Pada hakikatnya pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta membangun peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang bermartabat bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dan yang tidak kalah penting adalah agar mempunyai adab.
Secara umum pelaksanaan pendidikan formal di sekolah belum berhasil mengemban tugas dalam membangun insan yang berbudi luhur sebagaimana diamanatkan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Faktor yang membuat gagalnya membangun insan berbudi luhur dan berakhlak mulia tersebut dapat dilihat pada maraknya fenomena tawuran pelajar, pelajar yang suka mencontek ketika ujian, bullying verbal/fisik oleh teman sebaya, peserta didik yang sering membolos, terdapat budaya copy-paste tugas.
Sekolah terlalu terpesona dan memperioritaskan dengan target-target akademis dan melupakan urgensi pembinaan karakter peserta didik. Hal tersebut membuat peserta didik mejadi lemah dalam segi krativitas, keberanian diri menghadapi resiko, mandiri, serta ketahanan diri dalam menghadapi ujian hidup yang meyebabkan anak menjadi pribadi yang rapuh, mudah menyerah, mempunyai semangat kompetisi yang rendah, putus asa, dan akhirnya akan menjadi frustasi. Sistem pendidikan yang lebih mementingkan aspek pengetahuan, berdampak pada kualitas perkembangan emosional dan etika pergaulan sesama warga sekolah.
Pondasi pendekatan pedagogis yang tidak kokoh dalam pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik akan membuat perilaku peserta didik menjadi kurang bermoral. Hal tersebut berdampak pada banyaknya anak yang pintar namun kurang mempunyai etika pergaulan yang baik terhadap lingkungan sekitarnya. Pendidikan karakter merupakan penanaman nilai-nilai pada anak melalui komponen, pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan tindakan implementasinya dengan melaksanakan nilai-nilai psoitif yang ditujukan pada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan sekitar, serta ke ranah kebangsaan, sehingga bisa menjadikan manusia paripurna.
Pendekatan pembelajaran yang terlalu berorientasi pada pencapaian kognitif ini telah mengubah orientasi belajar para peserta didik menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi, naik kelas, ujian nasional, dan lulus untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini dapat mendorong para peserta didik untuk mengejar nilai baik dengan cara yang tidak jujur seperti menyontek. Selain itu para peserta didik kurang memahami manfaat dari materi yang dipelajarinya di dalam kelas untuk digunakan di dalam kehidupan nyata. Para peserta didik hanya berpusat pada aspek kognitif dengan mengesampingkan kejujuran. Apabila hal tersebut tidak ada pengendalian akan berlanjut ketika mereka dewasa dalam hal untuk mendapatkan materi finansial dan sebagainnya.
Idealnya sekolah bukan hanya sekedar memberikan pendidikan berbagai macam pengetahuan, tetapi juga harus memberikan pendidikan karakter pada peserta didik. Hal inilah yang seharusnya dilakukan oleh pendidik di Indonesia. Para pendidik lebih mengedepankan pencapaian prestasi akademis, sehingga kurang memperhatikan hal lain seperti pembentukan karakter peserta didik. Proses pendidikan yang hanya bertumpu pada proses dan pencapaian kognitif pada akhirnya akan menyebabkan sebuah perilaku anarkhisme dan ketidakjujuran marak di kalangan peserta didik, seperti tawuran, mencontek, dan kenakalan remaja lainnya. Hal tersebut merujuk pada rendahnya moral, akhlak atau karakter bangsa ini. Degradasi karakter karena adanya contoh kurang baik dari orang yang lebih dewasa seperti guru, orang tua dan lainnya. Misalnya budaya buang sampah sembarangan, budaya terlambat, budaya tidak sabar, mudah menyerah, dan merokok di sekolah.
Generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral dihasilkan oleh guru, sehingga guru mempunyai tanggung jawab yang besar untuk hal tersebut. Pembinaan karakter dapat dilaksanakan melalui beberapa program. Contoh program pembinaan karakter adalah melalui pembinaan sikap beragama/ religius, pembinaan sikap tanggung jawab sosial, program kecakapan hidup, dan pengamalan hidup. Salah satu kunci keberhasilan program pembinaan karakter pada satuan pendidikan adalah keteladanan dari para pendidik dan tenaga kependidikan.
Keteladanan bukan sekadar sebagai contoh bagi peserta didik, melainkan juga sebagai penguat moral bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, penerapan keteladanan di lingkungan satuan pendidikan menjadi prasyarat dalam pembinaan karakter peserta didik. Pembangunan karakter dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan, pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh elemen.
Pembinaan karakter tersebut membutuhkan sosok guru yang baik, karena guru menjadi sosok yang selalu berinteraksi dengan peserta didik di sekolah. Peran guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator/teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter pada peserta didik melalui keteladanan seorang guru yang mempunyai peranan katalisator akan lebih efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang digugu lan ditiru oleh peserta didik.
Keteladanan guru secara langsung mempengaruhi perkembangan karakter peserta didik dan juga memiliki hubungan timbal balik. Apabila guru menjadi teladan yang baik bagi peserta didik, maka akan membentuk kepribadian yang baik pula pada peserta didik. Begitu juga sebaliknya apabila guru melakukan hal-hal yang tercela, maka peserta didik akan lebih mudah meniru hal tersebut. Pentingnya keteladanan guru tersebut sebagimana peribahasa “satu teladan lebih baik dari seribu nasehat”.
Keteladanan guru memiliki peranan yang sangat penting dalam pembinaan akhlak, terutama sifat kemandirian, dan disiplin pada anak-anak. Sebab anak-anak suka/mudah meniru orang yang dilihat baik perkataan, tindakan, maupun budi pekertinya. Oleh karena itu, pembinaan akhlak, kemandirian, dan disiplin melalui keteladanan dapat menjadi sebuah metode yang efektif dan jitu.
Keteladanan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik dan membina karakter. Keteladanan lebih mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata daripada sekedar berbicara menyampaikan materi pelajaran tanpa aksi. Faktor penting dalam mendidik terletak pada keteladanan, tentunya keteladanan yang bersifat multidimensi, yaitu keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan. Keteladanan bukan hanya sekedar memberikan contoh dalam melakukan sesuatu, tetapi juga menyangkut berbagai hal yang dapat diteladani. Keteladanan tersebut termasuk kebiasaan-kebiasaan baik. Terdapat tiga unsur supaya seseorang dapat diteladani atau menjadi teladan, yaitu kesiapan untuk dinilai, memiliki kompetensi, dan memiliki integritas moral yang baik.
Keteladanan guru dapat dilakukan oleh semua guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah, karena apa yang dilakukan merupakan cikal bakal guru yang dapat digugu lan ditiru. Keteladanan tersebut hanya berupa tutur kata, sikap, sifat, dan penampilan untuk diterapkan yang memiliki dampak positif yang sangat besar bagi perkembangan karakter peserta didik. Guru menajdi contoh nyata bagi peserta didik di dalam memberikan pendidikan karakter.