Awas, Kena “Peluntang!”

Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/ Pemerhati Sosial Budaya

“MELUNTANG” sekedar untuk pernak-pernik humor dalam pergaulan adalah hal yang menarik, tapi “meluntang” dalam dunia birokrasi atau instansi adalah hal kebangetan dan pastinya memalukan. Pastinya ini perilaku yang jauh dari adab Melayu. Akankah Pj. Gubernur yang baru, bakal kena “peluntang?”. Sangat mungkin!!

=====

DALAM tutur lisan masyarakat Bangka, perilaku iseng ngerjain seseorang disebut “meluntang”. Sedangkan orang yang dikerjain disebut “kena peluntang”. Baik “meluntang” mapun “peluntang” ini adalah bagian dari humor dari interaksi pergaulan sosial di tengah masyarakat kita yang sudah ada sejak dahulu kala. Apalagi yang memiliki sense of humor, meluntang maupun “dipeluntang” itu menghasilkan keceriaan dan berakhir dengan tawa ngakak.

Beberapa contoh meluntang misalnya: memadamkan api rokok kawan yang ada ditangan tanpa sepengetahuannya, kopi kawan dicampur garam, sandal jepit disembunyikan, belakang celana diberikan tali seperti punya ekor dan masih sangat  banyak lagi contoh perilaku “meluntang” atau “dipeluntang” dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Sebab Indonesia adalah negeri yang sangat humoris, bahkan yang sudah jelas tragedi saja bisa berubah menjadi komedi. Ini menunjukkan betapa orang Indonesia itu asyik banget. Bangga jadi orang Indonesia!

Saya sendiri pernah “dipeluntang”, bahkan oleh anak kecil. Suatu pagi, saya ngopi di teras, kopi yang sudah dibuat oleh pembantu saya minum sedikit dan setelah itu ke kamar mandi. Selesai dari kamar mandi, saya kembali ke teras dan bersiap menikmati kopi lagi. Tapi, ada kecurigaan melihat cangkir kopi tadi. Sebab, kopinya kok seperti bertambah banyak dan tidak seperti saat saya tinggalkan. Walaupun penuh curiga, tapi juga saya penasaran, sehingga tetap mencoba mencicipi kopi tersebut. Ketika dicicipi, alangkah kagetnya saya, sebab kopinya sangat dingin dan hambar. Spontan kopi yang di mulut saya semburkan ke luar. Lantas saya teriak menyebut nama anak laki-laki saya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Saya tahu, ini pasti “keisengan” anak saya yang memang mirip banget dengan saya sebagai ayahnya.

Raffaaaaaa…..”, tiba-tiba kepala anak saya nongol dari balik gorden tempat persembunyiannya. “Dak de ku……” ujarnya sambil tersenyum, bibir dan pipinya masih nampak bekas kopi. Saya pun geleng-geleng kepala dan dia tertawa ngakak. Selanjutnya ia dengan bangganya bercerita kepada kakaknya. “Kopi ayah aku minum. Terus aku tambahin air kran. Diminum sama ayah, pusing ayah….” ujarnya yang disambut tertawa penuh kebahagiaan karena merasa sukses ngerjain saya. Kakaknya pun tertawa ngakak dan menanyakan kebenaran itu kepada saya. Saya hanya geleng kepala dan hanya tersenyum kecut sambil membuat kopi baru. Kami memang banyak kemiripan, begitu kata banyak orang. Tapi jarang banget akur bahkan saling tengkar kalau sudah bersama. “Ayah itu otaknya miring” begitu katanya persis didepan hidung saya sambil satu jarinya diangkat dan miring dijidatnya.

Kalau “meluntang” dalam pergaulan itu asyik dan menghasilkan keceriaan, tapi kalau meluntang dalam dunia birokrasi, apakah demikian? Dalam dunia birokrasi, saya melihat perilaku “meluntang” sudah muncul di pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Apa memang ada birokrasi meluntang? Birokrat berperilaku seperti itu? Apakah perilaku “meluntang” dalam dunia birokrasi ini bagian dari humor atau memang watak birokrat untuk saling menunjukkan pengaruh? Apakah ini baik untuk tataran tata kelola pemerintahan kita? benarkah ada kubu A, kubu B dan kubu C dalam birokrasi pemerintahan di Bangka Belitung, baik di tingkat Kota, Kabupaten terlebih Provinsi?

Patologi Birokrasi

Bahasa “Patologi” awalnya dipakai oleh dunia medis yang bermakna penyakit. Namun seiring perkembangan zaman, dalam dunia birokrasi juga dipakai istilah Patologi sebab dalam birokasi kerapkali kita temui penyebaran penyakit baik secara tersruktur maupun non sturktural. Patologi Birokrasi merupakan penyakit dalam lingkungan birokrasi yang muncul akibat perilaku atau karakter atau mental para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk hal tersebut, baik yang menyangkut politis, ekonomis, sosial kultural dan teknologikal.

Dalam buku karya Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M.P.A. disebutkan bahwa Patologi atau penyakit-penyakit yang menjalar dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam 5 macam:

  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manjerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Misalnya, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima atau memberi suap, arogan, intimidasi, kredibilitas rendah dan nepotisme.
  2. Patologi yang timbul karena kurang atau rendahnya pengetahuan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Misalnya, ketidaktelitian, ketidakcakapan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, cepat memiliki rasa puas diri, bertindak dan berucap tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif dan telmi alias telat mikir.
  3. Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diantaranya menerima suap atau memberi suap, korupsi, gratifikasi, ketidakjujuran, kleptokrasi dan mark up anggaran.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif. Misalnya, bertindak sewenang-wenang, konspirasi buruk, memprovokasi, diskriminatif dan tidak disiplin.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan Pemerintah. Misalnya, patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi yang tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja yang kurang kondusif.

Patologi birokrasi pastinya dapat berakibat buruk pada pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, di lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang atau jasa, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apabila terdapat ketidakmampuan pelanggaran dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan yang bertanggungjawab adalah penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara.

Dalam menyelenggarakan pelayanan publik, birokasi harus memiliki standar yang baik dan efisien, artinya nggak “njlimet” dan “ruwet”, sehingga mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pihak penerima pelayanan. Selama ini yang kita temui dan kita rasakan sebagai masyarakat, adalah birokrasi yang sangat tidak efisien, membuat isi kepala ruwet sebab hal yang tidak prinsipil. Padahal penyelenggaraan pelayanan publik harus menerapkan prinsip efektif, efisien, inovasi dan komitmen mutu. Apabila birokrasi terjangkit penyakit, maka secara otomatis dapat berpengaruh besar terhadap kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Birokrasi “Meluntang”

30 MARET 2023, Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, sebelum melepaskan jabatannya hendak melantik. Menurut sahabat yang hadir, kala pelantikan hendak dimulai, tak satu pun unsur-unsur perangkat pendukung yang disiapkan untuk acara pelantikan tersebut. Mulai dari pembawa acara, sound system, rohaniawan, saksi-saksi, bahkan protokol yang biasanya sudah stand by ketika acara pelantikan dimulai. Tapi, menurut kawan, hari itu tak terlihat sama sekali, bahkan staf-staf BKDSDM yang biasanya paling sibuk pada acara pelantikan pejabat birokat tak terlihat sama sekali batang hidungnya. Hanya birokrat yang hendak dilantik yang hadir dengan pakaian PSL lengkap dan rapi bersama Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Dr. Ridwan Djamaluddin. Akhirnya, pelantikan eselon II, III dan IV terpaksa batal dilakukan, keputusan Pj.Gubernur kalah oleh surat Nota Dinas dari salah satu OPD yaitu BKDSDM. Rasa-rasanya, inilah perilaku “meluntang” yang paling memalukan dan sangat tidak etis dalam birokrasi pemerintahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Semoga sejarah tidak melupakan perilaku para birokrat ini.

Ada permasalahan administrasi birokrasi? Mengapa harus sampai pada pelantikan? Dimana pertanggungjawaban para birokrat atau instansi terkait? Ini tiada lain adalah “meluntang” seorang pemimpin. Sungguh tak elok dan jauh dari etika birokrasi, tapi ini bagian dari patologi birokasi. Semoga tidak pernah terjadi lagi di negeri ini. dan Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang baru, Suganda Pandapotan Pasaribu harus hati-hati dan siapkan antisipasi sedini mungkin. “Oh my God” jangan sampai begitu nanti kalimat yang keluar dari mulut Pj. Gubernur yang baru.

Tapi, tidak hanya dalam birokrasi, dalam pemberitaan media, kutipan pernyataan dan omongan seorang Kepala Daerah dan Birokrat seringkali digoreng, dipelintir dan sengaja diberi ruang untuk menjadi konflik. Mengapa demikian? Ini bagian dari “meluntang” seorang pemimpin di negeri ini. Seorang pemimpin yang tidak jeli, maka akan habis-habisan kena “peluntang”.

Pj. Gubernur, Jadilah LEADER Jangan DEALER!

WALAUPUN memiliki pengalaman yang sangat panjang dan memadai dalam dunia pemerintahan dan pastinya sosial kemasyarakatan, saya yakin Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang baru, Suganda Pandapotan Pasaribu, sudah mempelajari banyak hal tentang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, termasuk sosial budaya, watak birokrat, karakter masyarakat dan lain sebagainya. mengapa? Untuk menghindari kena “peluntang”.

Terima semua informasi dan masukan dari mulut siapapun, tapi jangan ditelan mentah-mentah sebab bisa “kedadak” apalagi pujian yang berlebihan, pasti mudah membuat “kedadak”. What is “kedadak”? kalimat ini saya kasih PR (Pekerjaan Rumah) buat Pak Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Disini, di negeri berusia muda dan penuh romantika dan saling sikut antara sesama, hendaknya, Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang notabene masih sangat baru dapat membedakan mana tulus mana akal bulus. Sekali lagi, jangan bangga dan jangan ditelan mentah-mentah segala informasi yang masuk. Jangan gila pujian dan jangan anti terhadap kritikan. Tidak semua puja puji itu baik, memang terasa manis, tapi bisa jadi penyakit. Kritikan memang pahit, tapi seringkali ia adalah obat dan warning agar tidak salah langkah, salah sikap, salah ucap apalagi salah kebijakan. Sebab ada banyak pejabat di negeri ini yang sangat gila pujian sehingga hidup dan kepemimpinannya penuh pencitraan alias kepura-puraan. Perilaku pemimpin seperti itu saya menyebutnya “Dealer” bukan “Leader”.

Oya, di negeri ini, banyak “Tim Penilai” alias “Dewan Juri”. Maksudnya semua orang menjadi Dewan Juri kepada orang lain. Pj. Gubernur pasti akan menerima informasi, si A buruk, si B jangan didekati, si C awas bahaya, si D nggak layak dipakai, si E reputasi nggak bagus, dan begitulah seterusnya. Kalau dalam istilah saya, “saling menggerogoti daging saudara sendiri” atau SMS (Senang Melihat orang Susah, Susah Melihat orang Senang). Hal seperti ini hendaknya cukup menjadi informasi dan ditelaah lebih jeli. Bagaimana antisipasinya? Saya yakin Suganda Pandapotan Pasaribu pasti tahu. Sebab, seorang “leader” yang memiliki integritas akan tahu antisipasi dan memberi solusi dalam kepemimpinannya. Tapi kalau “dealer” pasti tak memiliki integritas, kecuali berpikir popularitas dan isi tas agar nanti bisa nyalon lagi atau nyalon ke posisi yang lebih tinggi. Begitulah kalau “Dealer” yang diberi merek “Leader”. Ibaratnya, mobil pick up diberi merek Pajero, mobil China diberi merek Eropa, laki-laki diberi merek perempuan. Nah, jadinya Bencong, dong! Iih… jijay deh akika…?!

Beberapa bulan kedepan, semoga Pj. Gubernur dalam fokus pada tatanan birokrasi, menunjukkan kewenangan yang tegas terhadap birokrasi pemerintahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Diawali dengan “Tutur” diseriuskan dengan “Tatar” dan kalaulah tak mempan, maka silahkan “Teter”. Soal pertambangan, saya kira Pj. Gubernur tidak membuat pernyataan-pernyataan yang bisa membuka ruang konflik, sebab ini sangat rawan. Pelajari dan diskusilah kepada para ahlinya di bidang pertambangan, terutama kaum akademisi dan birokrat yang memahami hal ini. 

Masukan saya ini sangat sederhana dan nyaris “tidak penting”, jadi tetap jangan ditelan mentah-mentah, sebab belum tentu ini benar dan baik buat Pj. Gubernur, Suganda Pandapotan Pasaribu. Lagian saya yakin, nggak ditulis pun Pak Pj. Gubernur pasti sudah tahu dan sedikit-sedikit ada getaran itu terasa kan?. Tapi saya hanya mengingatkan, waspada awas kena “peluntang”. Sebab banyak “jagoan meluntang” di negeri yang asyik dan ceria ini. Jangan-jangan termasuk saya? Waduh….!

Main Gasing membawa arang

Ambik tambak pasang disela

Jangan sebasing kalau meluntang

Pacak ngelepak belulang kepala

Salam Meluntang!(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *