“SeCeL” di Tahlilan Khas Bangka

Penulis: Endah Sukma Wati (Guru SMAN 1 Lepar Ponggok)

Tradisi Islam yang kental di Tanah Bangka yang mayoritas beragama Islam, salah satunya adalah tahlilan. Tradisi ini bertujuan untuk memperingati kematian seseorang yang dilengkapi dengan membaca doa dan dzikir kepada Allah SWT di rumah atau masjid. Terlepas dari perdebatan di beberapa kalangan tentang hukumnya. Di Bangka biasanya tahlilan dilakukan pada hari “ngeletek “atau hari meninggalnya sampai hari “ngenuju” atau hari ke-7. Kemudian dilanjutkan dengan “nyelawe” atau hari ke-25, “ngempat puloh” atau hari ke-40, “nyeratos” atau hari ke-100, dan “naon” atau hari satu tahun meninggalnya.

Tahlilan di Bangka sangat menggambarkan keharmonisan hidup bertetangga. Hal ini tumbuh dari sikap kegotong–royongan masyarakat untuk saling membantu antar sesama sangat terlihat dengan adanya tradisi ”nganggung”.

“Nganggung” merupakan tradisi membawa makan dari rumah baik kue, buah, atau nasi beserta lauk pauknya menggunakan dulang. Setiap warga desa sudah dibagi regu nganggungnya masing-masing. Sehingga satu desa dapat berpartisipasi, namun hal ini juga tidak diharuskan jika dirasa memberatkan.  Nganggung sendiri merupakan warisan budaya yang berasal dari Wali Songo terdahulu. Adanya tradisi ini membuat nilai spiritual masyarakat meningkat, memiliki ketenangan batin, dan mengamalkan ajaran agama bersedekah. Selain itu tentu dengan adanya nganggung, keluarga yang mengalami musibah bisa terbantu.

Ada hal menarik dari tahlilan di Pulau Bangka yang berbeda dengan daerah lainnya, terutama pada menu hidangannya. “SeCeL” merupakan kepanjangan dari serabi, celpon, dan lepat. Serabi yang dilengkapi air gula yang lebih mantap jika ditambah buah durian, merupakan menu khas yang disajikan pada setiap tahlilan. Serabi ini banyak dimaknai oleh masyarakati terdahulu untuk menahan turunnya hujan pada saat acara berlangsung.

Kue ini juga diartikan keluarga menyelenggarakan tahlilan untuk menghantar arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal. Dalam tahlilan yang berlangsung selama 7 hari atau sampai ngenuju, pihak keluarga selalu menyediakan kue serabi. Ada juga yang memaknai kue serabi yang berwarna putih melambangkan penutup bagi dinding neraka. Sedang air gula merah melambangkan api neraka. Sebagaimana tujuan dari penyelenggaraan tahlilan sebagai acara doa untuk menghantar kepergian seseorang ke dunia lain, maka penyediaan kue serabi memiliki makna agar arwah dari orang yang baru saja meninggal juga bisa terlindung dari panasnya api neraka

Penyajian serabi dilengkapi dengan kuah gula bersantan di tempat terpisah. Kemudian kue serabi dinikmati dengan menaruh kue di dalam piring cekung, lalu siram serabi dengan kuah gula bersantan di atasnya. Kuah gula bersantan serabi dapat ditambahkan dengan berbagai cita rasa, yang paling sering yaitu rasa original, pandan dan durian. Rasa yang paling digandrungi oleh banyak orang adalah rasa durian.  Kue ini paling mantap jika dinikmati selagi hangat. Selain terkenal di masyarakat Melayu Bangka, serabi juga digunakan oleh masyarakat Tionghoa dalam ritual kepercayaannya. Di kalangan Tionghoa serabi dikenal dengan nama kue tampal lapita.

Makanan lainnya, celpon atau klepon adalah jajanan pasar tradisional khas Indonesia yang terbuat dari tepung ketan, berbentuk bulat dengan warna dominan hijau. Pada bagian dalamnya diisi dengan irisan gula merah, sementara bagian luarnya ditaburi kelapa parut. Warna hijau pada celepon melambangkan kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran.

Kue celpon yang disajikan di hari ngenuju. Kehadiran kue ini diartikan  bahwa di hari ngenuju ini jasad mayit di dalam kubur akan mengalami kehancuran atau pecah perutnya. Terlepas dari maknanya benar atau tidak ini membuat celpon menjadi menu hidangan identik saat tahlilan.

Selain serabi dan celpon ada juga lepat. Lepat ketan merupakan salah satu jenis makanan yang sering dibuat oleh masyarakat bangka pada saat mereka mengadakan acara-acara yang berkaitan dengan upacara peringatan kematian. Cara membuat lepat ketan ini adalah sebagai berikut: betas ketan dicuci, kemudian diaron dengan san tan dan dibubuhi dengan sedikit garam. Setelah itu, beras ketan yang sudah diaron dibungkus dengan daun kelapa dan setiap bungkus diikat dengan tali pandan. Ukuran bungkusan lepat sesuai dengan selera si pembuat, biasanya berdiameter kira-kira dua centimeter dan panjangnya tujuh centimeter. Aronan betas ketan yang telah dibungkus direbus dalam dandang sampai rna tang. Setelah rnatang, angkat lepat ketan dan tiriskan. Lepat ketan biasanya disajikan bersama rendang atau sambal asam. Cara orang Bangka menikmati makanan ini, biasanya dengan mencolekkan lepat ke dalam kuah rendang atau sambal asam.

Bagi masyarakat Bangka, lepat yang terbuat dari beras ketan memiliki makna filosofis yang mendalam dan sangat berarti. Beras ketan sebagai bahan utamanya memiliki sifat lengket setelah dimasak. Penyajian lepat mengungkapkan bahwa diharapkan dengan penyelenggaraan adat ini hubungan antar warga masyarakat menjadi erat, terekat kuat seperti lengketnya ketan. Selain itu, lepat juga diikat dengan tali pandan. Ikatan ini memberi makna bagi terjalinnya ikatan sosial diantara warga masyarakat. 

Ketiga menu hidangan ini yang menjadi ciri khas dari kegiatan tahlilan di Bangka yang disajikan oleh tuan rumah dibantu kerapat dan tetangga.  Tentunya ini tidak akan memberatkan tuan rumah karena biasanya ada bela sungkawa dari desa berupa bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya. Selebihnya makanan yang disajikan akan diantarkan oleh regu nganggung yang berbeda setiap hari sampai ngenuju.

Penyajian hidangan dalam tahlilan ini bukanlah untuk berpesta akan kematian seseorang. Melainkan sebagai bentuk berterima kasih dan memuliakan tamu yang telah turut datang melayat dan mendoakan si mayit. Dengan niat yang ikhlas untuk mendoakan si mayit ini semoga bernilai pahala bagi yang melakukan dan tersampaikan bagi si mayit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar

  1. Budaya khas Tradisional Bangka Belitung wajib kita Pertahankan,. Trimakasih penulis ibu Endah Sukma Wati