Penulis, Muhammad Aji Nurohman, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Swakarya.Com. Pada era yang serba daring ini, institusi pemerintahan yang seringkali diberi label sebagai sebuah organisasi yang kolot, abai terhadap perubahan, tidak menyukai inovasi, dan penuh eksklusivitas informasi, dipaksa harus berubah menjadi institusi yang mengimplementasikan kemajuan teknologi dan menjamin transparansi informasi sebagai upaya untuk menciptakan branding sebagai organisasi yang tidak alergi terhadap perubahan.
Branding dari institusi pemerintahan ini pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik dan memperbarui perspektif publik tentang organisasi pemerintahan itu sendiri
Penggunaan sosial media menjadi salah satu opsi yang diambil oleh pemerintah untuk bisa mengikuti perkembangan zaman yang ada.
Hampir seluruh instansi yang dimiliki oleh pemerintah, semuanya memiliki sosial medianya masing-masing. Kanal media sosial digunakan oleh lembaga pemerintah sebagai media untuk menyebarkan informasi, membentuk branding, dan untuk memperkuat kedekatan pemerintah dengan masyarakat.
Tetapi, permasalahan dalam interaksi daring lembaga pemerintah adalah kerap kali terjadinya misinformasi dan penyalahgunaan media lembaga dikarenakan ketidakpahaman humas lembaga tersebut terhadap etika komunikasi lembaga pemerintah.
Salah satu penyelewengan yang sering kita jumpai dalam penggunan akun sosial media milik instansi pemerintahan adalah publikasi konten yang tidak memiliki keterkaitan dengan kegiatan instansi pemerintah yang bersangkutan.
Salah satunya adalah penggunaan akun sosial media milik instansi pemerintah untuk keperluan kampanye. Perlu diingat kembali bahwa penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi termasuk kepentingan kampanye merupakan salah satu perilaku yang menyalahi etika pejabat publik dan etika penggunaan fasilitas negara.
Pelarangan penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di mana pada pasal 304 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan kampanye, presiden serta wakilnya, pejabat negara atau publik, dan pejabat yang berkuasa di daerah dilarang menggunakan fasilitas negara. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa fasilitas milik negara yang dimaksudkan pada ayat (1) salah satunya adalah fasilitas milik negara yang dibangun dan dibiayai menggunakan APBN atau APBD.
Padahal, Instansi publik memiliki pertanggungjawabannya sendiri kepada masyarakat untuk menyampaikan informasi perihal kinerja yang sudah dan akan mereka lakukan. Komunikasi publik ini semakin menjadi hal penting setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dimana memunculkan perubahan pada humas pemerintah yang sebelumnya bersifat satu arah dari pemerintah saja, berubah menjadi dua arah dan memberikan pemenuhan kepada publik. Salah satu bentuk realisasi dari perubahan kebijakan tersebut adalah kemunculan akun sosial media resmi dari setiap instansi pemerintahan.
Humas pemerintah memiliki tugas diantaranya adalah mempelajari dan menganalisis apa keinginan publik, memberikan kepuasan masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan pemerintah, menyampaikan informasi mengenai kegiatan yang dijalankan oleh pemerintah, dan yang paling penting adalah menciptakan citra baik pemerintah di mata publik (Fahri dan Unde, 2018).
Lebih dalam lagi, pemerintah sebenarnya juga sudah mengatur mengenai kode etik yang wajib untuk dipatuhi oleh humas lembaga pemerintah saat menjalankan tugasnya. Hal tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi nomor 317 /KEP/M.KOMINFO/8/2007 tentang Kode Etik Humas Pemerintahan, yang menyatakan bahwa Etika merupakan value moral yang mengikat saat berkata, bersikap dan berperilaku untuk menyelenggarakan tugas, fungsi wewenang serta tanggung jawab yang melekat.
Media sosial merupakan fasilitas negara yang dibiayai melalui anggaran negara. Setidaknya pada medio 2014-2020, pemerintah menganggarkan Rp1,29 triliun untuk keperluan aktivitas digital mereka, termasuk salah satunya adalah pembuatan media sosial untuk lembaga negara.
Oleh sebab itu, penggunaan media sosial milik lembaga pemerintah untuk tujuan pribadi seperti branding individu atau kampanye politik merupakan tindakan yang menyalahi etika administratif pejabat publik.
Akun media sosial milik lembaga pemerintahan merupakan representasi perpanjangan tangan dari lembaga pemerintahan tersebut sehingga tanggung jawab dalam setiap unggahan yang ada pada akun media sosial merupakan milik lembaga yang mengelola akun tersebut.
Sehingga, para pejabat publik dituntut untuk lebih bijak dalam menggunakan akun media sosial milik lembaga negara agar penggunaan fasilitas tersebut dapat memenuhi fungsinya sebagai alat komunikasi pemerintah dengan masyarakat, bukan sebagai alat branding diri yang hanya digunakan menjelang kontestasi politik saja karena seperti yang sudah dijelaskan di awal artikel bahwa fasilitas negara berupa media sosial milik lembaga negara merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah sehingga apapun yang diunggah oleh media sosial milik lembaga negara sejatinya mencerminkan wujud asli dari lembaga negara tersebut.
Alasan yang paling mendasar adalah dalam hal jangkauan yang lebih efektif, dapat diakses oleh pengguna individu dan biaya yang jauh lebih murah daripada cara konvensional. Ini membuat iklan di media sosial terkadang lebih efektif daripada televisi.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh aktor politik untuk berkampanye karena munculnya media sosial dan internet menjadikan jarak antara konstituen dengan partai politik juga politisi semakin menyempit. Hal tersebut juga didukung dengan masih rendahnya pemahaman publik tentang sanksi akan diterapkan kepada siapa saja yang melanggar UU Pemilihan Umum, terutama dengan berkampanye menggunakan fasilitas negara, khususnya media sosial.
Meski ada individu yang memanfaatkan celah ini untuk terus gencar berkampanye, hal itu juga mencerminkan bahwa peran media sosial sangat penting karena mereka memiliki kemampuan untuk meningkatkan suara dan bahkan membentuk opini secara signifikan lalu media sosial juga berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kredibilitas suatu lembaga/institusi.
Untuk bisa mengantisipasi penyalahgunaan akun sosial media milik pemerintah tersebut, sebenarnya terdapat beberapa tindakan pencegahan yang dapat diberlakukan oleh pemerintah. Pemerintah dapat menjalin kolaborasi dengan penyedia layanan media sosial yang ada.
Sehingga, langkah awal yang dilakukan jika diketahui terdapat pelanggaran penggunaan sosial media milik pemerintah, adalah dengan cara memblokir konten serta menonaktifkan sementara akun yang berkampanye tersebut. Yang didasarkan pada laporan dari pengguna akun lainnya atau bahkan media massa yang mengeluarkan berita/informasi tersebut.
Kemudian, pemerintah juga perlu memberikan pemahaman kembali mengenai fungsi dan tugasnya sebagai pengelola resmi akun sosial media milik instansi pemerintah. Mereka juga perlu melakukan moderasi dan penyaringan terhadap konten apa saja yang dapat dipublikasikan di sosial media milik instansi pemerintah.
Berbagai pelatihan dapat dijadikan sebagai sebuah opsi tambahan untuk bisa meningkatkan kualitas dan kapasitas dari pengelola media sosial instansi pemerintah (bagian humas). Seperti dengan cara pelatihan penggunaan teknologi yang ada, manajerial konten publikasi, dan strategi bagaimana menanggapi netizen yang ada di sosial media.
Pengawasan yang ketat dan pemberian sanksi tegas yang diberlakukan juga dapat menjadi sebuah langkah pencegahan yang baik untuk bisa mengantisipasi serta meminimalisir penyalahgunaan akun media sosial milik instansi pemerintah.
Terakhir, diperlukan juga partisipasi dari masyarakat untuk mengawasi atau menjadi social control terhadap media sosial milik instansi. Dengan demikian, ini menjadi andil kita bersama baik dari sisi pemerintah ataupun masyarakat untuk bisa menciptakan sebuah iklim komunikasi publik yang sesuai dengan etika komunikasi serta administrasi yang ada.***