Penulis: Adhy Yos Perdana (Ketum HmI Babel Raya)
Swakarya.Com. Beberapa hari yang lalu pemerinta provinsi Bangka Belitung Melalui dinas pendidikan dan kebudayaan membenarkan sebanyak 451 siswa/siswi SMA yang putus sekolah melalui keterangan rilisnya.
Sangat disayangkan mengingat Siswa/i SMA yang putus sekolah secara dominan dikarenakan pernikahan mendadak (pernikahan dini) dan hamil diluar nikah.
Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya, baik faktor internal siswa/i seperti pemahaman mengenai pergaulan bebas yang masih relatif minim, hingga faktor eksternal seperti lingkungan pergaulan, atau kurangnya pengayaan ataupun sosialisasi dari manajemen pergaulan tingkat remaja yang masih minim dilakukan baik oleh pemerintah, pihak sekolah, ataupun masyarakat lainya.
Hal ini mencoreng wajah pendidikan di Bangka Belitung dimana pendidikan yang seharusnya sebagai identitas dalam membangun peradaban dalam memperjuangkan moralitas justru berbalik bak menjadi komoditas hanya fokus pada program mengajar dan target yang hanya sifatnya formalitas bukan mendidik dengan mengedepankan intelektual dan moralitas.
Jika ditelisik mengenai tenaga pengajar yang berfokus pada pendampingan ataupun konseling siswa maka kita akan teramat miris melihatnya dikarenakan ranah dan wilayah konseling masih keterbatasan dalam sumberdaya manusianya dan juga fasilitas yang dibutuhkan.
Sehingga yang ada hanya berkutat pada ranah formalitas belaka bukan loyalitas dan kesungguhan dalam membangun generasi muda yang memiliki pengilhaman akan peradaban yang kontemporer.
Peranan BKKBN yang seyogyanya diharapkan mampu mengendalikan jumlah pertumbuhan penduduk melalui regulasi yang di usulkan sesuai dengan peranan BKKBN yaitu melalui pembinaa, pembimbingan, dan fasilitasi di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana.
BKKBN atau melalui binaanya yaitu Duta Genre yang terus bergulir tiap tahun dipilih tampaknya masih kurang berperan maksimal ataubakan masih minim berperan.
Duta Genre dalam kasus ini memiliki peranan penting mengingat memegang peran penting untuk menyosialisasikan bahwa keluarga adalah segala-galanya. Keberadaan duta Genre sekaligus menekan maraknya permasalahan remaja, dan yang yang paling menonjol adalah permasalahan seputar seksualitas.
Karena dari itu perlu disoroti dan dipertanyakan mulai di adakanya program mengenai Duta Genre nampaknya belum menunjukan perubahan yang segnifikan atau perubahan yang dapat terasa. Alih-alih mampu mensosialisasikan kehidupan seputar remaja yang ide malah justru yang kita lihat melalui data di berbagai literatur semakin meningkat kondisi perceraian dan kondisi terpuruk dalam dunia remaja yang ada di Bangka Belitung.
Hal ini terbukti dengan posisi Bangka Belitung menempati nomor urut ke 5 perceraian nasional. Celakanya saat ini kembali dipertajam dengan kondisi siswa/i yang putus sekolah dan hal tersebut didominasi oleh pergaulan bebas yang merujuk pada pernikahan diluar rencana(pernikahan dini) dan hamil diluar nikah.
Peranan Dinas Pendidikan yang dirasa masih kurang maksimal dalam memberikan menstimulus akan keberlangsungan pendidikan dengan menerapkan formulasi dan gagasan-gagasan baru guna mengatasi berbagai masalah berkaitan dengan dunia pendidikan di Bangka Belitung.
Peranan Dinas Pendidikan yang diharapkan memberikan terobosan gemilang yang dapat mencetuskan formulasi guna menciptakan rekayasa pendidikan yang berkemajuan dan berkepribadian unggul. Bukan hanya sekedar menjalankan kewajiban mengajar akan tetapi lebih pada peranan mendidik anak.
Harapanya dengan kondisi yang semakin menurun pada dunia pendidikan di Bangka Belitung ini dapat membuka mata dari berbagai lapisan unsur masyarakat dan Stakeholder agar saling berdayun untuk bahu membahu memperkuat dan memperbaiki pendidikan yang ada di Bangka Belitung.
Pemerintah tidak hanya menyelenggarakan program yang sifatnya seremonial mengenai pendidikan yang kian terpuruk ini. Akan tetapi lebih kepada program pembinaan dan pengayaan yang serius, fasilitas dan sumberdaya manusia di diharapkan secara komperhensif guna perbaikan masa depan pendidikan di Bangka Belitung.
Permasalahan selanjutnya mengenai pendidikan di masa covid 19 tentu model pendidikan dituntut sedikit berbeda dikarenakan kondisi pandemi covid 19 yang memaksa proses belajar mengajar dilakukan secara daring bukan pada pertemuan di kelas dengan tatap muka.
Sehingga para praktisi pendidikan diharapkan dapat memberikan formulasi baru agar pendidikan tidak mengalamai kelesuan di tengah pandemi covid 19. Belum sampai pada penerapan formulasi mengenai hal tersebut justru pendidikan di babel sudah diterpa dan diperparah dengan kasus yang dipaparkan diatas.
Masalah selanjutnya adalah meningkatnya harga timah yang berpotensi menciptakan gelombang ancaman anak putus sekolah bukanlah hal yang sepele.
Hal ini di akibatkan mayoritas masyarakat memanfaatkan momentum harga timah yang sedang naik guna mendulang ekonomi mereka, akibatnya banyak anak yang putus sekolah dikarenakan ikut bekerja mencari timah, bahkan tak sedikit di beberapa kasus yang ada di Bangka Belitung yaitu orang tuanya yang meminta izin ke sekolah agar anaknya izin tidak masuk sekolah, cuti atau bahkan berhenti sekolah dikarenakan hendak mencari timah.
Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Provinsi Bangka Belitung agar pendidikan sebagai identitas tak kemudian berubah menjadi komoditas.***