Cirebon, Swakarya.Com. Perjalanan kedua, rombongan Peace Train Indonesia berlabuh di daerah Babakan Ciwaringin. Sebuah daerah yang terkenal dengan ‘kampung santri’ karena terdapat beberapa Pondok Pesantren (Ponpes) di daerah ini.
Terletak cukup dekat dari Stasiun Cirebon, rombongan kami sampai ke Ponpes Kebon Jambu. Awalnya, ponpes ini merupakan sebidang tanah dengan ramainya pepohonan jambu. Hal tersebut yang menjadikan ponpes ini diberi nama Ponpes Kebon Jambu.
Ponpes ini memiliki beberapa keunikan atau daya tarik. Pertama, penggunaan nama Kebon Jambu–berbeda dengan mayoritas ponpes lainnya yang menggunakan Bahasa Arab.
Ternyata nama ini dipilih lantaran alasan khusus. Pendiri ponpes sengaja menggunakan Bahasa Indonesia agar orang-orang dapat dengan mudah mengerti.
“Sesederhana itu, namun maknanya sangat dalam,” ungkap Nyai Masriyah Amva yang merupakan Pimpinan Ponpes Kebon Jambu, Sabtu (24/1) lalu.
Daya tarik kedua, pemimpin ponpes ini seorang perempuan–ditengah stigma masyarakat yang masih menganggap perempuan tak ubahnya ‘konco wingking’ belaka. Dipimpin oleh Marsiyah Amva, ponpes ini menjadi berbeda dengan ponpes lainnya.
Daya tarik terakhir adalah perjalanan hidup yang dialami oleh Nyai–panggilan yang disematkan kepada Ibu Marsiyah.
Kisah hidupnya dapat menjadi berkat serta sumber penguatan bagi sesama, khususnya perempuan.
Secara singkat, ponpes ini didirikan Nyai bersama almarhum suaminya. Suatu ketika, suami Nyai dipanggil oleh Sang Pencipta.
Saat itu, nyai merasa sangat rapuh dan terpuruk. Ditambah lagi dengan kemungkinan besar ponpesnya akan berhenti beroperasi sepeninggal suaminya. Di titik rendahnya, Nyai berkontemplasi akan permasalahannya yang datang dan sangat membuatnya terpuruk.
“Saya gemetar dan hampir putus asa,” kata Nyai.
Dalam kontemplasinya, Nyai mendapatkan sebuah pemahaman yang mengatakan, manusia harus bersandar pada Allah, bukan kepada sesama makhluk (manusia).
Digambarkan seperti ini, laki-laki bersandar pada Tuhan, sementara perempuan bersandar pada laki-laki. Hasil perenungan Nyai membawanya pada pemikiran kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama menyandarkan dirinya pada Tuhan.
Hal itulah yang membuat Nyai dapat bangkit dari kerapuhannya selepas ditinggal suaminya. Nyai memberikan diri sepenuhnya pada Allah. Segala permasalahan hidupnya disandarkan pada Allah, tak terkecuali nasib ponpesnya. “Saya menjadikan Allah sebagai pendamping hidupnya saya,” ucapnya.
Benar kiranya, Allah dengan setia memelihara kehidupan Nyai serta ponpesnya. Saat ini, ponpes milik Nyai dapat dikatakan sebagai barometer dalam isu kesetaraan gender. Lebih dari seribu santri tinggal dan menetap di ponpes tersebut. Tak hanya itu, Nyai saat ini juga menularkan dakwahnya hampir ke seluruh penjuru dunia.
Bahkan, tamu-tamu yang datang mengunjungi Nyai di ponpesnya sudah tidak terhitung jumlahnya. Tidak hanya dari Indonesia, tamunya banyak juga dari luar negeri. Sebut saja Amerika, Belanda, Palestina, Jepang, dll.
Penulis : Nana Rohamna
Editor : Tahir