Akbar: Bagaimana Penerapan dan Memaknai Tujuan Pendidikan dalam Peringatan HARDIKNAS 2021?

Swakarya.com. Pandemi Covid-19 sudah memasuki masa satu tahun lebih tejadi dan mengakar di Indonesia, pengaruhnya berdampak pada Sosial, Ekonomi, pendidikan, dan juga seluruh aspek penting yang ada dalam tubuh negara Indonesia.

“Tahun lalu hingga tahun ini, peringatan Hardiknas dilaksanakan di tengah protokol Covid-19. Ini tidaklah mengurangi makna dari spirit yang hendak di budayakan. Bahkan, di tengah protokol Covid-19 peringatan, tentunya diharapkan tetap memiliki “dividen” sebagai investasi pertumbuhan anak-anak Indonesia,” Ujar Akbar Ketua Organisasi pemuda Garda Muda Sabita. Pada Minggu, 02 Mei 2021 kepada wartawan swakarya.com.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah peserta didik pada Tahun Ajaran 2017/2018 mencapai 45,3 juta jiwa. Lebih dari separuh jumlah tersebut adalah peserta didik tingkat SD (56,26%). Sementara SMP berjumlah 10,13 juta jiwa (22,35%) dan SMA/SMK sebesar 9,68 juta jiwa (21,39%). Angka tersebut diperkirakan tak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2020.

“Lebih jauh, BPS memproyeksikan jumlah anak-anak Indonesia usia 0-17 tahun pada tahun 2020 sebesar 79,373 juta jiwa. Ini berarti sekitar 30% dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, satu di antara tiga penduduk Indonesia adalah anak-anak,” Ungkapnya.

Selama Kondisi Pandemi Covid-19, pola Pembelajaran sekolah mereka ikuti dari rumah secara daring. Kenyataan tersebut hendaknya tidak hanya menjadi respon terhadap Covid-19. Melainkan juga memberi makna terhadap Hardiknas dengan jalan mengambil manfaat dari situasi tersebut.

“Hal ini satu haluan dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 13 UU No.20/2003) yakni, “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” Jelasnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjasama dari semua pemangku kepentingan. Masyarakat juga tentunya keluarga memiliki tabungan yang tidak kecil dalam upaya pengembangan potensi peserta didik, sebagaimana dimaksud dalam tujuan pendidikan nasional.

“Dalam kaitan ini, konsep Merdeka Belajar, sebagai bagian dari cetak biru pendidikan nasional yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim, diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ada, antara lain dalam upaya bersama kita adalah dengan menempatkan pendidikan sebagai bagian dari proses pembudayaan atau pembiasaan, dan bukan sekedar “persekolahan”, Ujarnya.

Para pendiri bangsa (founding fathers) dengan sangat baik telah merumuskan tujuan kehidupan bernegara kita yakni, salah satunya, adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini tersurat dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dan menjadi roh regulasi pendidikan nasional.

“Apakah kita sudah sampai pada tujuan itu? Lantas, bagaimana seharusnya memaknai tujuan tersebut? Manfaat apa yang dapat dipetik dari Hardiknas, dengan Tema Hardiknas 2021 di tengah pandemi COVID-19 yang diambil oleh Kemendikbud adalah “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar” saat ini,” Ungkapnya.

Seperti diketahui, “Merdeka Belajar” merupakan tema besar dari kebijakan pendidikan yang diangkat oleh Menteri Nadiem Makarim sejak ditunjuk menjadi Mendikbud oleh Presiden Jokowi, Oktober lalu.

Pendidikan Keluarga
Dalam hal ini, tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 bukanlah sebuah “terminal akhir”. Melainkan sebuah “proses” yang harus berlangsung terus menerus dan secara berkelanjutan. Sebuah proses pembudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita berpendapat, bahwa pendidikan di sekolah saja tidaklah mencukupi. Setiap anak dan peserta didik memiliki keunikan dan bakat masing-masing. Apalagi ilmu dan pengetahuan masa kini berkembang sedemikian cepat. Tak jarang, apa yang dipelajari hari ini bisa menjadi “Basi” dalam waktu yang tidak lama.

“Demikian juga dengan pencapaian mengagumkan di bangku sekolah. Tidak otomatis menjadi dasar penilaian kemampuan seseorang. Banyak contoh menjelaskan tidak semua murid cemerlang di bangku sekolah menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Sebaliknya, banyak murid tidak menonjol di sekolah namun kemudian berhasil menjadi tokoh berpengaruh,” Tandasnya.

Anda tentu bisa menyebut Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar (dan pemilik lebih 3.000 hak paten), yang sejak usia sebelas tahun diberhentikan oleh sekolah karena dianggap tak mampu mengikuti pelajaran. Sebut pula Mark Zuckerberg (bos Facebook), Bill Gates dan Jack Ma (keduanya orang terkaya dunia), George Washington dan Abraham Lincoln (keduanya mantan Presiden Amerika dan tidak pernah sekolah tinggi).

“Di Indonesia, Anda bisa menyebut Adam Malik (mantan Wakil Presiden RI yang cuma lulusan SD), Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan yang hanya lulusan SMP), atau Dahlan Iskan (mantan Menteri BUMN yang berhenti atau DO di Semester IV). Daftar ini tentu masih dapat diperpanjang. Termasuk yang berlatar belakang pengusaha, politisi, seniman, artis, dan sebagainya,” Ungkapnya.

Tentu saja hal itu tidak berarti bahwa pendidikan sekolah tidak dibutuhkan. Melainkan mesti diperkaya dengan cita rasa pengalaman rohaniah dan pertumbuhan kecerdasan emosi untuk mengelola hubungan personal dan relasi sosial.

Kenyataan ini dipotret dengan baik oleh Charles Darwin dalam otobiografinya, sebagaimana dikutip EF Schumacher (1973): “Hilangnya cita rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusak kecerdasan dan lebih-lebih lagi mungkin berbahaya bagi moral, karena hal itu melemahkan kehidupan emosi kita.

“Kelemahan tersebut dapat diatasi oleh pendidikan keluarga. Aspek emosi ditumbuhkan menjadi sebuah kecerdasan yang menuntun anak menjalani cara hidup yang benar. Menggunakan kecerdasan emosi sebagai dasar penalaran dan pemecahan masalah dan meningkatkan aktivitas kognitifnya,” Ujarnya.

Kebersamaan anak-anak bersama keluarga selama protokol COVID-19 akan sangat berpengaruh dalam pertumbuhan kecerdasan emosi mereka. Orang tua dan keluarga inti sangat berperan. Jika ini dimaksimalkan, maka dalam satu generasi ke depan, Indonesia berpeluang menjadi negara hebat.

“Bayangkan saja, ada 79,373 juta jiwa anak Indonesia yang melewati masa pandemi COVID-19 bersama keluarga inti. Di antara itu, terdapat sekitar 44 juta anak yang berusia 0-9 tahun. Pengalaman “dilockdown” di-rumah-saja bersama keluarga akan mencerahkan dan meningkatkan kecerdasan emosi anak,” Tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait