Ironi Daerah Kepulauan

Oleh : Ari Juliansyah
Ketua Umum DPD IMM Bangka Belitung

Ari Juliansyah, ketua umum DPP IMM Kep. Babel

Hampir 20 tahun Prov. Kep. Bangka Belitung menjadi daerah otonomi tingkat provinsi, tentu usia yang sudah tidak muda lagi. Sebuah kawasan kepulauan yang memiliki dua buah pulau besar Bangka dan Belitung. Kekayaan darat dan laut yang cukup besar sebagai komoditas andalan Indonesia di kancah nasional bahkan internasional, mampu mendobrak peningkatan produk domestik bruto.

Tak tanggung-tangung di sektor pertambangan ia memiliki Timah sebagai salah satu bahan baku utama pembuatan Smartphone, iPhone, laptop dan elektronik lainnya dengan kualitas terbaik. Sektor pertanian ada lada yang kualitasnya pun sama terbaiknya, tingkat kepedasan dan renyah sebagai bumbu masakan diakui dunia internasional. Walau komoditas karet anjlok tetap saja Bangka Belitung menjadi bagian penyumbang yang cukup besar pada komoditi ini. Tapi stop, kelapa sawit tidak perlu di bahas sebab ia telah menjadi bagian dari kapitalisme industri yang tiada ampun memukul mundur lahan masyarakat termasuk dengan cara jual beli.

Pariwisata pun di gadang-gadang menjadi masa depan daerah dengan julukan negeri laskar pelangi ini. Selain itu, daerah ini pun di sebut-sebut sebagai salah satu sarang ikan, sebab ia terletak di antara dua pulau besar (Sumatera, Kalimantan) tepatnya di selat karimata. Laut yang membatasi dua pulau besar, terbentang cukup luas menghiasi garis khatulistiwa sebagai bagian tengahan permukaan bumi.

Masih banyak lagi kekayaan yang bisa kita kupas habis, baik yang masih tersimpan atau tidak. Namun, sayang seribu sayang komoditas andalan dan sektor masa depan memiliki problemnya masing-masing. Seakan pemerintah daerah tidak mau (mungkin tidak mampu) untuk intervensi sesuai regulasi agar lebih baik. Tata kelola dan zonasi hanya sebatas perdebatan, dialog dan retorika belaka. Ada masalah yang begitu akut mencengkeram perjalanan negeri serumpun sebalai untuk terus bermetamorfosa ke arah yang lebih baik.

Lada oh lada, pertahanan ekonomi masyarakat pedesaan saat ini belum menunjukkan cercah harapan dengan harga kurang dari 50.000/KGnya. Lantas, masyarakat pedesaan harus menaruh harapan kemana lagi pasca Timah? Seharusnya pemerintah harus berani intervensi pasar dan memangkas mata rantai yang teramat panjang, sebab semakin panjang mata rantai semakin meningkat harga. Kita terlalu di sibukkan dengan pesta demokrasi Pilpres dan Pilleg, melupakan urusan perut dan kemampuan pendidikan masyarakat.

Menggantungkan harapan pada komoditas karet sangatlah ironi. keringat, lelah dan cita para petani karet dihargai begitu rendah. Jika melihat keadaan masyarakat terkini di anggap baik-baik saja alangkah naif dan tidak visioner, pemerintah terlalu suka pada zona aman. Seharusnya ia menjadi penjaga masa depan daerah untuk peningkatan Aanggran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan taraf hidup rakyatnya. Bukan, sembunyi di tengah kegelisahan para akademisi yang bernurani melihat Bangka Belitung saat ini dan kedepan.

Sungguh ironi daerah kepulauan!

Sama halnya Pariwisata, sampai saat ini pemerintah daerahpun disibukkan dengan sosialisasi masyarakat sadar wisata. Padahal isu ini tidaklah urgent dan penting, sebab masyakarat Bangka Belitung sejak dulu hingga sekarang adalah masyarakat ramah dan tamah, care dengan orang luar yang berkunjung, melayani tamunya dengan cara mulia dan contoh-contoh lainnya.

Pemerintah daerah sama sekali tidak menyentuh area kebijakan yang strategic, seperti halnya iklan pada dunia internasional sebab tekhnologi sekarang amatlah mempermudah untuk saling memperkenalkan tanpa batasan-batasan Negara. Para pelaku usaha pariwisata harus di support penuh baik usaha besar, menengah, kecil, hingga mikro yang berbasis pada ekonomi kreatif berbentuk home industry.

Selain itu, ada hal aneh yang membuat kita “tepok jidat”. Sebagai sarang ikan di laut yang mana ikannya menjadi mahal ketika berada di darat, apakah tidak ada nelayan ? (Tentu saja salah). Lagi-lagi pemerintah daerah tidak mampu intervensi pasar, sebab stabilitas perikanan bukan diukur pada kemampuan mencari ikan, tapi kemampuan masyarakat untuk membeli ikan. Kemanakah para ikan selama ini? Mungkinkah ikannya bersisik emas atau perak dengan bertelurkan kaviar.

Lagi-lagi inilah ironi daerah kepulauan!

Semua komoditas diatas seyogyanya saling menopang dan mempertahankan keadaan ekonomi masyarakat pedesaan, pesisir dan perkotaan. Pemerintah daerah harus berani dan mampu untuk intervensi pasar, sayangnya survei harga pasar sangat jarang dilaksanakan, terlalu banyak petugas komputer dan minimnya orang lapangan yang ahli di bidang ekonomi.

Jika memungkinkan, riset harga pasar di lakukan setiap hari, walau hanya satu rupiah pun terjadi selisih segera di cari akar masalah dan selesaikan sebelum kesenjangan silisih rupiah semakin tinggi. Atau kah pakar ekonomi tidak dianggap penting, cukup semua didepan komputer dan presentasi laporan yang bahannya entah dari mana.

Akan segera terbit :
buku “ironi daerah kepulauan”

Menguak kegelisahan penulis atas fenomena yang terjadi di Bumi Serumpun Sebalai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait