Ketika Barat Dan Timur Disatukan Oleh Adam Smith

*Catatan Perjalanan Denny JA

“Di sini ada grup studi mahasiswa dan kelompok bisnis dari Cina yang tinggal di London. Mereka datang dari generasi baru. Sangat antusias mereka mendalami dunia bisnis, pasar bebas. Pahlawan mereka bukan lagi Mao Tse Tung, tapi Adam Smith, bapak ekonomi modern, sekaligus bapak kapitalisme.”

Dosen itu bicara sangat antusias. Ia begitu semangat menceritakan dan membagi apa yang menurutnya benar.

Lanjut ia berkata: “Saya baru pulang dari Cina. Negara Cina hampir pasti mengalahkan Amerika Serikat sebagai kekuatan pertama ekonomi dunia.”

“Tapi ada yang berubah di sana. Dunia swasta kini menyumbangkan dua pertiga pertumbuhan ekonomi negara. Jumlah tenaga kerja diserap kini 90 persen oleh sektor swasta. “

“Sistem komunisme hanya menjadi jargon saja di sana. Yang terjadi, mulai berlakunya gabungan sistem kapitalisme dalam sistem politik otoriter. Atau di Cina sekarang berlaku pandangan Adam Smith minus Demokrasi.”

Hari itu, Juli 2019, saya mengantar anak sulung saya untuk memulai sekolah bisnis di London. Dosen itu membriefing secara umum hal ihwal. Tak hanya masalah teknis kurikulum, tapi juga alam berpikir dunia bisnis mutakhir.

Di akhir pertemuan, ia menyatakan: “Saya senang jika bisa ikut melahirkan Jack Ma versi Indonesia. Dosen itu juga bertanya: Apakah di Indonesia, Adam Smith juga populer?” Sebelum saya merespon, ia sendiri yang menjawab: “pastilah Adam Smith juga populer. Ia menyatukan Barat dan Timur menuju jalan kapitalisme.”

Pulang dari pertemuan itu, saya banyak merenung. Kadang saya duduk di cofe shop di Mall Westfiled. Kadang di kursi kosong taman besar Hyde Park. Kadang dini hari saya bersandar di ruang tamu kamar hotel.

Apa yang membuat Adam Smith, yang lahir 400 tahun lalu (1723) tetap berpengaruh? Ia lahir di Scotland, yang kini bagian dari United Kingdom. Namun gagasannya melintasi abad demi abad, benua demi benua.

Adam Smith menemukan hal yang sangat penting: motif terdalam manusia dan sistem sosial yang paling sesuai dengan motif itu.

Ujar Adam Smith: “Bukan dari kebaikan tukang daging, atau kebaikan pembuat bir, atau kebaikan tukang roti, kita mendapatkan makan malam kita. Tapi kita mendapatkannya karena “self love,” atau self-interest, atau kepentingan pribadi tukang daging, tukang bir dan tukang roti itu.

Cinta pada kepentingan sendiri (self love, self interest) adalah motif terdalam manusia. Sistem sosial, ekonomi dan politik yang baik adalah yang membiarkan motif itu tumbuh serta berkembang.

Inilah keajaibannya. Jika setiap orang dibiarkan mengejar kepentingannya sendiri, satu kepentingan akan dikoreksi oleh kepentingan lain, sehingga secara kolektif itu justru memajukan masyarakat.

Individu yang bergerak untuk kepentingannya sendiri pada ujungnya akan membuat masyarakat lebih maju dan lebih harmoni ketimbang individu yang sejak awal berniat bergerak untuk kepentingan publik.

Katakanlah individu itu ingin mencari untung sebesar besarnya menjual komoditi dengan harga 100. Padahal modalnya hanya 10. Ia segera dikoreksi dan dikalahkan oleh individu yang ingin lebih laku, dan menjualnya di harga 11 saja.

Kompetisi bebas yang membuat aneka self- interest itu saling mengoreksi. Hasil kompetisi bebas itu, rakyat banyak justru lebih diuntungkan karena mereka mendapatkan komoditi yang akhirnya lebih murah atau lebih baik. Ada tangan tak terlihat (the invisible hand) yang mengatur pasar bebas!

Lalu dimana peran pemerintah? Ujar Adam Smith, peran pemerintah minimal saja. Pemerintah harus membuat aturan dan menegakkannya agar perjanjian antar individu dihormati, agar tak ada pemaksaan dan penipuan. Siapa yang melanggar dan menipu harus dikenakan hukuman. Hanya pemerintah yang secara legal diberikan kewajiban itu.

Pemerintah juga berperan menyediakan yang tak bisa dibebankab secara gratis kepada pihak swasta seperti public goods (infrastruktur, pendidikan dasar, asuransi kesehatan). Pemerintah juga membantu individu yang memang tak bisa bersaing dalam pasar bebas (prinsip paternalism: mereka yang di bawah garis kemiskinan, para orang tua jompo, dsb).

Pemerintah mengambil pajak dari yang punya penghasilan besar. Pendapatan itu digunakan untuk membiayai peran pemerintah di atas.

Selebihnya, serahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pemerintah sekuat apapun tak akan pernah lebih baik dibandingkan hukum pasar bebas untuk memajukan sebuah bangsa; untuk mensejahterahkan rakyat; untuk meningkatkan efisiensi; dan untuk merawat harmoni sosial.

Dengan self interest dan pasar bebas itu serta peran pemerintah yang minimal, akankah pihak yang bertambah kaya menindas pihak yang lemah?

Adam Smith juga menemukan motif terdalam lain manusia. Juga setiap individu memiliki kapasitas untuk simpati dan empati. Kapasitas itu sumber dari moralitas publik. Tanpa diminta akan tumbuh kegiatan tolong menolong antar individu.

Tak heran justru di pusat kapitalisme tumbuh kegiatan derma. Bill Gates misalnya memimpin banyak pengusaha besar membuat komitmen terbuka (pledge) menyumbangkan 50 persen dari penghasilannya kepada publik. Owner Facebook dan lainnya, bahkan lebih besar lagi menyumbangkan 90 persen hartanya untuk publik.

Akankah pekerja selalu menjadi pekerja yang lebih miskin? Dan pengusaha menjadi pengusaha yang semakin kaya? Itu tidak pula terjadi. Di pusat kapitalisme justru banyak terjadi yang disebut “self made milionare.” Mereka kaya merangkak dari bawah.

Pendiri Amazon, pendiri Facebook adalah contoh individu yang merangkak dari bawah. Sementara banyak keluarga yang teramat kaya raya justru bangkrut.

Publik luas, bahkan kaum pekerja kini juga bisa menjadi pemilik perusahaan. Aneka saham perusahaan besar yang “go public” menjual sebagian ownershipnya dalam bentuk reksa dana. Dengan dana seadanya, individu bisa ikut memiliki perusahaan Coco Cola atau Apple, walau dengan saham 0, 00 sekian persen.

Sejarah membuktikan. Negara yang kini berjaya secara ekonomi adalah yang menerapkan sistem kapitalisme. Dan kapitalisme sendiri terus berevolusi. Sistem di luar kapitalisme hancur satu persatu. Yang ingin survive, sistem itu memodifikasi diri.

Cina belajar banyak dari pertarungan kapitalisme versus komunisme itu. Di sana, Adam Smith pelan – pelan akan menggeser Mao Tse Tung.

Apa yang membuat pemikiran Adam Smith begitu kuat? Ia tak hanya ekonom. Awalnya Adam Smith adalah filsuf moral dan ahli psikologi sosial.

Buku pertama yang membuatnya melambung bukan buku ekonomi, tapi buku moral- psikologi: The Theory of Moral Sentiments (1759). Setelah itu, 17 tahun kemudian terbit buku ekonomi: The Wealth of Nation (1776).

Tak banyak yang menduga, Adam Smith juga penulis puisi, sastra pada umumnya, hukum dan politik. Ketika diambang ajal, ia tak ingin tulisannya soal sastra, politik, dan filsafat dibaca publik. Ia meminta temannya membakar sekitar 16 volume draft buku yang belum selesai itu.

Argumentasi ekonomi Adam Smith menjadi begitu kokoh karena ia tak sekedar ahli ekonomi. Ia pemikir yang sudah menyelami hakekat manusia.

Para juara di bidang apapun memang tak pernah seorang spesialis dan satu dimensi!saja. Walau akhirnya para juara itu menonjol di satu spesialisasi tertentu, tapi ia sudah menyelami terlebih dahulu puncak-puncak renungan. Ia sudah menghirup air kehidupan yang terdalam, dan terjauh.

Hanya mereka yang sampai di puncak perenungan yang dapat menyatukan barat dan timur, seperti Adam Smith.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait