Merajut Kembali Pendidikan Dalam Menanggulangi Siswa Putus Sekolah di Negeri Serumpun Sebalai


Penulis: Nadila, Mahasiswa Sosiologi, Fisip, UBB

Pangkalpinang, swakarya.Com. Pendidikan merupakan nyawa kehidupan anak bangsa serta kebutuhan dasar masyarakat sebagai sarana untuk tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penuntun masyarakat menuju taraf hidup yang lebih baik. Puncak peradaban manusia dimulai dari pendidikan. Perubahan sosial dapat dicapai melalui pendidikan hingga menjadi masyarakat modern.

Namun, banyak orang tidak bisa mengenyam pendidikan. Statistik Pendidikan 2019 menampilkan informasi tentang potret pendidikan Indonesia. Angka putus sekolah di Indonesia pada tahun 2019 adalah 4 dari 1000 siswa sekolah dasar. Namun, hal ini semakin signifikan di tingkat sekolah menengah, di mana 18 dari 1000 siswa sekolah menengah putus sekolah.

Angka putus sekolah untuk siswa laki-laki lebih tinggi daripada siswa perempuan. Angka putus sekolah di perdesaan juga lebih tinggi dibanding di perkotaan. Pemerintah telah memulai program wajib belajar 12 tahun untuk mengatasi putus sekolah (Badan Pusat Statistik, 2019).

Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), sebanyak 1.228.792 siswa putus sekolah usia 7-12 tahun, dan sebanyak 936.674 siswa putus sekolah usia 13-15 tahun. Sedangkan anak usia 16-18 tahun putus sekolah sebanyak 2.420.866 orang.

Pada 2019, sebanyak 4.586.322 siswa putus sekolah di Indonesia. Kepedulian masyarakat terhadap kondisi pendidikan saat ini patut diapresiasi. Sebagian masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan mengambil peran dan berinisiatif menyelenggarakan program pendidikan alternatif. Seringkali pendidikan alternatif ini berkembang di daerah pinggiran kota.

Seringkali kita saksikan di Sekitaran Kota Pangkalpinang yang biasanya di daerah Lampu Merah atau persimpangan jalanan yang bekerja sebagai penjual kerupuk, penjual tissu, dan ada juga yang bekerja sebagai pengamen jalanan, bahkan ada yang menjual koran.

Usia yang masih belia banyaknya anak yang seharusnya menginjak usia untuk mengenyam pendidikan mengalami putus sekolah. Anak putus sekolah atau anak marjinal yang terpaksa bekerja mencari nafkah tidak bisa mengenyam pendidikan formal.

Diperlukan pendidikan alternatif untuk menjangkau anak-anak yang bekerja dari pagi hingga sore atau malam hari. Dengan demikian, pendidikan alternatif ini menjadi solusi layanan pendidikan bagi anak-anak putus sekolah untuk memperoleh hak pendidikannya sebagai warga negara.

Penyelenggaraan pendidikan alternatif di Indonesia meliputi taman baca komunitas, sanggar anak, sekolah singgah, sanggar alam, pendidikan kesetaraan, dan sekolah rumah. Kendala yang sering dihadapi pendidikan alternatif terkait dengan formalitas institusi (Ananda, 2018).

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) PT Rumah Pelangi merupakan salah satu pendidikan alternative di Bangka Belitung. Institusi ini memberikan pendidikan kesetaraan di tengah kondisi masyarakat dimana banyak anak putus sekolah akibat masalah ekonomi keluarga, serta tempat anak-anak untuk menyalurkan bakat yang dimiliki, agar bisa dikembangkan dengan baik.

Melalui pendidikan non formal rumah pelangi bisa berkontribusi untuk memberikan pendidikan yang tepat atau berguna dalam menyalurkan keterampilan, baik itu menanyi, menari, akting drama, modelling, atau bahkan bakat lainnya.

PKBM bertujuan untuk membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, sekolah, keterampilan, dan mentalitas untuk pengembangan ekonomi mandiri. PKBM mempunyai tugas pokok memberikan kemudahan kepada masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 Ayat 12, “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” (Republik Indonesia, 2003). Pendidikan nonformal dapat berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan sebagai institusi yang mandiri.

Selain itu diperlukan juga kesadaran masyarakat apa yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Bangka Belitung ini, apa yang menyebabkan hal demikian bisa terjadi. Ada dua faktor yang mendasari hal tersebut, yakni faktor internal dan faktor eksternal.

Apabila dilihat secara aspek sosiologi mengenai faktor internal atau faktor dari dalam diri individu itu sendiri adalah itu di dasari oleh sikap bawaan nya sendiri, sikap yang diakibatkan oleh kurang semangat dalam belajar, individu merasa malas dalam mengenyam pendidikan, bahkan kurangnya penanaman dalam jiwanya sendiri mengenai pentingnya belajar dan menuntut ilmu demi masa depan, hal ini di karenakan tidak ada niat untuk belajar. Solusi dari masalah faktor internal di atas adalah kita harus bisa memberikan pengarahan akan pentingnya belajar, memberikan sosialisasi kepada anak-anak, serrta cerita yang bisa memotivasi sang anak agar bisa menutut ilmu dengan sungguh-sungguh.

Sangat disayangkan sekali di usia muda sekarang ini kita menyia-nyiakan waktu untuk mengenyam pendidikan.

Sedangkan Faktor yang kedua itu sendiri berasal dari faktor luar diri seorang anak. Apabila kita melihat dari aspek sosiologi yang mendasari hal tersebut adalah akibat dari pergaulan yakni tahap Play stage atau tahap bermain.

Apabila seorang anak bergabung atau bermain dengan anak-anak diluar sana yang pergaulan nya sudah tidak sekolah lagi,hal ini seringkali kita lihat bahwa anak yang usianya masih terbilang mengharuskan untuk masuk sekolah dasar sudah putus sekolah karena melihat teman nya yang juga putus sekolah, mereka biasanya sudah bisa mencari uang dengan caranya sendiri yakni berjualan di persimpangan lampu merah disekitaran pangkal pinang.

Selain itu juga bisa kita saksikan banyakya fenomena sosial di Desa yang sebagian usia remaja sudah putus sekolah, yang seharusnya mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah putus sekolah ditengah jalan. Yakni akibat dari faktor pergaulan sesama remaja, bisa itu menyangkut pergaulan bebas, maupun akibat pergaulan di dunia kerja.

Jika kita melihat dari faktor pergaulan bebas hal ini didasarkan atas pergaulan yang berlebihan antara anak laki-laki dan anak perempuan sehingga menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini, tak hanya sampai disitu mengalami kelahiran anak dibawah umur juga menekankan terjadinya resiko yang cukup serius untuk ditindak lanjuti bisa berakibat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa yang akan datang.

Hal ini dapat menyebabkan terjadinya stunting dan juga gizi buruk dalam mentalitas pendidikan anak ke generasi selanjutnya.
Disisi lain kita juga bisa melihat bahwa banyaknya anak-anak yang putus sekolah dikarenakan faktor keluarga yang kurang mampu atau masalah ekonomi yang kurang yang melibatkan mereka terjun ke dunia kerja.

Kurangnya keunagan sehigga menyulitkan merekaa yang kurang mampu untuk belajar menggunakan laptop dan tidak ada uang. Kenyataan yang sebenarnya bisa kita simak dengan fenomena kegiatan pertambangan timah di Bangka Belitung, banyaknya anak-anak yang berusia sekolah melakukan kerja tambang timah atau sering kali kita sebut dengan begawe Ti Tungau, Ti sebu, dan sebagian juga ada yang ikut serta Ngelimbang Timah.

Hal inilah yang membuat mereka kian tertarik akan ekerja karena bisa meraup keuntungan dari pundi-pundi rupiah hanya dengan bekerja di Ti, dibandingkan mereka yang hanya duduk di kursi sekolah dengan rasa yang jenuh dan kurang bersemangat.

Lantas adakah solusi yang tepat terkait kurangnya kualitas pendidikan wajib 12 tahun di Bangka Belitung ini. Ada beberapa hal yang bisa mengurangi tingkat dari rendahnya kualitas pendidikan di Bangka Belitung saat ini. Yakni dengan cara memberikan bantuan kepada mereka yang layak dalam mengenyam pendidikan baik itu berupa dana BOS, maupun fasilitas penunjang seperti Laptop dan juga buku penunjang pendidikan.

Memberikan sosialisasi atau arahan motivasi dan mengumpulkan anak anak jalanan yang tidak sekolah lagi untuk diberikan acuan pendidikan meskipun hanya sekadar pendidikan non formal. Ada juga alternatif lain nya, pemeritah bisa mmemberikan sekolah Paket bagi anak-anak yang putus sekolah sehingga anak tersebut bisa lagi mengenyam pendidikan meskipun hanya dengan sekolah paket A,B,dan C.

Salah satu alternatif yang dapat menurunkan angka putus sekolah atau menampung siswa putus sekolah adalah pendidikan nonformal. Namun dalam perjalanannya, pasti ada kendala yang membuat program kurang efektif. Tentunya evaluasi diperlukan untuk perbaikan dan pengembangan agar lebih efektif di masa mendatang. Pendidikan alternatif melalui program pendidikan kesetaraan seperti Kejar Paket A, B, dan C, telah menyadarkan siswa akan pentingnya pendidikan bagi dirinya.

Mereka menyadari bahwa penyebab putus sekolah bukan hanya karena nasib dan ketidakmampuan siswa, tetapi juga karena sistem pendidikan yang masih kurang sesuai untuk anak jalanan dan anak marjinal yang harus bekerja pada pagi hingga sore hari. Itu membuktikan peran beberapa pendidikan nonformal harus terus ditingkatkan. Pendidikan memiliki peran yang cukup signifikan.

Namun, lembaga lain juga memainkan peran penting lainnya. Kontribusi dalam memberikan kesempatan kepada siswa putus sekolah untuk memperoleh Pendidikan yang setara.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *