Women in Public: Keadilan Gender

Penulis: Dea Tamara, Mahasiswa Sosiologi UBB

Swakarya.Com. Perempuan merupakan bagian dari anggota masyarakat yang populasinya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Laki-laki dan perempuan diciptakan dengan kedudukan, derajat, hak serta kewajiban yang sama.

Tentu masing-masing kedua jenis kelamin ini memiliki kekurangan dan kelebihan, semua itu dimaksudkan untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan di dunia ini. Kemudian yang menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan hanyalah kodrat yang di bawa sejak lahir dan tidak bisa di ubah.

Sedangkan penilaian terhadap kenyataan sebagai laki-laki dan perempuan oleh masyarakat dengan social dan budayanya dinamakan gender. Penetapan terhadap hubungan antara perempuan dan laki-laki yang berbeda, perilaku dan sikap berdasarkan gender, kelas dan suku, menjadi salah satu faktor penyebab ketidakadilan gender dalam masyarakat.

Perbincangan mengenai isu-isu gender semakin marak diperbincangkan terlebih lagi dalam lingkup pemerintahan, politik dan ruang publik di Indonesia. Isu gender kini masuk dalam program pembangunan yang berkelanjutan dalam semua aspek. Salah satunya adalah program Pengarusutamaan Gender dengan inpres no. 09 tahun 2000.

Menurut Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) tujuan dari Pengusutamaan Gender atau yang di Singkat (PUG) adalah memacu efisiensi serta efektifitas baik pihak pemerintahan maupun masyarakat dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yg good governance artinya sistem yang berdemokrasi, berkeadilan, responsif, transparan, terdesentralisasi dan aspiratif tanpa tindakan diskriminatif.

Hal ini berkaitan juga dengan kebijakan Affirmative Action atau kebijakan yang berfokus pada keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam institusi politik baik secara formal maupun informal seperti partai politik, parlemen atau birokrasi. Artinya kebijakan affirmative action juga mengupayakan untuk menghilangkan dan menghapus pandangan mengenai tindakan diskriminatif atas jenis kelamin, ras, bangsa dan agama.

Oleh karena itu, benang merah nya adalah untuk mencapai keadilan gender. Selain itu beberapa dekade lalu telah diluncurkan dan diratifikasi oleh lembaga-lembaga nasional maupun internasional dalam Beijing Declaration and platform action yang menekan angka 30 persen sebagai persyaratan jumlah wakil perempuan dalam menentukan kekuatan pengaruh mereka dalam institusi politik.

Dalam kajian oleh para ahli dan praktisi, quota minimal 30 persen mampu membantu perempuan untuk meningkatkan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dan untuk membentuk koalisi. Kemudian bagaimana dengan keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia. Keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2019 berada pada angka 20,8 persen atau sekitar 120 perempuan dari 575 seluruh anggota DPR RI (KPU, 2019).

Artinya keterlibatan perempuan dalam legislatif cukup berkembang pesat dibandingkan dengan pemilu tahun 2004 yaitu sekitar 11,8 persen. Walaupun belum mencapai pada target 30 persen, perspektif nya adalah bukan kepada jumlah perempuan yang terlibat tetapi pada kebijakan-kebijakan yang dimuat dalam program dan peraturan yang berperspektif gender, untuk mewujudkan perempuan yang berdaya dan meningkatkan kualitas demokrasi di negara.

Bangka Belitung yang merupakan salah satu provinsi dari wilayah Indonesia. Keterlibatan perempuan dalam ruang publik nya cenderung menurun apabila kita bandingkan dengan kepesatan tingkat partisipasi perempuan dalam legislatif pusat. Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik Indonesia, Keterlibatan perempuan dalam parlemen di tahun 2019 hanya mencapai 4,44% dibandingkan dengan tahun 2015 sebesar 8,89 %.

Dalam hal ini kita bisa melihat dan menjadi pertanyaan mengapa keterlibatan perempuan terkhususnya Bangka Belitung masih rendah dalam ruang publik padahal kebijakan affirmation action sudah diberlakukan. Kami melihat bahwa yang menjadi alasan utama nya adalah hegemoni dari sistem patriarki yg masih membudaya dalam masyarakat.

Apabila perempuan yang ingin memasuki ruang publik maka ia harus siap berperan ganda, artinya perempuan harus siap menjadi pekerja yang pada umumnya dan menjadi pelaksana utama dalam keluarga. Yang dimaksud disini adalah selain menjadi pekerja maka perempuan juga dituntut untuk menjadi penanggung jawab fungsi dalam keluarga.

Sementara pihak laki-laki peranan yang kedua ini tidak dituntut. Jadi pihak laki-laki lebih leluasa untuk terlibat dalam ruang publik.


Oleh karena itu perempuan yang ingin memasuki ruang publik, maka ia juga harus siap melaksanakan peranannya dalam ruang privasi (keluarga). Sebagai contohnya kita bisa melihat aktifitas Ibu Melati Erzaldi selaku Istri dari orang nomor 1 di Bangka Belitung.

Selain menjadi sosok Ibu bagi anak-anaknya beliau juga menjadi Istri yang mengimbangi peran suaminya baik dalam ruang privasi (keluarga) tetapi juga ruang publik (masyarakat). Amanah yang diemban beliau sehingga memiliki banyak jabatan seperti ketua TP PKK, ketua Kwarda Gerakan Pramuka Bangka Belitung, bunda paud, serta berbagai kegiatan sosial masyarakat lainnya.

Beliau juga menjadi founder dan inisiator sekuntum melati. Sekuntum melati ini merupakan sekolah yang melatih dan mendidik perempuan – perempuan terutama di Bangka Belitung agar menjadi MANDIRI sehingga bisa memberdayakan diri sendiri dan mampu menggerakkan ekonomi keluarga.

Oleh masyarakat Bangka Belitung Ibu Melati dikenal dengan sosok yang memiliki kemandirian dan aktif dalam kegiatan sosial. Sehingga dari perjalanan kehidupan inspirator perempuan BABEL ini, kita bisa menandakan bahwa belum terwujudnya kesetaraan gender terhadap aspek ruang publik itu bukan karena minat perempuan yang rendah untuk terlibat dalam dunia ruang publik akan tetapi lebih kepada kesiapan perempuan yang belum bisa menyanggupi peranan ganda yang akan di laksanakannya, artinya perempuan yang bekerja diruang publik pasti memiliki kemandirian yang kuat.


Oleh karena itu dalam menanggulangi hal tersebut, selain menjadi mandiri dalam peran dan fungsinya, perlu juga konstruksi ulang budaya dengan membuka pikiran, pemahaman dan kesadaran oleh semua pihak, baik dalam kalangan masyarakat, pemerintah dan nonpemerintah, suami dan istri diberbagai bidang untuk memberikan kontribusi nyata bagi perempuan terlibat di ruang public.

Dalam menyikapi hal itu sebenarnya regulasi yang menekankan angka 30% sebagai Affirmative Action untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah Hal yang dapat memantik para perempuan untuk lebih berperan aktif di dalam ruang publik khususnya legislatif.


Kontribusi perempuan sangat diperlukan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga program terhadap perumusan kebijakan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan/evaluasi terintegrasi pada aspek gender untuk mewujudkan keadilan gender.

Kemudian dengan kebijakan responsive pada gender ini diharapkan mampu membentuk kebijakan yang juga memprioritaskan kepentingan perempuan, kebijakan perlindungan sosial yang juga ramah perempuan. Selain itu juga perlunya perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dari bias gender. Oleh karena dalam mewujudkan sebuah keadilan gender memerlukan perjalanan yang panjang dan dukungan, kemauan serta kesadaran dari seluruh masyarakat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *