Kekuasaan Yang Buas Di Rumah Shakespeare

*Catatan Perjalanan Denny JA

Kebuasan kekuasaan bagaimanakah yang masih bisa membuat kita terkejut jika sudah membaca Shakespeare? Kemungkinan dan imajinasi terjauh yang bisa terjadi dalam perebutan kekuasaan sudah dituliskan Shakespeare.

Saya membayangkan betapa goyah jika menjadi Hamlet. Ayah dibunuh oleh paman sendiri. Lalu sang paman menikahi ibu.

Bayangan Ayah selalu datang meminta agar saya membalas dendam. Tapi paman sudah berkuasa menjadi raja baru. Ia sudah pula menjadi Ayah tiri, menjadi suami ibu. Saya menyintai Ayah, tapi juga menyintai Ibu. Tak pasti pula benarkah Ayah dibunuh Paman?

Tapi ada orang yang kabarnya suruhan paman ingin membunuh saya pula. Haruskah saya berlagak gila agar lebih aman dan leluasa menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi?

Atau betapa teganya saya jika menjadi Macbeth. Saya bukan keturunan raja. Tapi tiga peramal menyatakan sudah menjadi garis tangan saya menjadi raja. Dihadapan saya satu satu pilihan menjadi raja adalah membunuh sang Raja. Sementara raja itu begitu melindungi saya.

Haruskah saya meyakini ramalan itu dengan membunuh raja? Apalagi kesempatan membunuh raja itu terbuka? Apalagi kekuasaan itu memang menggiurkan. Lalu demi mempertahankan kekuasaan, tak bisa lain pembunuhan demi pembunuhan harus saya lakukan?

Atau betapa merana jika saya menjadi King Lear. Dua anak kesayangan, saya manjakan dan saya berikan sebagian besar kekuasan kerajaan. Sementara anak ketiga yang terlalu sering mengkritik saya abaikan.

Lalu di masa tua, dua anak kesayangan dan keluarga barunya menihilkan bahkan mengancam hidup saya. Anak ketiga yang lebih lemah justru membantu saya. Tapi terlambat saya menyadari. Sang anak kemudian terlibat untuk saling membunuh.

Shakespeare sudah berkisah sisi paling jauh yang mungkin terjadi dalam kekuasaan. Jika kita sudah menghayatinya, pergolakan kekuasaan di dunia nyata, yang liar, yang tega, atau malah yang penuh keadilan, membuat kita mahfum adanya.

Drama kekuasaan ala Shakespeare terbayang kembali ketika kapal kecil kami melintasi sungai Thames, London. Dari kapal, pemandu tur menunjuk kompleks perumahan dengan bentuk yang antik. Ujarnya, di sana Shakespeare memulai dunia theater.

Sekitar 400 tahun lalu, tahun 1599, dibangun teater dengan nama Globe Theater. Di tempat itu, Shakespeare mementaskan aneka karya. Gaung karyanya melintasi abad demi abad hingga masa kini. Karya melintas benua demi benua.

Seketika saya meminta pemandu tuor membawa saya kesana.

Lama saya duduk di kursi teater. Pekerja di sana menjelaskan hal ihwal. Ini memang hanya repelika, bukan gedung Shakespeare yang orsinal. Tapi sebisa mungkin, semua dibuat menyerupai gedung teater asli.

Bangunan teater asli hanya berjarak puluhan meter dari sini, namun sudah ambruk beberapa kali. Ia dibangun di tahun 1599, tapi terbakar di tahun 1613. Dibangun lagi di tahun 1614 tapi dihancurkan di tahun 1644.

Lalu seorang aktor Sam Wanamaker di tahun 1997 mendedikasikan diri membangun gedung teater itu semirip mungkin dengan aslinya. Bahan bangunannya sama. Bentuk ruangan juga sama. Panggungnya sama. Aneka teater karya Shakespeare juga dipentaskan di sana.

Saya duduk di tribun atas. Pemandu menujukkan tempat Shakespeare duduk menyaksikan karyanya di pentas.

Bagian depan panggung adalah tempat rakyat banyak berdiri menyaksikan drama. Atap di bagian tengah gedung terbuka. Jika hujan, penonton di depan panggung kehujanan. Jika panas, mereka juga kepanasan. Di sana rakyat banyak yang hanya punya dana ala kadar menonton.

Yang paling mahal adalah tribun kursi tempat saya duduk. Atapnya terlindungi dari panas dan hujan. Akustik bangunan diatur sedemikian rupa. Di abad 16 itu belum dikenal speaker atau amplifier.

Ujar pemandu, deretan kursi ini tempat paling strategis yang bisa melihat tak hanya aksi panggung. Tapi juga aksi penonton yang tak jarang memberi respon kepada aktor.

Di tahun itu, semua pemain teater hanya laki-laki. Jika skenario menghendaki peran wanita, maka aktor lelaki didandani seperti wanita. Di tahun 1500-1600, feminisme belum tumbuh. Wanita bahkan dianggap belum layak untuk main teater.

Sepanjang hidupnya Shakespeare sangat produktif. Ia telah melahirkan sekitar 37 naskah teater dan 150 puisi panjang. Puncak emosi manusia sudah ia kisahkan. Soal persahabatan hingga penghianatan. Soal kepahlawanan hingga kemunafikan. Soal ketulusan cinta hingga penindasan.

Hamlet, Machbeth dan King Lear banyak bercerita soal kebuasan kekuasaan. Tapi Othelo, Romeo banyak berkisah soal pengorbanan cinta.

Apa yang harus dipilih oleh dua anak muda, Romeo dan Juliet yang sedang kasmaran? Ayah mereka ternyata berhadapan saling memusnahkan?

Apa pula yang harus dilakukan Othelo? Ia dianggap berbeda. Ia dari Moroco, Muslim di tengah kulit putih katolik dan protestan. Walau ia berpangkat tinggi dalam rangking militer, tapi sinisme rasial selalu ia rasakan.

Kini ia merasa bersalah telah membunuh kekasih sendiri karena terbakar cemburu buta. Demi kehormatan dan penyesalan, apakah ia harus mati pula membunuh diri sendiri?

Membaca aneka karya Shakespeare seolah kita meringkas puncak- puncak emosi sejarah manusia. Banyak kritikus sastra menempatkan Shakespeare sebagai sastrawan terbesar sepanjang masa.

Dalam soal bahasa, Shakespeare banyak melahirkan kosa kata bahasa Inggris baru. Di era itu, kosa kata masih terbatas. Banyak kata diambil alih dan dimodifikasi dari bahasa latin, Yunani dan Roma. Shakespeare dianggap ikut menata grammer bahasa Inggris.

Ia juga dianggap berpengaruh dalam perkembangan teater. Kategori ketat kisah tragedi dan komedi, ia langgar dan justru menjadi genre baru romantic tragedy.

Pengaruh Shakespeare juga meluas kepada dunia sastra barat. Kutipan hingga karakter tokoh dalam karya Shakespeare banyak mempengaruhi novelis besar di kemudian hari seperti Charles Dickens, William Faukner, hingga Herman Melville.

Tapi siapa yang menduga? Di masa awal munculnya Shakespeare, ia begitu dilecehkan dan diremehkan oleh para senior sastrawan zamannya. Para penjaga status quo sastra era itu merasa aneh dengan gaya penulis Shakespeare yang dianggap anak bawang.

Satu kelompok sastrawan dan akademikus sastra terkemuka kala itu disebut University Witts. Mereka tak hanya berkarya tapi juga menikmati pendidikan tinggi formal sastra atau filsafat. Yang paling menonjol di antara mereka: Robert Greene.

Mereka tak hanya mengkritik Shakespeare tapi juga melecehkannya. Aneka karya Shakespeare dianggap amatiran. Mereka mengangap karya Shakespeare itu hanya lahir dari pikiran yang tak disentuh oleh pendidikan formal yang membuat sebuah karya lebih terstruktur.

Sejarah kemudian menujukkan yang sebaliknya. Betapa ia yang oleh kolega zamannya dianggap amatiran ternyata salah satu sastrawan terbesar yang pernah dilahirkan sejarah.

Betapa penjaga status quo, yang merasa menjadi dewa di zamannya, baik di dunia politik, agama dan sastra, acap salah menduga. Ia yang dipandang sebelah mata ternyata menjadi raksasa di zaman yang berbeda.

Di tribun itu saya duduk. Saya membayangkan Hamlet terbunuh di panggung itu. Macbeth menjadi raja di panggung itu. Romeo jatuh cinta di panggung itu. King Lear menangis di panggung itu. Othelo menyesal di panggung itu.

Memang tiada lagi drama kekuasaan atau kisah cinta di alam nyata yang mengagetkan jika kita sudah membaca Shakespeare.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait