Pangkalpinang, Swakarya.Com. IMPROVE Indonesia menyelenggarakan Seminar Online dengan tema: “Bincang Politik Akhir Pandemi, Menuju Era New Normal”, Selasa (02/06/2020) kemarin.
Kegiatan ini diawali dengan pengantar diskusi oleh Novendra Hidayat selaku Founder IMPROVE Indonesia, Dosen Ilmu Politik FISIP UBB yang saat ini sedang menempuh studi doktoral Program Pasca Sarjana FISIP Universitas Padjadjaran.
Pada sambutannya, Novendra Hidayat menyampaikan bahwa, keberadaan IMPROVE Indonesia bertujuan untuk mendorong dan mengoptimalisasi pembangunan politik, hukum dan demokrasi yang sehat dan beradab.
“IMPROVE Indonesia digagas oleh para intelektual muda progresif lintas profesi dan organisasi dari berbagai penjuru nusantara. Langkah awal, kita mulai episentrumnya dari Negeri Serumpun Sebalai, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan ini menggunakan aplikasi zoom meeting, dimana narasumber dan peserta kegiatan berada tak harus di tempat yang sama namun tetap dalam satu frekuensi kegiatan.
Ke depan kita berharap tradisi ilmiah (seminar dan diskusi) semacam ini diharapkan dapat berkelanjutan dan episentrumnya tumbuh di seluruh Indonesia dengan topik dan narasumber yang berbeda sesuai dengan isu yang relevan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” jelas Novendra.
Kegiatan ini dimoderatori oleh Aldy Kurniawan (Ketua PCIMM Bangka) dan Muhamad Rizki Hambali (Aktivis Himapol FISIP UBB).
Dalam paparannya, Ranto selaku Kepala Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung mengatakan, kebijakan untuk tetap melaksanakan Pilkada di masa pandemi covid-19 terkesan dipaksakan.
“Apabila pilkada tetap digelar disinyalir hanya akan menguntungkan partai-partai besar seperti PDIP, Golkar dan beberapa partai besar lainnya di sejumlah wilayah di Indonesia,” ujarnya.
Ranto juga menyoroti potensi kerawanan penyalahgunaaan kekuasaan terhadap bantuan sosial yang diklaim oleh segelintir elit untuk kepentingan politiknya.
Di sisi lain, Moh. Rafli Abbas, Project Manager Institute ASEAN Studies UKI Jakarta sebagai narasumber kedua mengatakan, bahwa tanpa disadari dengan berakhirnya masa pandemi menuju era new normal sebenarnya terjadi perubahan struktur sosial ekonomi secara radikal dan global dari masyarakat tradisional menuju masyarakat informasi, yang mana ditandai dengan terbentuknya pola komunikasi berbagai jaringan digital, komunikasi internet dan dunia virtual di sejumlah lapisan masyarakat.
“Selain itu juga terjadi perubahan pada struktur birokrasi yang memperlihatkan adanya perubahan yang signifikan sehingga orang menjadi fleksibel dan tiada lagi batasan ruang dan waktu. Orang bisa membuat pekerjaan untuk dirinya sendiri (self programmer) tanpa struktur hierarki birokrasi yang kaku. Dibutuhkan respon kepemimpinan yang inovatif sebagai aktor kunci dalam mengakhiri pandemi covid-19 menuju new normal,” ujar Rafli.
Pemateri lainnya, Agung Nugraha, Wakil Sekretaris Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Babel menuturkan, bahwa solidaritas adalah modal penting untuk menyukseskan kebijakan new normal agar mampu menghidupkan kembali mata rantai kehidupan masyarakat secara normal dengan memperhatikan protokol kesehatan.
“Oleh sebab itu, integritas kepemimpinan sangat dibutuhkan agar kebijakan new normal dapat menghidupkan kembali roda sosial ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Karno selaku salah satu pegiat UMKM di Bangka Belitung, menyoroti bahwa persoalan yang dihadapi UMKM hari ini kian pelik, masyarakat kehilangan daya beli, harga kebutuhan pokok meningkat. “Semua elemen harus bekerjasama untuk mendongkrak kembali keberdayaan ekonomi pasca covid-19 menuju era new normal,” tuturnya.
Narasumber lainnya, Rendy Hamzah sebagai Akademisi Ilmu Politik FISIP UBB mengatakan, “perlu adanya sinergitas semua lini, pemerintah dalam hal ini perlu mengaktivasi sistem dan desain kebijakan yang serius dan teliti terhadap pertimbangan-pertimbangan akademik,
serta antara elemen warga dan pengelola negara harus terbangun ‘trust’ sehingga bisa saling berkolaborasi untuk menghadirkan keadaan ekologi sosial politik dan lingkungan yang jauh lebih aman, sehat dan demokratis. “Perlu konsolidasi ilmuwan, agamawan dan negarawan dalam menuju tatanan baru solusi menuju (new normal),” ujarnya.
Terakhir, Muhammad Anshori, pendiri Ponpes Darur Rahmah Lubuk, Bangka Tengah yang juga merupakan Komisioner FKPT Babel menyoroti pentingnya kearifan lokal dan pelibatan masyarakat adat dalam hal penanggulangan pandemi covid-19 menuju new normal.
Lebih lanjut ia menyampaikan, gaya kepemimpinan elit berkorelasi pada respon masyarakat. “Dalam konteks penanganan Covid-19, komunikasi yang dibangun oleh elit saat ini menciptakan 4 pola dalam masyarakat yaitu:
1. Masyarakat tahu dan patuh kepada pemerintah. Ini barangkali yang dilakukan oleh state aparatus, profesional, dan orang yang relatif berpenghasilan tinggi;
2. Masyarakat tidak tahu dengan wabah Covid-19 namun patuh terhadap anjuran pemerintah. Barangkali masyarakat yang open minded namun percaya kepada anjuran pemerintah;
3. Masyarakat yang mengetahui wabah Covid-19 namun tidak patuh terhadap anjuran pemerintah. Ini barangkali lebih tepat disebut sebagai pembangkangan sipil, dan
4. Masyarakat yang tidak tahu dengan wabah dan juga tidak patuh terhadap anjuran pemerintah.
Ini barangkali masyarakat yang terpencil yang relatif jauh dari sentuhan dunia komunikasi dan informasi. “Keempat pola konfigurasi masyarakat ini perlu dipetakan secara serius oleh pemerintah dan kemudian dicarikan kebijakan,” ujarnya.
Yang menarik adalah klasifikasi yang ke 3. Dalam konteks ini pembangkangan warga tidak terjadi begitu saja namun ada musabab yang menyertainya. Dalam hal ini misalnya perubahan kebijakan pemerintah yang relatif cepat dan tarik ulur sehingga membingungkan masyarakat,
apalagi ada kebijakan yang kontraproduktif disaat ada kebijakan PSBB namun pada saat yang sama ada pergerakan aktivitas perekonomian yang longgar misal hadirnya tenaga kerja asing, pelonggaran transportasi publik dan seterusnya. Akhirnya mereka bersikap negatif atau masa bodoh dan berperilaku terserah negara,” paparnya.
IMPROVE Indonesia merekomendasikan beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menghadapi new normal, yaitu:
1. Penting untuk menjaga konsistensi kebijakan dan pola komunikasi elite yang sebangun dengan pilihan kebijakan yang diambil;
2. New normal bukan saja soal menggunakan hand sanitizer, masker, physical distancing, penyediaan fasilitas kesehatan namun harus menyentuh pada persoalan yang paling mendasar yaitu sejauhmana kebijakan adaptif dengan ekosistem lingkungan yang ada;
3. Filosofis pembangunan harus bergeser dari antroposentris yang meletakkan manusia diatas segala-galanya menuju filosofis pembangunan yang bersahabat dengan keberlanjutan ekosistem dan alam, ekosentris. (Red/Rls)