Penulis: Rozi, Dosen Agama Islam, Fakultas Ekonomi UBB
Swakarya.com, Menakar Istilah Ekstremis
Istilah ekstremisme jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia setidaknya memiliki dua hal, yaitu: Pertama, paling ujung (paling keras, paling tinggi, dan sebagainya). Kedua, sangat keras dan teguh (fanatik). Ekstremisme dapat juga diartikan sebagai hal yang keterlaluan atau melampaui batas kewajaran. Dalam tinjauan Al-Qur’an dan Sunnah, makna ekstrem atau pelampauan batas dalam agama disebut dengan istilah ghuluw. Pada QS. Al-Maidah [4]: 77, yang memiliki arti “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melakukan ghuluw (melampaui batas) atau berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan telah menyesatkan banyak manusia dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus”.
Demikian juga dalam pandangan Sunnah bahwa pelampauan batas juga diistilahkan dengan kata ghuluw. Ada satu kisah di mana diceritakan oleh seorang sahabat Nabi yang bernama Ibnu ‘Abbas menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pada saat pelemparan Jumrah ketika pelaksanaan haji dan pada saat itu Nabi sedang menunggang Unta, beliau meminta Ibnu ‘Abbas untuk mengambilkan batu-batu kecil dengan ukuran biasa yang akan digunakan beliau untuk melontar.
Maka Ibnu Abbas pun membagikan batu itu kepada Nabi, kemudian batu-batu itu digenggam oleh beliau lantas bersabda yang artinya “Seperti inilah besarnya yang hendaknya kalian gunakan di saat melontar.” Kemudian beliau bersabda, “Wahai seluruh manusia. Hindarilah ghuluw (pelampauan batas) dalam keberagamaan, karena yang membinasakan (umat) sebelum kamu adalah mereka yang melampaui batas (ghuluw) dalam keberagamaan” (HR. Ibnu Majah).
Dari sini, setidaknya kita bisa menarik simpulan bahwa yang dimaksud dengan istilah ekstremisme keberagamaan adalah mereka-mereka yang menjalankan perintah agama namun di luar batas kewajaran.
Oleh sebab itu, dalam bidang apa pun jika sudah melampaui batas kewajaran sangat dilarang terlebih khususnya dalam bidang keagamaan.
Faktor Penyebab dan Tanda Ekstremisme Keberagamaan
Tentunya banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya ekstremisme keagamaan. Faktor-faktor tersebut pun dapat dilihat dari perspektif yang berbeda. Misalnya Psikolog lebih menekankan terjadinya atau munculnya para ekstremis itu disebabkan kejiwaannya yang terganggu. Sedangkan Sosiolog melihat dari kondisi sosial politik yang terjadi di masyarakat.
Bahkan ada juga yang merumuskan penyebab utamanya adalah dikarenakan faktor ketimpangan sosial dan faktor ekonomi. Agaknya memang tidak keliru jika semua itu dapat menjadi pemicu. Tidak hanya itu, faktor keberagamaan pun juga dapat menjadi pemicu.
Demikian ini dapat terlahir dari kesalahpahaman atas tuntunan agama, baik disadari ataupun tidak. Akan tetapi kesalahpahaman yang tidak disadari itulah acap kali menyertai setiap pelaku atau digunakan oleh pelaku dalam sikap melampaui batas tersebut. Terjebaknya mereka dalam sikap pelampauan batas yaitu kekeliruan mereka dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis Nabi bagi yang beragama Muslim atau bagi mereka yang non-Islam keliru dalam memahami ajaran agamaya. Yang mana mereka memahaminya hanya sebatas tekstual dan keluar dari konteksnya.
Perlu dipahami bahwa para ekstrmisme dapat muncul dalam berbagai bentuk. Jika merujuk pada pandangan Prof. Quraish Shihab, setidaknya ekstremisme dapat diketahui dari tiga bentuk, meliputi: Pertama, kelakuan/tindakan, baik dalam bentuk ibadah yang dilebihkan dari apa yang diajarkan agama maupun bukan ibadah. Kedua, hati dan perasaan, baik dalam bentuk kepercayaan atau keyakinan, maupun emosi dan cinta.
Upaya Pencegahan Ekstremisme
Sebagaimana yang telah dikemukanan di atas, setidaknya dapat dipahami bahwa ekstremisme adalah suatu problem yang tentunya menuntut adanya solusi pencegahan. Oleh sebab itu, diperlukannya diagnosis terkait sebab munculnya dan untuk mengobatinya diperlukan adanya penjelasan yang bijaksana terkait ajaran Islam. Namun harus dipahami juga bahwasanya memberikan pemahaman kepada mereka yang sebelumnya telah terisi gagasan dan ide yang keliru jauh lebih sulit karena kita terlebih dahulu harus mengeluarkan isi pikirannya yang keliru, dibandingan memberikan pemahaman kepada mereka yang masih kosong.
Terlebih lagi, orang yang memiliki pemahaman yang keliru tersebut adalah orang yang tertutup (introvert) dan intoleran. Pastinya menyikapi para pelaku ekstremis (orang-orang yang melampaui batas) tidak bisa dengan cara yang keras, karena demikian itu sedikit manfaatnya. Untuk menyikapi atau menghadapi mereka hendaknya diajak duduk bersama kemudian menjelaskan tentang keberagamaan dengan santun, penuh kasih, dan disampaikan dengan sikap yang dapat memunculkan rasa simpati. Menimbang hal itu, maka diperlukan adanya kerja sama dari berbagai pihak, sembari memberikan pemahaman sejak dini kepada para generasi muda, baik melalui lembaga pendidikan atau dapat dilakukan dengan cara mensosialisasikan dan memberikan edukasi terkait keteladanan dalam rumah tangga dan masyarakat.
Di samping itu pula perlu adanya koordinasi dengan para penegak keadilan yang bernaung di lembaga pemerintahan agar problem ini dapat diselesaikan dengan cara bersama.***