Pencemaran Nama Baik di Media Sosial dan Ancaman Pidananya

Penulis: Leyla Dana

Penggunaan media sosial semakin hari semakin berkembang. Banyaknya fitur yang disediakan oleh berbagai media sosial, menyebabkan penggunaan media sosial merambah berbagai kalangan. Mulai dari para remaja, orang tua, bahkan anak-anak sudah menggunakan media sosial

Apalagi di masa pandemi Covid-19, di mana hampir semua sektor mau tak mau harus beralih ke sistem online. Seperti misalnya sektor pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi mengharuskan siswanya untuk belajar dari rumah.

Banyaknya waktu yang dihabiskan di rumah, membuat masyarakat menggunakan media sosial baik untuk urusan pekerjaan, seolah ataupun hanya sebatas saling berkomunikasi dengan keluarga, teman sejawat, rekan kerja, dan lain-lain.

Namun tak ayal, di samping sisi positif penggunaan media sosial, terdapat pula sisi negatifnya. Seperti misalnya kasus pencemaran nama baik di media sosial yang kerap kali kita dengar sebagai akibat dari bebasnya masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya di dunia maya.

Menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

Penjelasan itu merupakan pengertian pencemaran nama baik menurut hukum pidana. Lantas bagaimana dengan pengertian pencemaran nama baik di media sosial?

Seperti yang kita tahu, media sosial merupakan  media untuk saling berhubungan, dan karena dilakukan secara online, siapapun dapat saling berinteraksi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ibarat mata pisau, penggunaan media sosial juga tergantung dari si penggunanya, Jika digunakan secara bijaksana, maka media sosial dapat menyelesaikan berbagai masalah. Namun jika digunakan sebaliknya, media sosial justru menimbulkan berbagai masalah dan bahaya.

Jika disalahgunakan, media sosial dapat menjadi sarana untuk menyerang kehormatan dan menjelekkan nama orang lain. Sebelum maraknya penggunaan media sosial, istilah “mulutmu adalah harimaumu” kerap kali kita dengar.

Namun, seiring dengan banyaknya penggunaan media sosial atau internet, istilah itu kini berganti menjadi “jarimu adalah harimaumu”. Arti dari ungkapan tersebut adalah apa yang dituliskan oleh jari kita melalui sosial media dapat menjadi sesuatu yang berbahaya untuk diri kita sendiri ataupun untuk orang lain.

Walau tak bertatap muka, terkadang tulisan kita di internet dapat menyakiti atau mempermalukan orang lain (cyberbullying). Perundungan di dunia maya atau cyberbullying dapat mengganggu psikis seseorang yang menjadi korban atas perbuatan tersebut. Karena ketika seseorang sudah merasa diambang batas rasa malu karena telah dipermalukan, maka tak menutup kemungkinan korban dapat bertindak dengan tanpa memikirkan akibat jangka panjang, yaitu mengakhiri hidupnya. Korban akan merasa tidak ada gunanya lagi hidup dengan keadaan yang harus dia hadapi.

Semua pihak harus menyelidiki secara serius dan segera jika suatu masalah muncul dan, jika diabaikan, dapat menimbulkan risiko dampak yang luar biasa. Karena sebuah percikan api dapat menyebabkan kebakaran besar. Penghinaan juga sering dijadikan sarana balas dendam karena tidak menerima perlakuan seseorang. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja dengan maksud untuk mempermalukan dengan berbagai alasan. Tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh pihak-pihak yang terlibat. Setiap orang harus bisa menghormati dan menghargai nilai-nilai mereka.

Untuk mencegah hal-hal tersebut dan menjamin masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum di ranah maya, maka pemerintah membuat ketentuan Undang-undang ITE. Yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.

Meski demikian, adanya UU ITE hingga saat ini masih menjadi kontreversial. Pasalnya di kenyataan, UU ITE kerap disalahgunakan oleh orang yang tak bertanggung jawab hingga berkuasa. UU ITE yang seharusnya menjamin kepastian hukum di ranah maya, malah memojokkan dan membungkam pihak yang kritis.

Dilansir dari narasi.tv pada Sabtu, 5 Maret 2022, hal ini juga dibenarkan oleh Koordinator PAKU ITE, M Arsyad. Menurut Arsyad, pembungkaman kritisisme melalui UU ITE itu terjadi di beberapa kasus.

“Ada jurnalis Zakki Amali, yang investigasi plagiasi rektor dilaporkan, lalu Ibu Deni yang melawan korporasi soal hak atas air di wilayahnya, juga dikriminalisasi lewat UU ITE,” kata Arsyad.

Aktivis SAFEnet Ellen Kusuma mengatakan mayoritas dari orang yang terjerat UU ITE itu di kasus pencemaran nama baik.

“Motifnya macam-macam, balas dendam, barter kasus dan ada juga yang tadi, membungkam kritisisme,” jelasnya.

Dibalik positif dan negatif media sosial dan UU ITE, semua itu hanyalah tergantung dari si penggunanya. Alangkah baiknya jika masyarakat berpikir sejenak sebelum membuat tulisan di internet atau media sosial, berpikir tentang dampak negatif dari tulisan yang akan diposting.

Jangan sampai hanya dikarenakan oleh emosi sesaat, maka membuat tulisan yang menyinggung orang lain dan menyebabkan masalah baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika Anda tidak ingin mendapatkan hasil yang buruk, Anda tidak boleh melakukan hal-hal yang buruk. Dengan kata lain, jika ingin dihormati, sangat penting untuk menghormati orang lain. Dalam hidup kita harus bisa meghargai manusia. Segala perilaku menyimpang membawa risiko berupa sanksi hukum dan sanksi sosial yang harus ditanggung oleh semua pelakunya.

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *