Patologi Birokrasi: Membaca Karakter ASN di Bangka Belitung

Oleh: AHMADI SOFYAN (Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya)

SEJAK dulu, nampak sekali Birokrat di Pemprov Bangka Belitung memecahkan diri membentuk kubu-kubu. Ada kubu A, Kubu B dan bahkan Kubu C. Karakternya sama, “Diatur dak nek, disuroh mimpin dak pacak” atau “dipadah die ngebantah, dak dipadah die ngeracau”.

====================

SAYA nyaris tidak mau menulis tentang dunia birokasi dan termasuk isinya, yakni para birokrat. Tapi tiba-tiba saya tersentil juga untuk menulis, sebab malam ini, saat sedang menikmati secangkir kopi, mendengar bahwa besok (Kamis, 30 Maret 2023) akan diadakan pelantikan pejabat di Eselon II dan III di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Ini hal yang biasa banget dan nggak perlu ditulis, tapi ketika saya mendengar ada kubu yang akan membuat “gerakan penolakan” menimbulkan pertanyaan dalam diri saya. Apakah Birokrat itu seperti itu? bukankah birokat itu adalah abdi negara yang siap ditempatkan dimana pun dan dalam posisi apapun. Siap memimpin dan siap dipimpin. Semoga isu “gerakan penolakan” tersebut tidaklah benar sebab menjadi hal yang sangat tidak mendidik karakter birokrat sejati. Akhirnya, hanya dengan menggunakan Handphone, sebab laptop tua saya suka ngadat, terlebih musim listrik “Lep-Lep Nyer” alias “Byar Pet” (kalau bayar kuras dompet), maka saya mencoba menulis isi sekilas “Patologi Birokrasi: Membaca Karakter ASN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”.

Patologi Birokasi

Bahasa “Patologi” awalnya dipakai oleh dunia medis yang bermakna penyakit. Namun seiring perkembangan zaman, dalam dunia birokrasi juga dipakai istilah Patologi sebab dalam lingkungan birokasi kerapkali ditemui penyebaran penyakit baik secara tersruktur maupun non sturktural. Patologi Birokrasi merupakan penyakit dalam lingkungan birokrasi yang muncul akibat perilaku atau karakter atau mental para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk hal tersebut, baik yang menyangkut politis, ekonomis, sosial kultural dan teknologikal.

Dalam buku karya Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M.P.A. disebutkan bahwa Patologi atau penyakit-penyakit yang menjalar dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam 5 macam:

  • Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manjerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Misalnya, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima atau memberi suap, arogan, intimidasi, kredibilitas rendah dan nepotisme.
  • Patologi yang timbul karena kurang atau rendahnya pengetahuan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Misalnya, ketidaktelitian, ketidakcakapan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, cepat memiliki rasa puas diri, bertindak dan berucap tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif dan telmi alias telat mikir.
  • Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diantaranya menerima suap atau memberi suap, korupsi, gratifikasi, ketidakjujuran, kleptokrasi dan mark up anggaran.
  • Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negative. Misalnya, bertindak sewenang-wenang, konspirasi buruk, memprovokasi, diskriminatif dan tidak disiplin.
  • Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan Pemerintah. Misalnya, patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi yang tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja yang kurang kondusif.

Dampak Patologi Birokrasi Terhadap Pelayanan Publik

Patologi birokrasi pastinya dapat berakibat buruk pada pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, di lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang atau jasa, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apabila terdapat ketidakmampuan pelanggaran dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan yang bertanggungjawab adalah penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara.

Dalam menyelenggarakan pelayanan publik, birokasi harus memiliki standar yang baik dan efisien, artinya nggak njlimet dan ruwet, sehingga mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pihak penerima pelayanan. Selama ini yang kita temui dan kita rasakan sebagai masyarakat, adalah birokrasi yang sangat tidak efisien, membuat isi kepala ruwet sebab hal yang tidak prinsipil. Padahal penyelenggaraan pelayanan publik harus menerapkan prinsip efektif, efisien, inovasi dan komitmen mutu. Apabila birokrasi terjangkit penyakit, maka secara otomatis dapat berpengaruh besar terhadap kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Saya pribadi, karena seringkali mengalami buruknya pelayanan birokrasi, selalu berusaha menghindar untuk berurusan birokasi di pemerintahan, baik itu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun di BUMN atau BUMD. Sebab birokrasi yang njlimet, tidak efisien serta oknum birokrat yang tidak inovatif serta merasa memiliki kasta lebih tinggi dari masyarakat umum dan bergaya hedonis, membuat orang seperti saya enggan untuk berurusan. Inilah mengapa “patologi birokasi” semakin berkembang biak di Indonesia, termasuk di Negeri Serumpun Sebalai, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tercinta.

Membaca Karakter ASN di Bangka Belitung

ASN (Aparatur Sipil Negara) atau birokrat di lingkungan kerja Pemerintah Daerah, baik di Provinsi, Kabupaten maupun Kota di Kepulauan Bangka Belitung memiliki banyak karakter yang pastinya tidak lepas dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Bangka Belitung yang notabene masyarakatnya adalah masyarakat yang sangat berdaulat alias merdeka dalam bersikap, bicara dan kurang dalam unggah-ungguh seperti halnya masyarakat Pulau Jawa, cukup berpengaruh pada karakter birokratnya.

Esensi Birokrat adalah mengabdi dan melayani nampaknya kurang begitu menjiwai bagi birokrat di Negeri Serumpun Sebalai ini. Sebab, nampak sekali birokrat di sini wira-wiri bicara sibuk soal jabatan, soal hal-hal yang sangat tidak prinsipil, bukan pada inovasi dan pelayanan, tapi lebih cenderung pada penempatan. Esensi birokrat mengabdi, artinya siap ditempat dimana pun dan dalam jabatan apa pun, yang penting mengabdi dan melayani serta tetap berinovasi.

Sebab karakter mengabdi dan melayani tidak masuk ke dalam jiwa para birokrat inilah yang memunculkan karakter:“Diatur dak nek, disuroh mimpin dak pacak” atau “dipadah die ngebantah, dak dipadah die ngeracau”.  Padahal seorang birokrat sejati adalah birokrat yang siap memimpin dan siap dipimpin. Siap ditempatkan dimana pun dan tak hirau akan posisi (penempatan). Yang terjadi bertahun-tahun, ASN di Bangka Belitung (mungkin juga di seluruh Indonesia), selalu berpikir pada posisi diri. Menjadikan dirinya adalah tujuan, bukan bagian dari alat menuju tujuan. Padhaal sangat penting untuk dipahami, bahwa prinsip birokrasi itu harus mendukung tujuan, bukan dirinya yang menjadi tujuan. Ketika semua sudah sesuai prosedur, maka semuanya harus dijalankan dan “legowo”. Sebagai ASN yang berinovasi, tak penting soal posisi, tetaplah berprestasi.

ASN yang selalu berpikir penempatan bukan pelayanan, maka akan melahirkan ASN-ASN yang berkarakter “nucok lulong” alias penjilat. Inilah yang salah satu patologi birokrasi yang terjadi di Bangka Belitung, sehingga lahirlah Kubu A Kubu B dan Kubu C. Ketika ini terjadi, maka konspirasi sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, dalam hal ini, sosok seorang Kepala Daerah harus berkarakter Leader, bukan manager apalagi “Dealer”.

Saya yakin, bahwa semua ASN di Bangka Belitung pasti paham bahwa birokrat itu fungsinya pelayanan, sturktur hirarkis (patuh pada atasan) siapapun atasannya, yang pada esensi dasar adalah mengabdi pada negara. Seorang Kepala Daerah adalah Leader, bukan pelaksana tugas birokrasi. Maka seorang Kepala Daerah memiliki wewenang yang cukup luas untuk memutuskan posisi seorang birokrat, yang penting sesuai prosedur, bukan like and dislike atau nepotisme.

***

OYA, saat menulis ini dilayar Handphone, ada kawan nyeletuk: “Kalau Atok Kulop jadi Gubernur, kira-kira siapa birokrat dimutasi duluan?” Saya jawab dengan penuh canda: “Kalau saya jadi Gubernur saat ini, maka Bang Doktor Rofiko saya mutasi menjadi Sekwan (Sekretaris Dewan) di DPRD Provinsi”. Lalu sang kawan bertanya: “Alasannya?”. Dengan santai saya jawab: “Biar 45 Anggota Dewan pusing kelabakan, sebab jumlah Anggota DPRD berubah jadi 46, karena Bang Doktor Rofiko jadi “Anggota Dewan” ke-46-nya”. Sang teman ngakak keras. “Wah, jadi tulisan aja ini” sambut kawan. Pasti!

Salam Birokrasi!(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *