Sektor Pertambangan dan Perikananan Ternyata Bisa ‘Akur’, Begini Penjelasannya

Swakarya.Com. Profesi nelayan merupakan salah satu mata pencaharian yang menjanjikan bagi perekonomian masyarakat di wilayah pesisir Pulau Bangka.

Profesi ini sudah sejak lama dijalankan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Pulau Bangka pada khususnya, yang pada dasarnya sudah mendarah daging di mata masyarakat.

Sebagaimana pepatah orang tua kita terdahulu, “Nenek Kita Seorang Pelaut”. Hal ini pun masih berlaku hingga sekarang di seluruh Indonesia, dibuktikan dengan profesi nelayan yang hingga kini tidak pernah mati mesti banyak persoalan yang ditemukan di laut, mulai dari cuaca yang tidak menentu, daya tangkap tidak bisa diperkirakan dengan maksimal hingga pada persoalan pertambangan khususnya di Pulau Bangka.

Akhir-akhir ini, nelayan Pulau Bangka dihebohkan dengan gejolak pertambangan timah di wilayah pesisir dengan media Kapal Isap Produksi (KIP), namun faktanya pertambangan ini sudah dilakukan sejak dulu di wilayah pesisir Pulau Bangka, yang pada akhirnya nelayan pun tidak mati. Para nelayan pun tetap bisa melaut dan mendapatkan penghasilan dari hasil tangkapannya.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3): “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa aktivitas yang ada di wilayah perairan Indonesia khususnya di Pulau Bangka mesti diperdayagunakan sebagaimana tujuan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.

Misalnya perairan Pulau Bangka memiliki SDA yang berlimpah dengan logam tanah jarangnya yaitu timah, maka sudah sepantasnya negara memanfaatkan hal tersebut untuk menambah pendapatan APBN tanpa mengganggu aktivitas para nelayan di wilayah teritorialnya.

Fakta baru, bahwa dalam perjalanan para nelayan, dari mulai nelayan pancing hingga nelayan jaring yang ada di Provinsi Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka yang wilayah perairannya terdapat KIP yang beroperasi hingga saat ini. Mereka dapat berdampingan, bahkan nelayan jaring diuntungkan dengan adanya KIP.

Dalam keterangannya, Nelayan Jaring Sungai Buluh, Kabupaten Bangka Barat Zulfan Hakim, membeberkan bahwa para nelayan jaring diuntungkan dengan adanya aktivitas KIP. Bagaimana tidak, KIP yang beroperasi mengahasilkan limbah air yang keruh ternyata membantu mereka mengelabui ikan untuk terjaring di alat tangkap mereka.

“Sebenarnya kami nelayan jaring tidak terganggu dengan adanya aktivitas tambang laut, yaitu KIP karena nelayan jaring ini memasang jaringnya di air yang sederhana, tidak terlampau jernih dan tidak terlampau keruh, karena kalok dia jernih jaring kami dapat dilihat oleh ikan sedangkan kalau dia air sederhana dengan keruh yang biasa yang tidak kental maka malah mempermudah ikan masuk kejaring kami karena tidak terlihat oleh ikan,” kata Zulfan Hakim yang juga selaku Ketua Koperasi Nelayan Intan Laut Sejahtera di Sungai Buluh, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat.

Zulfan Hakim mengaku sejak masa kecil ia sudah mengeluti dunia nelayan, dari mulai usai belasan tahun ia sudah sering mengikuti ayahnya pergi melaut, jadi perkiraannya sudah hampir 40 tahun lebih ia berprofesi sebagai nelayan.

Kemudian Zulfan mengatakan, kendala yang dirasakan ketika ingin melaut yaitu cuaca, ada istilah air bah atau air merah dan angin barat daya. Jika masuk pada masa itu, para nelayan biasanya tidak pergi melaut.

“Kami juga merasakan kendala di saat para KIP ini pindah malam, jadi jaring kami sering tersangkut, jadi kami minta agar KIP ini tidak pindah pada malam hari,” pintanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait