Implementasi Budaya Damai dalam Realitas Sosial Medorong Harmonisasi Keberagaman

Penulisan: Serly Novitasari, Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bangka Belitung.

Swakarya.com. Slogan atau kata “Damai itu Indah” dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sudah seperti makanan sehari-hari, namun pada Kenyataannya budaya damai masih menjadi impian belaka. Implementasi Budaya Damai menjadi tantangan tersendiri dalam pengaruh arus Globalisasi dan realitas sosial saat ini.

Jika di lihat arti Damai itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman, tenteram, tenang, keadaan tidak bermusuhan, dan rukun. Berdasarkan pengertian KBBI sangat jelas jika budaya damai memiliki pengertian luas.

Penerapan budaya Damai harus dilakukan sejak dini melalui pembentukan kepribadian generasi muda. Dalam hal ini, ketiga pusat pendidikan (keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan) harus berjalan beriringan dan saling mendukung dalam membangun budaya damai.

Keluarga adalah tempat berkembangnya generasi. Dalam keluarga ini, anak-anak secara bertahap membentuk sikap hidup. Ini juga merupakan tempat di mana fondasi budaya dapat dikembangkan yang dapat diserap oleh generasi ini. Oleh karena itu, keluarga merupakan tempat yang paling cocok untuk membangun budaya damai. Karena keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.

Jika diselidiki dengan baik, budaya kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga telah berkontribusi pada transmisi budaya kekerasan kepada anak-anak. Bahkan, kita mungkin tidak pernah menyadari bahwa memaksakan kehendak kita secara sewenang-wenang pada anak tanpa mendengarkan keinginan dan keinginan mereka juga merupakan bagian dari model kekerasan yang beradab (non fisik).

Misalnya, ketika memilih sekolah anak, kekerasan non-fisik sangat mungkin terjadi. Anak-anak hampir selalu pergi ke sekolah sesuai dengan keinginan orang tuanya. Akibatnya, anak-anak dituntut untuk patuh dan tunduk pada sekolah pilihan orang tuanya tanpa negosiasi.

Dewasa ini, terutama di perkotaan, peran keluarga semakin berkurang karena setiap orang tua disibukkan dengan pekerjaan. Akibatnya, anak tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup. Belum lagi media massa, khususnya televisi banyak menayangkan program-program kekerasan.

Singkatnya, televisilah yang menanamkan nilai-nilai perilaku pada anak-anak lebih dari pada orang tua.
Selain itu, lembaga pendidikan (sekolah, universitas) juga berperan penting dalam membentuk budaya damai. Memang, sebagai proses dan kondisi yang diciptakan oleh realitas sosial, budaya damai hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan perdamaian, yang mendorong anak-anak untuk hidup damai, damai dengan lingkungan dan orang lain. Dalam pendidikan damai, anak-anak belajar sejak dini untuk tidak membeda-bedakan dan merendahkan orang lain. Di sisi lain, anak didorong untuk memiliki sikap toleransi dan cinta kasih terhadap sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.

Memelihara perdamaian tidak semudah membalikan telapak tangan. Butuh beberapa aspek,baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam meliputi dorongan diri sendiri untuk berperilaku damai, sedangkan dari luar adalah hal-hal yang mempengaruhi. Mengapa demikian? Ada faktor-faktor yang berpotensi dapat mempengaruhi seseorang bersikap anarkis dan radikal. Seperti pemberitaan-pemberitaan yang tidak independen dan akurat, kecanggihan teknologi untuk memprovokasi dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini, kekerasan tampaknya kian akrab dalam kehidupan masyarakat kita. Hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya beragam bentuk kekerasan, mulai dari konflik sosial,tawuran antar kampung atau antarsuku, geng motor,perkelahian pelajar hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kenyataan ini menandakan semakin memudarnya semangat perdamaian dalam kehidupan.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, tergantung dari sudut pandang mana yang dipergunakan untuk memahaminya. Tidak mudah untuk mengurai dari berbagai faktor yang ada karena masing-masing faktor saling memiliki keterkaitan. Namun satu hal mendasar yang harus dilakukan adalah bagaimana menghentikan, atau paling tidak mengurangi, agar kekerasan tidak semakin berkembang. Tanpa adanya usaha pencegahan, kekerasan akan semakin meluas dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.

Membangun Budaya Damai Sejak Dini harus diciptakan. Ingat pepatah “bisa karena terbiasa”, jika selalu berupaya menciptakan kedamaian dan menjaganya maka ia akan menjadi suatu budaya. Memang untuk memulai suatu kebiasaan sangat sulit, harus dengan dipaksa-terpaksa-biasa-terbiasa dan akhirnya membudaya.

Budaya damai itu adalah damai yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai budaya damai itu dalam Deklarasi PBB (1998) menyatakan: budaya damai adalah seperangkat nilai, sikap, tradisi,cara-cara berperilaku dan jalan hidup yang merefleksikan dan menginspirasi.

Beberapa aspek dalam budaya damai, Pertama Respek terhadap hidup dan hak asasi manusia. Kedua, Penolakan terhadap semua kekerasan dalam segala bentuknya dan komitmen untuk mencegah konflik kekerasan dengan memecahkan akar penyebab melalui dialog dan negosiasi. Ketiga, Komitmen untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemenuhan kebutuhan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Keempat, Menghargai dan mengedepankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Kelima, Penerimaan atas hak-hak asasi setiap orang untuk kebebasan berekspresi,opini dan informasi. Keenam, Penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi,toleransi, solidaritas, kerjasama, pluralisme, keanekaragamanbudaya, dialog dan saling pengertian antar bangsa-bangsa, antar etnik,agama, budaya, dan kelompok-kelompok lain dan serta individu individu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait