Penulis: Surya Irawan, SH
Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang
Swakarya.Com. Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH) telah di atur dalam instrumen internasional, salah satunya adalah Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak) dimana pada tahun 1989 rancangan Konvensi Hak Anak (KHA) selesai dirumuskan dan naskah akhir tersebut diadopsi dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
Rancangan inilah yang kita kenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA) dan pada tanggal 2 September 1990, KHA diberlakukan sebagai hukum internasional. kemudian KHA diratifikasi oleh indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 tahun 1990.
Saat ini, Indonesia memiliki peraturan yang mengatur khusus perlindungan Anak yang berhadapan dengan hukum yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang telah dua kali mengalami perubahan melalui UU No.35 Tahun 2014 dan UU No.17 Tahun 2016, Undang-undang ini berupaya mengatur tata cara pemenuhan hak anak.
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat kekerasan dan diskriminasi.
Sehingga dapat dimaknai bahwa seorang anak wajib dilindungi agar dapat tumbuh dan kembang sebagai generasi penerus bangsa atau juga bertujuan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Begitu pula dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjelaskan bahwa anak memiliki peran yang strategis dimana secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Perlindungan anak di Indonesia berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Negara telah berkomitmen melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya anak, hal ini tertuang didalam Pembukaan UUD 1945, didalam kalimat “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu…” kemudian didalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan : setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Prinsip-prinsip dalam melakukan perlindungan Anak ini haruslah non diskriminasi, menghargai pendapat anak, hak hidup dan kelangsungan hidup serta perkembangan serta kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga bila negara saja telah berkomitmen melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya anak, maka sudah seharusnya Perlindungan terhadap anak haruslah dengan pendekatan berbasis sistem, untuk lebih khususnya lagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Penanganan perkara anak dengan pendekatan berbasis sistem atau system-building approach (SBA) merupakan suatu strategi perlindungan anak dengan membangun sistem perlindungan anak yang terintegrasi bertujuan mempromosikan suatu sistem perlindungan anak yang komprehensif, dimana dapat dijabarkan menjadi 5 elemen yaitu :
Sub. Sistem Hukum dan Kebijakan
Sebuah entitas yang terus berkembang yang mengembangkan dan menegakkan aturan-aturan dengan tujuan untuk mengatur perilaku juga tidak boleh dilihat secara sempit hanya sebagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan atau hal-hal yang tertulis tetapi harus mempertimbangkan sistem yang lebih luas, yaitu kaitannya dengan sistem-sistem pencegahan dan penanganan yang dilaksanakan melalui sistem peradilan, sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, dan sistem-sistem lainnya.
Sub Sistem Peradilan
Sub Sistem peradilan anak merupakan salah satu elemen dalam sistem perlindungan anak yang menetapkan kerangka hukum dan menegakkan hukum dalam masyarakat.
Sub Sistem Kesejahteraan Sosial bagi Anak dan Keluarga
Merupakan salah satu elemen dari sistem perlindungan anak yang secara khusus berperan dalam mencegah resiko dan merespon kekerasan, eksploitasi, perlakukan salah, dan penelantaran terhadap anak, termasuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran tersebut.
Sub Sistem Perubahan Perilaku Sosial
Merupakan salah satu elemen dalam sistem perlindungan anak yang mempengaruhi dan saling terkait dengan sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, dan sistem peradilan anak. Sistem Perubahan Perilaku Sosial mencakup pola pikir, sikap, kepercayaan, dan perilaku penyedia layanan, penegak hukum dan masyarakat terhadap perlindungan anak.
Sub Sistem Data dan Informasi Perlindungan Anak
Merupakan salah satu elemen dalam sistem perlindungan anak yang mengatur mekanisme pengumpulan data, analisa data, penyimpanan, dan pemanfaatan data dan informasi untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program perlindungan anak. Data dan informasi perlindungan anak seharusnya terdiri dari beberapa jenis yaitu: data populasi, data prevalensi faktor resiko, data prevalensi permasalahan, data kasus, data cakupan layanan, serta data monitoring dan evaluasi.
Penanganan perkara anak dengan pendekatan berbasis sistem dimulai dari menangani gejala dari masalah-masalah anak lalu menuju kepada upaya pencegahan dan penanganan permasalahan tersebut melalui sistem perlindungan anak yang komprehensif. Sangat berbeda bila penanganan anak dilakukan menggunakan pendekatan berbasis Isu, dimana banyak kelemahan bila menangani perkara anak menggunakan pendekatan berbasis Isu, yakni akan gagal melihat akar penyebab umum yang melibatkan anak dimana memerlukan penanganan bersama dan akan gagal membangun tautan antara penanganan isu / masalah dan kebijakan Nasional dimana program perlindungan anak sudah banyak dilakukan, namun masih berkutat pada kepentingan sektor/profesi/keahlian/ kementerian bukan fokus kepada anak namun akan condong kepada Ego Sektoral.
Penanganan perkara anak dengan pendekatan berbasis sistem sebagai strategi yang lebih komprehensif dan efektif untuk membangun atau menjalankan sistem perlindungan anak. Dimana sistem perlindungan anak secara optimal mencakup pencegahan dan respon terhadap isu-isu perlindungan anak melalui pelayanan :
PRIMER (Pelayanan penduduk secara umum)
Intervensi primer dengan target semua penduduk, anak dan orang dewasa (layanan pencegahan secara umum) berupa program pemenuhan hak dan program perlindungan.
SEKUNDER (Pelayanan anak dan keluarga rentan)
Intervensi sekunder dengan target kelompok berisiko (layanan pencegahan bagi anak dan keluarga yang rentan) berupa merespon isu kerentanan
TERSIER (Pelayanan Anak Berhadapan dengan Hukum : anak pelaku, anak korban dan anak saksi)
Intervensi Tersier dengan target individu (anak/keluarga) yang telah menjadi anak pelaku, anak korban dan anak saksi (layanan penanganan kasus) berupa pemberian layanan dan perlindungan proses peradilan, rehabilitasi atau ganti rugi atau kompensasi, reintegrasi sosial atau pemulihan pada keadaan semula.
Terkhusus dalam layanan tersier yang menekankan pada penanganan perkara ABH dengan pendekatan berbasis sistem dilaksanakan dengan saling berkoordinasi antar lintas sektor yakni pihak kepolisian, penuntut umum, hakim, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, advocat/ penasehat hukum, lembaga penyedia layanan (pemerintah daerah, pemerintah propinsi). Strategi yang dapat diterapkan guna keberhasilan Penanganan perkara ABH dengan pendekatan berbasis sistem kedepannya dapat ditempuh dengan 4 Strategi yakni :
Strategi Pencegahan
Strategi ini bertujuan mencegah atau setidaknya mengurangi stigmatisasi terhadap Anak serta mendorong Upaya dan kondisi pencegahan Juvenile Delinquency
Strategi Penegakan Hukum
Strategi ini bertujuan mendorong mayoritas perkara Anak melalui Diversi serta meningkatkan peran petugas non penegak hukum didalam perkara Anak.
Strategi Partisipasi Masyarakat
Strategi ini bertujuan membangun partisipasi publik (keluarga, lingkungan dan sekolah) dalam penanganan perkara Anak serta menguatkan kerjasama multi pihak untuk proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Strategi Mekanisme Pelaporan
Strategi ini bertujuan mengembangkan sitem database penanganan perkara Anak secara terpadu dan juga mengembangkan model pemantauan, evaluasi dan pelaporan terpadu tentang pelaksanaan UU SPPA.
Untuk mengimplementasi keempat strategi ini diperlukan langkah-langkah yakni perlu membangun lingkungan yang melindungi bagi ABH, Penyelesaian Perkara ABH dengan pendekatan Restoratif Justice (RJ), prosedur ramah anak dan peka gender dalam sistem peradilan formal, Diversi kepada mekanisme berbasis keluarga dan masyarakat, pencegahan dan rehabilitasi dan reintegrasi yang konstruktif, sistem peradilan yang ramah anak dan peka gender adalah titik awal untuk menuju pemerintahan bersih dan prosedur peradilan yang transparan.
Penanganan perkara ABH dengan pendekatan berbasis sistem harus bersifat lebih komprehensif dan berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penanganan haruslah Transparan, Jujur dan Adil serta saling berkoordinasi dengan pihak terkait barulah Penanganan perkara ABH dengan pendekatan berbasis sistem dapat berhasil dilakukan.***