Seni Membetengi Diri dari Sifat Negatif


Oleh: Rozi (Dosen Agama Islam UBB)

“Belajarlah untuk mengalah. Sekalah-kalahnya. Sehingga tak ada satu pun dari mereka yang bisa mengalahkanmu. Belajarlah untuk merendah. Serendah-rendahnya. Sehingga tak ada satu pun lagi dari mereka yang bisa merendahkanmu”.

Kalimat tersebut saya jumpa di saat sedang melangsungkan perjalanan dari Kabupaten Bangka menuju Kabupaten Bangka Barat. Tampak tulisan itu tertulis di belakang mobil Truk yang saat itu berada persis di depan saya.

Saya pun membacanya sembari melanjutkan pelan kendaraan dan berusaha meresapi makna di balik kalimat yang mungkin sebagian orang menganggap tulisan itu hanyalah tulisan biasa. Akan tetapi, bagi saya itu bukan sembarang tulisan. Karena tampak jelas tulisan tersebut agaknya mengandung syarat akan makna.

Saya pun mencoba menelaah kalimat di balik tulisan tersebut. Sehingga kalimat tersebut saya jadikan sebagai rambu untuk membentengi diri saya dari sifat-sifat negatif, semisal merasa paling hebat dari yang lain, padahal sejatinya tidak.

Sifat negatif dalam diri memang harus dihilangkan. Karena sifat ini dapat merusak tatanan kekeluargaan bahkan kesolidaritasan dalam diri dan lingkungan sekitar. Jika seseorang memiliki sifat negatif (baca: buruk), maka dapat dipastikan orang-orang akan merasa tidak nyaman dan menjauhinya.

Sebagaimana kita pahami seksama, kisah Iblis di masa silam yang merasa paling hebat, suci, dan senior. Ketika Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqoroh ayat 30 yang mana artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengabarkan kepada para Malaikat bahwasanya, ‘Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’, kemudian Malaikat menjawab, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi? Yang mana mereka itu nantinya akan merusak dan menumpahkan darah di sana. Tak cukupkah kami di sini yang selalu bertasbih mengagungkan nama-Mu?’ lantas Dia berfirman: ‘Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.”

Dimulai dari keinginan Allah yang hendak menjadikan seorang khalifah di bumi, tentunya hal ini membuat Iblis merasa paling senioritas seakan-akan mempertanyakan, “Ya Tuhan, apa kompetensi manusia yang hendak Engkau ciptakan itu?”. Kemudian Tuhan pun menunjukkan kompetensi dengan mengajarkan manusia tersebut (Nabi Adam AS) beberapa nama benda, serta menyuruh Adam menyebutkannya di hadapan penduduk langit.

Selepas itu Allah memerintahkan para penduduk langit untuk mengakui kompetensinya dengan bersujud (sujud perhormatan). Semua Malaikat tunduk dan bersujud kepada Nabi Adam AS, kecuali Iblis yang tak ingin mengakuinya. Sehingga muncul kalimat bantahan dari Iblis yang mana makna bebasnya seakan-akan mengatakan bahwa: “Takkan sudi kami para Iblis mengakui kompetensi yang dimilikinya, sebab kami ini sudah senior di sini. Tidak selevel dengan manusia ini. Tak sudi kami mengikuti perintah-Mu untuk menyujudinya, karena yang berhak sujud itu adalah manusia itu kepada kami, bukan malah sebaliknya. Sebab kami lebih layak dan pantas, serta lebih baik dari-Nya (Ana khoiro minhu)”.

Protes Iblis terhadap Ketentuan Tuhannya yang Maha Memiliki Kuasa, dapat dijadikan sebagai indikator untuk mendeteksi sifat negatif dalam diri kita. Dengan artian bahwa jika terbesit dalam hati kita merasa paling hebat, pintar, dan suci dari orang lain maka sudah sepantasnya kita untuk menghindarinya. Jangan sampai kita terjebak dengan sifat negatif tersebut. Lantas pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara untuk menghindarinya?

Untuk menghindari sifat negatif tersebut tentu ada seninya. Demikian ini saya sebut sebagai seni membentengi diri dari sifat negatif. Setidaknya ada tiga hal yang ingin saya sharing kepada teman-teman:

Pertama kali yang harus dilakukan adalah mengembalikan suatu makna kepada makna sejatinya. Maksudnya, ketika dipuji seseorang maka segera kembalikan kepada Pemilik Segala Puji-pujian tersebut yaitu Allah SWT. Dengan demikian kita tidak merasa pantas mendapatkan pujian itu melainkan hanya untuk-Nya. Karena sejatinya kita ini berasal dari-Nya dan suatu saat akan kembali lagi kepada-Nya (baca; wafat).

Kedua, yang perlu dilakukan adalah selalu husnudzon (berprasangka positif), sekalipun sangkaan baik kita tersebut terhadap seseorang ternyata salah. Dengan hal ini, kita tak akan mudah terprovokasi oleh Iblis untuk mengikuti bisikannya yang mengajak kita kepada prasangka buruk terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya. Sehingga hal ini akan dapat membuat diri kita akan selalu tenang dalam menjalankan kehidupan.

Selain itu juga perlu diketahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa tergantung dengan perasangka hamba-Nya. Jika prasangka hamba itu baik, maka baik pula balasannya. Begitu pun sebaliknya. Jika prasangka itu buruk, maka keburukan juga didapatkannya.

Kemudian yang ketiga, mendoakan yang terbaik untuk orang lain. Sekalipun orang tersebut menzolimi kita. Jangan sampai kita mendoakan hal yang buruk kepada mereka yang berbuat aniaya. Sungguh benar bahwa doa orang yang dizolimi itu cepat diterima oleh Allah SWT. Akan tetapi janganlah kita gunakan kesempatan tersebut untuk meminta hal-hal yang buruk kepada-Nya. Karena Allah SWT lebih menyenangi hamba-Nya selalu menebar kebaikan kepada alam semesta.

Terakhir saya ingin mengutip syair yang termaktub dalam kitab Al-Hikam karangan Syaikh Ahmad bin Athoillah yang artinya: “Hilangkan pandangan makhluk kepadamu, karena merasa puas dengan pandangan Allah kepadamu. Lupakan perhatian makhluk kepadamu, karena meyakini bahwa Allah selalu memandangmu”. Wallahu A’lam Bisshowab.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *