Tutur, Tatar dan Teter

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

BAGI kami Urang Bangka Belitung, “Dak sape negah ikak nek jadi Raje, asal jen ngeraje”. Kalimat lama terucap Zulkarnain Karim (Almarhum) yang relevan hingga kini. Kalimat ini masuk kategori “Tatar”. Sebab Orang Bangka memiliki 3 tahapan dalam menyelesaikan sesuatu pada seseorang, yakni “Tutur”, “Tatar” dan “Teter”.

====

KETIKA tulisan saya kemaren dimuat di media online yang berjudul “Sape Ge Pj. Gubernur Kite??” dengan keseluruhan kalimat menggunakan Bahasa Bangka. Sengaja saya melakukan itu, sebab saya ingin menunjukkan bahwa Bangka Belitung yang kecil ini harus diketahui bahwa memiliki keragaman bahasa dan logat yang sangat banyak. Apalagi karakter orangnya yang pastinya lebih beraneka ragam lagi.

Tulisan itu sebagai ucapan “welcome” Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Negeri Serumpun Sebalai agar keberadaannya memiliki keinginan belajar sedikit-sedikit bahasa lokal agar lebih menyatu dengan masyarakat. Minimal kalimat “aok” dan kalimat-kalimat seterusnya. Semua orang tahu, bahwa Bangka Belitung adalah Negeri Melayu yang sangat bersinergi dengan Suku Tionghua. Sebab Melayu dan Tionghua disini terkenal dengan saling asah, asih dan asuh. Melayu tak selalu benar dan Tionghua tak selalu besar. Semua disini setara, harmonis dalam perbedaan. Hanya satu kekurangannya, kami kurang sinergi dalam membangun negeri sebab mudah sekali diadu domba dan rebutan ingin tampil dimuka. Rasa iri dengki kalau ada yang lebih di negeri ini juga sangat kental.

Kami sibuk membuat ikon, sehingga sibuk meresmikan ikon ini ikon itu sampai rakyat bingung mana ikon kita yang sebenarnya. Saking banyaknya, tidak ada yang populer diluar Bangka Belitung bahkan di kampung sekalipun. Sebab ikon itu tak bermanfaat bagi kehidupan nyata anak negeri. Antara kata dan slogan berbeda dengan sikap dan perilaku keseharian. Senyum slogannya, tapi “merteng” dalam perilaku. “Kolaborasi” yang diucapkan, “konspirasi” main dibelakang. Minta dikritik padahal minta dipuji. Begitulah yang ada dan masih bertengger dalam kehidupan nyata hari ini ditengah kehidupan dunia persilatan pemerintahan. Ini hanya sekilas tentang tata pembangunan di negeri ini, tak ada yang bisa kami banggakan sama sekali, kecuali hanya untuk kepentingan dan pencitraan sesaat atau jangka pendek, bukan untuk jangka panjang. Bodohnya lagi, karena kedangkalan pengetahuan, banyak anak muda kami digiring seperti bebek untuk memuji dan mengapresiasi.

“Raje Jen Ngeraje”

Kepada Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang baru dilantik, Suganda Pandapotan Pasaribu, bukanlah bermaksud “mengajar ikan berenang” apalagi ilmu dan pengalaman Anda jauh lebih tinggi dari saya anak kampung ini. Tulisan ini anggap saja saya sekedar “numpang” mengingatkan sebab begitu besar rasa cinta kami kepada negeri ini. Begitu besar harapan kami akan kemajuan dan kebermanfaatan anak-anak negeri pada negerinya sendiri. Oleh karenanya, dalam kepemimpinan Bapak Pj. Gubernur, Suganda Pandapotan Pasaribu, kami berharap dapat manfaatkan SDM yang ada disini, terutama putra-putri daerah, jangan bawa dari luar hanya karena ingin merajai, tapi silahkan datang untuk kebermanfaatan negeri dan dapat bersinergi untuk membangun negeri. Jangan sampai yang dari luar datang justru menjadi “juragan” dan kami anak negeri menjadi “pembantu” yang akhirnya anak cucu kami jadi “pemulung”.

Berikan kami disini teladan kepemimpinan yang baik, birokrasi sehat, ASN yang bukan penjilat, komunikasi terbuka dan yang paling penting bagi orang Bangka Belitung adalah persahabatan. Sebab kalau orang Bangka Belitung sudah menganggap “Sahabat”, yakinlah siapapun Anda, akan kangen pada Bangka Belitung dan ingin menetap disini serta menjadi kelurga bagi masyarakat Negeri Serumpun Sebalai. So, carilah sahabat yang benar-benar sahabat sehingga Negeri Serumpun Sebalai ini adalah bagian dari diri Anda dan Anda adalah bagian dari masyarakat Bangka Belitung. Kalau pun tidak berkenan, “datanglah tampak muka dan pergilah tampak punggung”.

Ketika seorang “Raje” bersikap “Ngeraje”, percayalah bahwa disini akan didapatkan 3 tahapan dari masyarakat, yakni “Tutur” “Tatar” dan yang mengkhawatirkan adalah tahapan ketiga, yaitu “Teter”. Di ranah negeri Melayu, pasti sudah dipahami bahwa orang Melayu itu marahnya dengan senyum, tuturnya dengan sindiran, ungkapannya dengan pantun, bencinya dengan diam. Begitulah “tutur” dan “tatar” masyarakat negeri Melayu. Kalau sudah kesemuanya tidak mempan, maka barulah dengan “teter”, entah itu teter dengan tangan, kaki, ketapel, balok kayu, atau kalau zaman sekarang pastinya “teter” dimaksud adalah dengan ranah hukum.

Disini, Setiap Rakyat Berdaulat

MASYARAKAT Bangka Belitung sangat berbeda dengan masyarakat Pulau Jawa yang sangat kental dengan unggah ungguh, toto kromo dan adab serta adat istiadat. Di Pulau Jawa dan dibeberapa daerah lainnya di Indonesia, tingkatan golongan atau kasta sosial ditengah masyarakat masih sangat kental dan nampak. Tapi di Bangka Belitung soal kasta atau status sosial disini adalah sama.

Bagi masyarakat Bangka Belitung semua orang adalah sama. “Selame agik same-same makan nasik, arti e agik same” (Selama masih sama-sama makan nasi, berarti masih sama kastanya). Begitupula kalimat “Kami dak mintak maken kek ikak!” (Kami tidak meminta makan kepada kalian), atau juga kalimat “Nyo nek kato nyo lah” (Dia mau kata dia lah), atau juga karakter “Dak Kawa Nyusah” atau “ngumong kek Sabak” atau juga “Nek yo nggak sudah” (Kalau mau ayo, kalau nggak mau ya sudahlah!) adalah sebagian kalimat yang menunjukkan karakter masyarakat Bangka Belitung itu sangat berdaulat pada dirinya sendiri. Bahkan ada kalimat lucu namun nyaris benar, yakni “Kalau urang banten dak mempan dibacok, urang Bangka dak mempan dipadah” (Orang Banten tidak mempan dibacok, orang Bangka dak mempan dinasehatin).

Di Negeri Melayu ini, apapun profesinya, gelarnya,  pangkatnya, jabatannya, kekayaannya, nasab-nya, selama masih berbentuk manusia, makan nasi, minum air dan masih ngantuk dan tidur, artinya sama derajatnya. Jangan heran disini, kalau perilaku pejabat yang berlagak ingin dihormati dan bersikap “priyayi”, tidak akan diterima dan bahkan menjadi bahan olokan dan tertawaan. Disini sudah biasa kalau tiba-tiba Gubernur datang disapa sebagaimana menyapa kawan. Diajak ngobrol sebagaimana ngobrol dengan teman di kampung, ditepuk pundaknya sebagaimana teman masa kecil. Dikritik didepan umum sebab merasa semua adalah sama. Disini tidak ada tingkatan kasta bahwa harus membungkuk, merunduk apalagi menyembah. Walaupun demikian, masih ada sebagian yang berperilaku “oke Boss” didepan sambil megang “burung dan lato-lato”, tapi dibelakang malah mengolok alias mentertawakan. Lagi-lagi, disini semua orang adalah sama, yakni sama-sama berdaulat pada dirinya sendiri.

So, bagaimana menjadi Pemimpin di Negeri Serumpun Sebalai? Dalam bergaul, samakanlah diri alias sederajatkanlah dirimu dengan semua masyarakat umum. Sebab disini yang berbeda hanyalah Anda pengambil kebijakan, tapi dalam pergaulan adalah sama. Tersenyum dan tertawalah bersama semua orang, “begagil”-lah kalau harus begagil, karena karakter Urang Bangka Belitung senang “begagil” atau “begagit” (bercanda), termasuk saya menulis seperti ini juga tak pernah serius. Disini, jika pandai membawa diri dalam pergaulan, akan dikenang sebagai kebaikan dan penuh persahabatan. Sebab masyarakat Bangka Belitung tak akan mengenang seseorang dengan jabatan, pangkat, profesi dan kekayaannya. Yang akan dikenang adalah kebaikan dan persahabatannya.

Sekali lagi, orangtua kami zaman dulu di Kampung di Pulau Bangka ini menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan, pemerintahan bahkan dalam pendidikan, melakukan 3 tahapan, yakni“Tutur”, “Tatar” dan “Teter. “Tutur” itu ucapan yang diungkapkan dengan santun, bekisah dan menggunakan adab dan adat. Sedangkan “Tatar” itu ucapan lisan yang bernada tegas, perintah, bahkan bernada keras khas atasan kepada bawahan. Jika rakyat yang sudah mengucapkan itu kepada atasan atau pejabat, maka artinya rakyat sudah pada kategori “gerigit ati” (kesal). Sedangkan “Teter” adalah artinya libes (mencabuk/menyabet) maber (nempleng), pukulan alias bermain fisik. Tapi karena negeri ini adalah negeri hukum, maka yang dimaksud dengan “Teter” disini adalah melakukan penyelesaian melalui hukum. Nah…, begini aja dulu tulisan menjelang sahur ini….! “ko nek guring belacin duluk kek laok sahur!

Salam Bangka Belitung!(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *