Peran Pembimbing Kemasyarakatan Menangani Pekerja Anak Berkonfik Hukum

Penulis: Agnes Vebriani.SH, Penata Muda /III.a

Swakarya.Com-Maraknya fenomena pekerja anak masih menjadi masalah sosial yang telah menjadi isu global bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Studi global International Labour Organization (ILO) tahun 2020 menunjukan bahwa ada sekitar 160 juta pekerja anak di dunia. Angka tersebut mewakili 63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki, setara dengan 1 dari 10 anak di seluruh dunia.

Selain itu, kemungkinan peningkatan kemiskinan akibat pandemi COVID-19 dapat membalikkan kemajuan bertahun-tahun dalam memerangi pekerja anak. Diperkirakan, akan ada tambahan 9 juta anak yang berisiko menjadi pekerja anak pada 2022. Sementara di Indonesia, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2020, diketahui 3,36 juta anak Indonesia bekerja dan 1,17 juta anak di antaranya adalah pekerja anak.


Kondisi keluarga yang miskin terpaksa menuntut anak untuk bekerja. Terkadang anak-anak yang bekerja ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, melainkan justru untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Meski anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari namun sudah seharusnya tetap memperhatikan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan ketika anak bekerja.


Meningkatnya jumlah pekerja anak ini sangat disayangkan karena mirisnya tak sedikit anak yang bekerja kemudian harus kehilangan haknya sebagai seorang anak, diumurnya yang seharusnya dihabiskan untuk belajar dan bertumbuh kembang malah digunakan bekerja. Sehingga tak heran kemudian banyak pekerja anak yang putus sekolah karena harus bekerja membantu perekonomian keluarga.


Selain itu, pekerja anak juga rentan diekspolitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab apalagi mempekerjakan anak secara tidak langsung akan membahayakan pertumbuhan perkembangan fisik, psikologis, mental, spiritual, moral, sosial dan intelektual dan anak. Sehingga perlunya perlindungan hukum terhadap pekerja anak agar hak-haknya tetap terpenuhi meski harus terjun di dunia lapangan pekerjaan.

Disinilah dibutuhkan peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perlindungan pekerja anak agar terhindar dari berhadapan dengan hukum di dunia pekerjaan.
Akan tetapi disamping UU yang memberikan ruang untuk anak bekerja namun perlu diingat Anak-anak adalah aset tak ternilai harganya, tidak hanya dari budaya perspektif sosial, ekonomi, politik dan hukum, tetapi juga dalam perspektif keberlanjutan generasi keluarga, suku, ras, dan bangsa.

Meskipun ada seperangkat peraturan yang melindungi pekerja anak, kecenderungan kualitas masalah pekerja anak dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas terhadap bentuk-bentuk terburuk pekerjaan eksploitatif bahwa akan membahayakan pertumbuhan dan intelektual fisik, mental, moral, sosial dan perkembangan anak-anak. Jenis terburuk pekerjaan semakin ditemukan, seperti anak-prostitusi, anak-perdagangan, dan lain-lain.


Selain itu United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) telah menetapkan beberapa kriteria eksploitasi terhadap anak yang bekerja antara lain bekerja penuh waktu (fulltime) untuk umur yang terlalu dini, terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja, pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis, upah yang tidak mencukupi, tanggung jawab yang terlalu banyak, pekerjaan yang menghambat ke akses pendidikan, pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, serta pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan psikologis.


Melihat fenomena di atas tentunya pekerja anak akan cenderung dieksploitasi baik itu dengan mendapatkan tuduhan secara tidak berdasar nantinya saat bekerja ataupun melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap merugikan tempat dia bekerja sampai pada tindak kriminal yang bisa terjadi kepada anak di tempat kerja. Maka pekerja anak akan sangat rentan berkonflik dengan hukum sehingga peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sangat diperlukan guna memberikan pembimbingan serta pengawasan.

Terkait kondisi psikologi anak, negara sendiri sudah mengeluarkan instrumen-instrumen hukum agar membedakan perlakuan hukum terhadap anak salah satunya ialah Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Upaya yang dilakukan PK sudah seharusnya menggunakan konsep preventif agar tidak terjadi ABH dengan cara salah satunya yakni jemput bola melihat dan meneliti secara langsung pekerja anak di lapang.


Apabila upaya preventif pekerja ABH gagal maka PK sebagai bagian dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) akan terlibat selama proses peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum dari awal anak ditangkap hingga anak menyelesaikan masa hukumannya. Tak hanya itu menurut penulis PK juga harus terlibat dalam proses anak sebagai korban dengan berkerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Sehingga ini membuat BAPAS memiliki peran yang penting secara komprehensif tidak hanya dalam proses peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum namun juga kasus-kasus anak yang menjadi korban dari suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab yang ingin mengeksploitasi anak.


Secara umum peran BAPAS sendiri dalam proses peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi) yakni penyidikan, tahap saat sidang pengadilan (adjudikasi) yakni pendampingan di persidangan dan tahap setelah pengadilan (post adjudikasi) yakni pengawasan dan pembimbingan bagi Anak yang berkonflik dengan hukum.


Sementara itu, Untuk meningkatkan fungsi BAPAS dan peran dari Pembimbing Kemasyarakat selanjutnya upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan penambahan Pembimbing Kemasyarakatan agar kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum tidak banyak yang terbengkalai. Hal ini harus disertai pula dengan menjaga intensitas komunikasi yang rutin antara Pembimbing dengan ABH dalam menjalankan proses pelayanan yang semestinya.

Selain itu, perlu adanya pelayanan yang diberikan kepada orang tua dari anak yang berkonflik dengan hukum agar orang tua juga mampu membantu anak yang berkonflik dengan hukum kembali ke tengah-tengah masyarakat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *