Mahar politik pada Pilkada tahun 2020 akankah bertambah mahal dari tahun-tahun sebelumnya? Karena kekuatan parpol yang menentukan bakal calon menjadi calon kepala daerah. Rata-rata partai politik menginginkan kemenangan dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah kali ini.
Di tengah euforia pemilu ada satu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu tingginya biaya politik atau ongkos politik yang akan dikeluarkan oleh calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2020 untuk memenangkan kontestasi ini. Lalu apakah dampak yang diterima rakyat dengan tingginya biaya politik saat ini?
Tetapi kita harus real di era sekarang, biaya politik mempengaruhi kemenangan, karena sebagian masyarakat belum tersadarkan betapa pentingnya memilih pemimpin harapan pembangunan, terkadang masih terkecoh dengan persoalan uang, sehingga hal ini salah satu yang mempengaruhi mahalnya biaya politik di negeri ini.
Sebagai sebuah negara demokrasi, Pilkada Serentak 2020 adalah suatu keniscayaan dalam memilih sosok pemimpin yang menentukan nasib daerah ini. Jadi selain Partai politik sebagai ‘kendaraan’ dan gerbang awal seseorang maju dalam pencalonan, juga sekian persentase masyarakat yang memberikan dukungan (jalur perseorangan) untuk masuk ke dalam tataran bursa pencalonan, selebihnya masyarakat yang menentukan karena demokrasi kedaulatan di tangan rakyat.
Sistem pemilu yang menempatkan “partai politik” sebagai agen utama proses rekrutmen calon (cagub, cabub/cawako, caleg) semakin menambah daftar panjang besaran biaya demokrasi di Indonesia. Sebab calon wajib mengeluarkan “biaya partisipasi” kepada partai pemberi rekom. Istilah populernya disebut “mahar”.
Setau saya ada beberapa hal dalam pilkada serentak yang selalu membutuhkan biaya tinggi, diantaranya adalah Kampanye untuk menarik perhatian pemilih, Mahar politik sebagai modal awal dukungan partai politik, pendanaan saksi di TPS dan terakhir adalah persiapan dan pengawalan sengketa pemilu.
Tetapi kalau kita berpikir secara akal sehat maka partai politik sebagai sebuah instrumen demokrasi dinilai telah gagal dalam menciptakan sebuah culture politik yang sehat. Tetapi kenyataan di lapangan sangat berbeda justru lebih besar biaya yang digunakan untuk memenangkan pilkada.
Terkadang di luar akal sehat kita tentang tingginya biaya politik dalam menyambut dan memasuki babak pilkada serentak, inilah yang terjadi dalam tataran kehidupan dan politik nyata yang telah terciptakan.
Mari kita semua bersama-sama berpikir jernih untuk perbaikan pilkada yang membentuk pemerintahan daerah (pemimpin terpilih) yang bersih, jujur, kuat dan demokratis serta mendapat dukungan sebesar-besarnya dari masyarakat pemilihnya untuk kepentingan masyarakat banyak.