Penanganan Covid-19, Utamakan Sinergi di Tengah Kekalutan

Penulis: Marlina Indah Palupi
(Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Stisipol Pahlawan 12 Sungailiat Bangka)

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 atau (Covid-19) yang semakin luas ke berbagai negara di dunia menimbulkan reaksi beragam di tengah masyarakat. Pada mulanya banyak yang menyangka bahwa virus ini tak ubahnya seperti virus-virus yang telah lebih dahulu mewabah. Sebut saja ebola, virus flu burung H5N1, SARS, ataupun MERS-Cov.

Namun berbeda halnya dengan wabah-wabah tersebut yang relatif tidak terlalu banyak memakan korban jiwa dan dalam skop yang masih bisa ditangani, virus corona yang kasus pertamanya ditemukan di Kota Wuhan, China ini memiliki kemampuan penyebaran yang sangat cepat dan jauh lebih luas.

Pada dasarnya perlu usaha preventif maupun mitigasi yang harus dilakukan secara jelas, dan terukur. Bukan hanya dalam aspek kesehatan, namun dalam hal komunikasi juga perlu ditangani dengan langkah-langkah tepat dan benar.

Hal ini mengingat bahwa musibah non-alam (wabah) ini cenderung lebih menakutkan dan menggelisahkan bagi masyarakat. Adanya video-video via pesan WhatsApp yang diterima oleh masyarakat di awal masa kemunculan virus corona menimbulkan kengerian tersendiri.

Berbagai informasi, berita maupun artikel-artikel yang berkembang sesudahnya, baik media cetak dan online semakin meresahkan masyarakat dan menimbulkan miskomunikasi.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan seharusnya lebih memainkan perannya dalam hal ini. Bukan saja dalam menyampaikan fakta maupun data yang benar dalam upaya untuk menenangkan masyarakat.

Jika kita telisik dari awal, pemerintah sedikit terlambat dalam mengatur strategi dalam menangani krisis ini. Pemerintah Indonesia tidak memberikan edukasi maupun advokasi yang tepat dan menyeluruh tentang apa dan bagaimana virus corona. Masyarakat dibiarkan menerima begitu saja informasi-informasi seputar virus corona dari berbagai media tanpa melakukan filter ataupun klarifikasi terlebih dahulu.

Selain itu pemerintah juga luput untuk memanfaatkan hubungan dengan media dalam hal memberikan rilis resmi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kurang melakukan pemantauan terhadap perkembangan sebaran virus serta tidak maksimal dalam bersinergi dengan menteri, kepala daerah, instansi maupun jajaran terkait dalam hal memberikan informasi yang benar bagi masyarakat dan dapat menjadi acuan yang komprehensif, serta membuat langkah-langkah konkret lainnya.

Pejabat berwenang lebih suka untuk mengeluarkan pernyataan atau komentar yang cenderung mengabaikan daripada memberikan pernyataan objektif dan tanpa tendensi. Sebut saja pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyebut Indonesia tidak akan terdampak virus corona ataupun pernyataan lainnya yang senada.

Padahal sejumlah negara lain meskipun belum terdampak atau kasus yang relatif kecil justru telah melakukan upaya serius yang bisa meminimalisir kasus ataupun dampak yang ditimbulkan.

Kita dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh negara Korea Selatan sebagai salah satu negara dengan jumlah kasus terinfeksi yang cukup tinggi, sejak pengumuman resmi pada 20 Januari silam kerap mengumumkan angka kesembuhan lebih sering dibandingkan angka kasus infeksi baru.

Kemudian pemerintah Korea Selatan juga memberikan informasi yang terbuka kepada publik. Contoh paling nyata adalah lokasi GPS dari seseorang terkonfirmasi Covid-19 bisa dilihat dari aplikasi sehingga warga lain yang belum tertular bisa menjauhi area tersebut.

Secara tidak langsung apa yang dilakukan oleh Korea Selatan dapat menggambarkan bahwa komunikasi maupun teknologi yang menyertainya dapat dijadikan sebagai sebuah cara dalam mengurangi keresahan maupun kepanikan masyarakat.

Sebaliknya kita justru melihat sejak pengumuman resmi dari Presiden Jokowi pada 2 Maret lalu, belum ada langkah terintegrasi secara menyeluruh dari atas ke bawah, ataupun dari pemerintah pusat kepada daerah.

Ini memperlihatkan bahwa pemerintah belum siap dalam menghadapi krisis, khususnya krisis dari luar. Hingga hari ini langkah konkret penanganan virus corona belum sampai ke daerah-daerah yang sejumlah warganya dicurigai terpapar Covid-19.

Contoh saja apa yang terjadi pada Pemerintah Sumatera Barat. Kasus meninggalnya salah seorang pasien di RSUP M. Djamil Padang pada beberapa waktu lalu menimbulkan simpang siur di tengah masyarakat.

Dikutip dari www.langgam.id Jumat (13/3/2020) Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi RSUP M. Djamil Padang, Gustavianof menyebutkan bahwa pasien berjenis kelamin perempuan tersebut dianggap sebagai pasien positif MERS-Cov berdasarkan gejala ataupun ciri yang dimiliki, maka dalam masa perawatan di ruang isolasi hingga perawatan jenazah dilakukan dengan standar prosedur penyakit tersebut.

Sementara itu dalam waktu yang sama, pihak Dinas Kesehatan Sumatera Barat melalui Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Liarni Jamil menyatakan bahwa pasien tersebut merupakan suspect Covid-19 bukan MERS-Cov. Dua pernyataan ini tentunya saling bertentangan.

Berbeda halnya dengan pernyataan kedua instansi, pemerintah Sumatera Barat sehari sesudahnya, berdasarkan apa yang disampaikan oleh Kepala Biro Humas, Jasman Rizal justru membantah kedua pernyataan tersebut.

Ia menyatakan bahwa pasien yang meninggal sepulang melaksanakan ibadah umrah itu belum dapat dipastikan sebagai orang yang terpapar MERS-Cov, atau Covid-19 dan perlu pembuktian medis terlebih dahulu.

Apa yang terjadi kepada tiga unsur pemerintah ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa dalam lingkup daerah saja belum terbentuk suatu alur komunikasi yang runtut dan jelas. Hal ini tentunya semakin melemahkan penanganan krisis yang terjadi. Seharusnya pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki struktur komunikasi yang jelas.

Dalam skop daerah khususnya, pihak pemerintah bisa menunjuk juru bicara resmi. Baik badan maupun perorangan. Sehingga dapat satu suara (tidak bertentangan), memberikan kejelasan dan keakuratan informasi kepada masyarakat.

Serta melakukan upaya-upaya yang memang sinkron dengan pernyataan yang dikeluarkan. Hal ini perlu menjadi bahan evaluasi tidak saja untuk penanganan virus corona yang dihadapi saat ini tetapi juga krisis-krisis lain yang menghadang nantinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait