(Transkripsi Pengantar Denny JA Menyambut Kerjasama LSI Denny JA dan LAPI ITB membuat program pendidikan bidang pemerintahan/Opini Publik)
Pak Donald C Lantu, Pak Sugeng Raharjo dan para pimpinan LAPI ITB. Teman-teman LSI Denny JA. Wartawan dan undangan sekalian.
Saya ingin mulai dengan kutipan Indira Gandhi. “Menang atau Kalah dalam Pemilu itu hal yang sangatlah penting. Namun jauh lebih penting adalah bertambah kuat atau bertambah lemahnya negara.”
Jika pemilu memperlemah negara, ada yang salah dalam pemilu itu.
Survei LSI Denny menemukan data itu. Dalam persepsi publik, ada yang membuat negara melemah. Tapi ada pula yang membuat negara menguat akibat pilpres 2019.
Yang melemah pasca Pilpres 2019: kepercayaan publik menurun. Kepercayaan menurun tak hanya kepada penyelenggara pemilu seperti KPU, Banwaslu. Kepercayaan menurun pula tak hanya kepada institusi negara, seperti polisi, presiden, DPR, partai dan MK. Kepercayaan publik juga menurun kepada lembaga sosial: pers, ulama dan civil society.
Ada yang salah dalam cara kita berkampanye. Ada yang berlebihan dalam cara kita berpolitik. Serang menyerang dalam kampanye, politisasi isu agama, disebarkannya berita bohong hingga ke tingkat grass root, Hoax media sosial, meninggalkan jejak panjang. Pilpres 2019 memang sudah selesai. Tapi keterbelahan dan luka publik masih menganga.
Bagaimana detail menurunnya kepercayaan publik itu? Apa sebabnya? Nanti Tim LSI yang akan menjelaskan lebih detail
Tapi ada pula yang bisa ditafsir menguatkan negara setelah Pilpres 2019. Yaitu fenomena unik. Ini unik sekelas kasus “Belive It Or Not.” Aneh Tapi Nyata! Dua capres yang bersaing: Jokowi dan Prabowo sama sama menjadi penguasa. Yang satu presiden, yang satu menjadi mentrinya.
Mengapa ini unik? Biasanya setelah pilpres, dua capres tetap berhadapan. Yang satu penguasa, yang satu beroposisi. Yang bertarung dalam pilpres tak hanya dua tokoh yang berbeda. Tapi juga dua visi yang berbeda. Dua program yang berbeda. Dua masa depan yang berbeda.
Calon presiden yang bersaing kemudian sama sama menjadi penguasa, tak pernah terjadi dalam seluruh pemilu langsung Indonesia. Bahkan tak pernah terjadi juga dalam ratusan tahun pilpres di Amerika Serikat.
Tim Riset LSI menganggap bersatunya dua calon presiden yang bersaing, sama sama menjadi penguasa, yg satu presiden, yang satu menteri, itu positif.
Mengapa positif? Ada dua alasan. Pertama, ini sebuah terobosan politik. Langkah yang tak terduga. Langkah out of the box. Yang justru efeknya memperkuat negara.
Dalam bisnis ada istilah Koopetisi. Ini gabungan dari Kooperasi dan Kompetisi. Itu sebuah platform baru yang menyatukan kerjasama dan persaingan sekaligus.
Dua pihak yang berkompetisi ada baiknya dalam satu momen juga melakukan kerjasama. Untuk kepentingan semua. Lalu setelah itu boleh berkompetisi lagi.
Pernah terjadi kasus Koopetisi ini antara mobil Peugeot Citroen dan mobil toyota. Ini dua mobil yang bersaing. Tapi pernah dalam satu momen mereka bekerja sama, menghasilkan sebuah mesin baru.
Dengan kerja sama, semua harga produksi dibagi. Masing bisa memperoleh mesin baru dengan harga lebih murah. Mesin baru itu sangat nyata meningkatkan kualitas baik untuk mobil Peugeot Citroen ataupun Toyota. Selesai kerjasama, kemudian Peugeot Citroen dan Toyota bersaing kembali.
Sebuah buku ditulis oleh Adam Brandenburger dan Barry J Nalebuff. Yang satu lulusan Harvard Bisnis School. Yang satu lulusan Yale Bisnis School. Mereka menulis buku berjudul Coopetition: The ability to cooperate and compete together. Kemampuan bersaing dan bekerjasama sekaligus.
Persaingan lalu kerjasama sangat dianjurkan dalam bisnis di zaman now. Dunia politik dapat pula mencontohnya.
Sebut saja ini sebuah ijtihad politik. Dalam ijtihad, jika benar pahalanya dua. Jika salah, pahalanya satu. Sebuah terobosan baru selalu kita hargai.
Alasan kedua, mengapa kita mendukung bersatunya dua capres yang besaing? Itu untuk membuat kasus yang kongkret. Kasus itu segera kita rujuk untuk memberi hikmah: berpolitiklah dengan rileks. Bersainglah dengan lebih santai.
Lihatlah Jokowi dan Prabowo. Toh ujungnya mereka bersatu. Kasus ini penting karena dalam pilpres 2019, publik terbelah. Terjadi pembelahan politik yang dahsyat. Isu agama dimainkan pula. Tak hanya banyak persahabatan yang pecah dan komunitas yang terbelah. Tak jarang satu keluargapun bersitegang. Yang satu membela Jokowi. Yang lain membela Prabowo.
Terbelahnya politik Indonesia ketika pilpres 2019 dapat dilihat dari data KPU. Di aneka provinsi yang kaum minoritas agama dominan, Jokowi menang telak. Sebaliknya, di aneka provinsi yang muslim konservatif dominan, Prabowo menang telak.
Alhamdullah, akhirnya Jokowi dan Prabowo memilih bekerja sama setelah bersaing. Ini harus semakin menyentak kita. Menyadarkan kita prinsip yang paling tua dalam politik. Bahwa tak ada musuh yang abadi. Tak ada teman yang abadi. Dalam politik, yang abadi adalah kepentingan. Teman dapat menjadi musuh. Musuh dapat menjadi teman.
Tak ada gunanya menyebar permusuhan untuk pemilu yang berlangsung lima tahun sekali. Toh mereka yang dulu berhadapan kita dapat bersama menjadi pemerintah.
Karena itu berpolitiklah dengan rileks. Besainglah dengan santai saja. Setelah bersaing, bahkan kita bisa bekerja sama.
Negara juga dapat diperkuat melalui jalur pendidikan. LSI Denny JA juga membuat terobosan bersama LAPI ITB. Kita akan membuat program agar prinsip pemerintahan yang baik meluas.
Demokrasi juga membutuhkan civic competence. Peradaban modern juga membutuhkan meningkatnya kapabilitas pemerintahan. Penambahan ilmu pengetahuan bagi penyelenggara negara dan elit masyarakat secara sistematis bisa dilayani oleh institusi pendidikan.
Hari ini akan ada pula publikasi survei LSI Denny JA. Publikasi ini dibuat untuk menyambut kerjasama LSI Denny JA dan LAPI ITB. Jika politik cenderung membelah, maka pendidikan akan menyatukan kita!