Ketika Justice Collaborator Tidak Lagi Menjadi Syarat dalam Narapidana Khusus Memperoleh Hak Remisi dan Integrasi Sosial

Penulis, Swakarya.com. Surya Irawan, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat pelaksanaan pembinaan narapidana, dalam pelaksanaan pembinaan tersebut tentunya ada hak dan kewajiban narapidana. Hak-hak narapidana tersebut diatur didalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimana salah satu haknya adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), kesempatan berasimilasi termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang bebas, dimana hak-hak ini diperoleh tanpa harus melihat perbedaan dari segi tipologi kejahatan yang dilakukan.

Namun ketika terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 pada tanggal 12 November 2012, PP ini dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, khususnya hak remisi dan integrasi sosial bagi narapidana dengan pidana khusus. Kemudian, sebagai petunjuk pelaksanaan dari PP No.99 Tahun 2012, diterbitkanlah Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013.

Didalam permenkumham tersebut Pasal 6 sampai dengan 9 mengatur tentang Pemberian Remisi bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme, Narapidana tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta psikotropika dengan pidana minimal 5 tahun, Narapidana korupsi, Narapidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, dimana salah satu persyaratan untuk mendapatkan remisi adalah terpidana harus bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum, Inilah yang disebut dengan Justice Collaborator atau disingkat JC. Begitu juga dengan Hak Narapidana memperoleh Integrasi Sosial Pembebasan Bersyarat, tertuang didalam pasal 51 sampai dengan pasal 53 Permenkumham RI Nomor 21 Tahun 2013 mensyaratkan hal yang serupa yakni JC.

JC adalah sebutan terhadap pelaku tindak pidana yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum (APH) dalam memberikan keterangan dan bantuan terhadap perkara tindak pidana dan juga tidak menyembunyikan fakta-fakta hukum atau hal lain yang ia ketahui. Status JC tersangka/terpidana ini dibuktikan dalam surat tertulis yang dikeluarkan oleh APH sebagai bukti bahwa tersangka/terpidana tersebut sebagai Justice Collaborator.

Seiring berjalan kemudian Permenkumham RI Nomor 21 Tahun 2013 ini mengalami perubahan lantas diterbitkannya Permenkumham RI Nomor 21 Tahun 2016.

Kemudian pada tahun 2018, Permenkumham No.21 Tahun 2016 ini diganti dengan Permenkumham RI No.03 Tahun 2018. Pada Tahun 2019, permenkumham No.03 Tahun 2018 mengalami perubahan dengan terbitnya Permenkumham RI No.18 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018. Dimana dalam semua Permenkumham ini mensyaratkan status JC Narapidana menjadi syarat dalam pemberian Remisi dan Integrasi Sosial Narapidana.

Barulah pada akhir tahun 2021, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2021 Pihak Mahkamah Agung (MA) memutuskan mengabulkan Gugatan Tata Usaha Negara terhadap PP No. 99 Tahun 2012.

Gugatan yang teregister dengan nomor 28P/HUM/2021 tercatat diajukan oleh pemohon bernama Subowo Subowo dan empat rekannya yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sukamiskin, Bandung Jawa Barat kepada termohon Presiden RI. Uji materi ini menyasar pada PP Nomor 99 Tahun 2012 Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3). Menindaklanjuti Putusan MA yang mengabulkan Gugatan terhadap PP No. 99 Tahun 2012 ini dan untuk mewujudkan keadilan serta kepastian hukum maka Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi RI sebelum 90 hari setelah putusan MA tersebut atau tepatnya pada hari ke 89 dimana diatur didalam PerMA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil pada Pasal 8 ayat 2, mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Uji Materi, pemerintah masih memiliki waktu  90 hari setelah putusan, akhirnya pada tanggal 27 Januari 2022 diterbitkannya Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 sebagai perubahan kedua atas Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018.

Salah satu unsur terpenting didalam Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 ini adalah pengahapusan Syarat JC narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme, Narapidana tindak pidana narkotika dengan pidana minimal 5 tahun, Narapidana korupsi, Narapidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya dalam memperoleh Hak berupa Remisi dan Integrasi Sosial.

Walaupun demikian, Permenkumham ini tidak serta merta menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak narapidana sebagaimana dimaksud didalam PP No. 99 tahun 2012, Untuk pemberian hak bagi narapidana terorisme tetap mempersyaratkan bahwa narapidana terorisme harus menyatakan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia dan telah mengikuti program deradikalisasi dengan baik sedangkan untuk narapidana perkara korupsi Permenkumham ini mempersyaratkan untuk membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan hak Remisi maupun integrasi (PB, CB dan CMB).

Sejak diterbutkannya PP No.99 Tahun 2012 sampai saat ini yang berarti sudah kurang lebih 10 tahun persyaratan JC menjadi hal yang wajib bagi narapidana khusus tersebut dalam memperoleh Hak Remisi dan Integrasi Sosial (PB,CB dan CMB), tentunya dengan seiring berjalannya waktu tentu semakin rentan dalam hal penyelewengan kewenangan dalam pengurusan penerbitan status JC tersebut. Sejatinya Lapas tempat pembinaan narapidana, dalam memberikan hak-hak narapidana tidak boleh diintervensi oleh pihak aparat penegak hukum lainnya, sebagaimana diketahui JC diterbitkan oleh pihak Aparat penegak hukum lain. Melalui Permenkumham Nomor 7 tahun 2022 ini menjadikan pemberian hak-hak narapidana kembali ke jalurnya yang menjadi pedoman pemasyarakatan yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimana apa yang diamanahkan didalam Undang-Undang Pemasyarakatan dimana salah satu asas dalam pemberian hak narapidana adalah asas persamaan perlakuan dan pelayanan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. Artikel nya up to date, dpt memberi pencerahan bagi APH khususnya petugas lapas, rutan dan Bapas..🙏👍🏻😎

Berita Terkait