih kembali dari trauma dan keadaan sosialnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *