‘Idul Fithri, Fithriku Fithrimu Fithri kita

Penulis: Rozi, Dosen Agama Islam FE UBB

Swakarya.com Tanpa terasa bulan Romadhon tahun 1443 Hijriyah yang bertepatan pada tahun 2022 Masehi sudah kita lewati bersama. Tentunya banyak sekali peristiwa menarik yang terjadi di dalamnya.

Peristiwa yang tak kalah juga luar biasa menariknya di tahun ini adalah adanya perbedaan pendapat terkait awal masuknya bulan suci Romadhon. Akan tetapi, perbedaan itu diterima dengan lapang dada. Sehingga kita dapat menjalankan ibadah puasa sebagaimana mestinya.

Tanpa adanya perdebatan panjang yang sampai mengakibatkan ketidakrukunan antar sesama. Karena memang sejatinya, berbeda pendapat terkait suatu persoalan, sudah seharusnya disikapi dengan bijaksana dan lapang dada.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, Al-Ikhtilafu Ummatiy Rohmatun “perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat”. Oleh sebab itu, tak elok jika perbedaan harus disikapi dengan ketidakdewasaan yang berlarut.

Dalam ajaran Islam, penganutnya dituntut untuk selalu menebarkan kasih sayang. Karena Islam agama yang mengajak bukan mengejek, mengasihi bukan mencaci, memudahkan bukan menyusahkan, dan mencintai bukan membenci. Oleh sebab itu, perbedaan yang sudah terjadi musti disikapi dengan hati yang suci. Toh, pada akhirnya kita menuju hari kemenangan di hari dan waktu yang sama yaitu 1 Syawal 1443 H/2 Mei 2022 M.

Berbicara mengenai ‘Idul Fithri, maka ada baiknya kita menelaah kembali apa makna yang tersirat di dalamnya? Kata ‘id berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti kembali, yakni kembali kepada keadaan semula. Sedangkan kata Fithri memiliki arti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.

Dengan demikian, jika disatukan, maka makna dari ‘Idul Fithri memiliki arti yakni kembalinya manusia kepada keadaan sucinya atau keterbebasannya dari segala belenggu dosa dan noda. Akhirnya manusia berada dalam kesucian. Oleh sebab itu, pada hari yang Fithri manusia dituntut untuk saling maaf memaafkan satu sama lainnya, baik sifatnya lahiriah maupun batiniah.

Di hari yang Fithri ini juga, manusia dituntut untuk selalu menjalin hubungan baik dengan sesamanya. Sebagaimana penamaan manusia itu sendiri berakar dari kata al-Insan. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata al-Insan terambil dari kata uns, yang bermakna senang atau harmonis.

Demikian itu dapat dipahami bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya dan selalu merasa senang. Jadi dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia maka hubungan yang seharusnya harmonis akan terganggu. Akan tetapi, hubungan antar sesama manusia itu akan kembali harmonis asalkan dirinya menyadari kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja ataupun tidak. Sehingga dirinya dituntut untuk berusaha mendekat kepada siapa saja yang pernah dilukai hatinya guna mendapatkan maaf darinya.

Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa kata “maaf” memang pendek jika diucapkan namun berat dipraktikkan. Hal itu mungkin dipicu oleh gengsi mendahului atau memang tidak mengerti tentang keistimewaan kata maaf jika dipraktikkan.

Padahal, memaafkan kesalahan orang lain merupakan amalan penghuni Surga. Sebagaimana dalam Hadis riwayat Thabrani, Rosulullah SAW bersabda “Barangsiapa memaafkan saat ia mampu membalas (memberi maaf), maka Allah akan memberinya maaf pada hari kesulitan”.

Bicara soal maaf-memaafkan, saya juga teringat suatu cerita yang sangat istimewa. Cerita ini sudah ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Di mana pada suatu hari Rosulullah SAW berkumpul dengan para sahabat di Masjid. Saat itu juga beliau mengatakan bahwa akan ada ahli Surga yang datang. Kemudian datanglah seorang Arab Badui masuk ke dalam Masjid. Para sahabat pun bingung dan penasaran, sebab apa gerangan orang Badui tersebut dikatakan ahli Surga?

Karena penasaran akhirnya sahabat Abdullah bin Amru bin ‘Ash memiliki inisiatif untuk mencari tahu alasannya. Setelah mengetahui rumah Arab Badui tersebut maka Abdullah meminta izin untuk menginap di rumahnya selama beberapa hari.

Setelah menginap cukup lama yaitu tiga hari lantas ia tidak menemukan amalan istimewa yang sekiranya menjadikan orang Badui tersebut ahli Surga. Karena masih penasaran, maka Abdullah memberanikan diri untuk bertanya langsung terkait amalan apa yang orang Badui tersebut lakukan sehingga dikatakan penghuni Surga oleh Rosulullah?

Orang Badui tersebut pada awalnya sempat bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan, namun pada akhirnya dia pun menjawab bahwa “Sebenarnya setiap malam sebelum aku tidur, aku selalu mendoakan orang-orang dan memaafkan semua kesalahan mereka serta mengikhlaskan semua perbuatan buruk mereka terhadapku, kemudian aku berdoa untuk mereka dan untuk aku juga, agar tidak iri dengki terhadap mereka”. Mendengar jawaban orang Badui tersebut, lantas Abdullah berucap bahwa “Sekarang aku yakin dengan pernyataan Rosulullah yakni engkau adalah calon penghuni Surga”._

Berangkat dari penjelasan itu semua, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di hari yang Fithri ini marilah kita jadikan sebagai momentum untuk saling memaafkan. Kita buang jauh-jauh segala sifat iri, dengki, hasad, hasud, egoisme, emosi, dan lain sebagainya.

Hal itu dikarenakan, ‘Idul Fithri mengandung pesan agar merayakannya guna mewujudkan kedekatan kepada Allah SWT dan sesama manusia. Kedekatan tersebut dapat diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kekeliruan atau kesalahan yang telah diperbuat, baik disengaja maupun tidak disengaja. Karena sejatinya, ‘Idul Fithri bukan milik per-individu ataupun kelompok. Akan tetapi, ‘Idul Fithri merupakan milik semuanya. Karenanya dapat diistilahkan bahwa ‘Idul Fithri adalah Fithriku, Fithrimu, Fithri kita semua. Dengan demikian itu, marilah kita merayakan hari kemenangan ini dengan penuh suka cita dan bahagia.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait