Optimalisasi Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dalam Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Pada Anak

Penulis: Msy. Siti Hajir, S.Si., PK Ahli Pertama Bapas Kelas I Palembang

Pangkalpinang, Swakarya.Com. Indonesia sebagai negara hukum bertujuan untuk mewujudkan suatu negara yang bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD 45) disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Tentunya sudah sangat jelas bahwa landasan Indonesia sebagai negara hukum adalah Pancasila dan UUD 45.


Salah satu bentuk penyimpangan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah adanya pelanggaran yang berindikasi pada tindak pidana yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Pelanggaran yang dimaksud disebut dengan kejahatan. Isu mengenai kejahatan yang terjadi dimana-mana dan ini merupakan kewajiban Pemerintah sebagai pelindung masyarakat untuk mencegah terjadinya perluasan kejahatan yang melanggar norma-norma yang hidup dan berlaku di suatu negara. Karena hukum pada dasarnya bertujuan untuk merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang aman, nyaman, dan damai.

Hukum menentukan batasan-batasan individu dalam berperilaku, karena hak masing-masing orang dibatasi oleh hak orang lain.
Pada awalnya, konsep pemidanaan yang diimplementasikan di Indonesia menggunakan sistem pemenjaraan yang berasaskan penjeraan bagi pelaku tindak pidana. Dan seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan paradigma dalam konsep pemidaan dari sistem pemenjaraan yang berasaskan penjeraan menjadi sistem pemasyarakatan yang berasaskan pembinaan.

Negara hadir memberikan pembinaan kepada para pelaku kejahatan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) yang diamanatkan kepada Kementerian Hukum dan HAM sebagai wujud implementasi tugas pokoknya di bidang pemasyarakatan.

“UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa pemasyarakatan adalah upaya memberikan pembinaan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian dari proses tata peradilan pidana yang ada di Indonesia.”

Adapun sistem pemasyarakatan adalah sebuah sistem mengenai bagaimana pembinaan dijalankan oleh narapidana selaku WBP sesuai arahan dan batasan pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Balai Pemasyarakatan (Bapas).

Akan tetapi, tidak sepenuhnya sistem pemasyarakatan yang dijalankan mengalami keberhasilan secara merata kepada narapidana yang dibina selama bertahun-tahun. Masih banyak mantan narapidana yang melakukan pengulangan tindak pidana atau dikenal denga istilah residivis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada akhir 2021, jumlah kasus mantan narapidana mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya mendekati 30 ribu dari jumlah total narapidana sebanyak 272.212 orang.

Angka ini menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan oleh Lapas dan pembimbingan khusus oleh Bapas belum dapat dikatakan sukses karena secara statistik lebih dari 10% dari jumlah total narapidana merupakan residivis. Meskipun demikinan, tidak dapat dikatakan bahwa ini sepenuhnya merupakan kegagalan dalam sistem pembinaan di Lapas dan Bapas.

Faktor lain yang menjadi sorotan adalah lingkungan masyarakat yang kurang ramah dan bersahabat terhadap status mantan narapidana dengan stigma buruk yang disandangnya sebagai mantan penjahat. Terlebih jika mantan narapidana tersebut merupakan anak di bawah umur. Tekanan dari anak-anak seumurnya sangatlah besar. Psikologis anak mantan narapidana menjadi terganggu dengan merasa malu pernah menjadi bagian dari penjara.

Oleh karena itu, Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dalam mencegah pengulangan tindak pidana, khususnya pada anak perlu dioptimalkan lagi.
Setiap pembimbingan yang dilakukan oleh PK harus selalu bertujuan untuk mengarahkan pola pikir dan memperbaiki perilaku Klien Anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Tugas PK khususnya program pembimbingan yang diberikan akan menghasilkan fungsi pencegahan anak melakukan pengulangan tindak pidana (residivis). Oleh karena itu jika ada seorang Anak yang melakukan tindak pidana sebisa mungkin tidak diproses hukum formal, namun menggunakan alternatif lain yaitu dengan cara diversi.

Diversi secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 7 yaitu sebagai penyelesaian sengketa terhadap anak yang diselesaikan di luar peradilan pidana. Mediasi yang dilakukan dalam diversi dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan melalui pendekatan Keadilan Restoratif.

Dalam “Pasal 42 ayat (1) UU Pemasyarakatan dijelaskan bahwa Klien Anak yang menjalani program bimbingan oleh Bapas meliputi:
Terpidana bersyarat;
Narapidana, anak pidana, dan anak negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;

Anak negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
Anak negara yang berdasarkan keputusan Menteri atau Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatqan yang ditunjuk, bimbingannya diserahan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan

Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.”

Beberapa permasalahan yang ditemukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan pada Bapas Kelas I Palembang terkait dengan rekomendasi Litmas Pidana Penjara untuk menempatkan narapidana anak untuk dilakukan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (selanjutnya disingkat LPKA) di antaranya:
Dalam kasus Anak yang melakukan tindak pidana seperti pembunuhan demi keamanan diri Anak tersebut Pembimbing Kemasyarakatan merekomendasikan untuk dibina di LPKA;

Tidak sanggupnya lagi orang tua Anak untuk mendidik, membina, dan memberikan perhatian terhadap Anak, sehingga Anak dibina di LPKA;
Anak yang putus sekolah dapat kembali bersekolah di LPKA, karena di LPKA memiliki kerja sama dengan Sekolah Filial sehingga hak Anak untuk mendapatkan pendidikan masih terpenuhi;

Anak jalanan yang tidak ada orang tua / wali sehingga Anak tersebut direkomendasikan untuk dibina di LPKA;

Anak sudah berulang kembali melakukan tindak pidana sehingga harus dibina di LPKA;
Anak yang melakukan tindak pidana yang mana ancaman hukuman penjaranya 7 tahun atau lebih.

Dengan demikian bukan tanpa alasan Hakim dipersidangan memutuskan perkara pidana dengan putusan pidana penjara di LPKA, dikarenakan tidak ada pilihan lain selain melakukan upaya terakhir tersebut. Namun demikian, penempatan narapidana anak di LPKA tidak sepenuhnya buruk dikarenakan Sistem Pembinaan yang diberikan sudah cukup baik dibandingkan dengan Sistem Pemenjaraan sebelumnya yang merupakan upaya pembalasan dan tidak menciptakan efek jera bagi Anak.

Di dalam LPKA juga Anak mendapatkan program pembinaan.
Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa fungsi Bapas dalam membimbing Klien Pemasyarakatan, khususnya anak melalui Peran Pembimbing Pemasyarakatan harus juga diiringi dengan peran orang tua dalam membantu pembimbingan pada anaknya melalui mekanisme penetapan penjamin klien pada saat implementasi program reintegrasi sosial.

Bahkan sejak awal penanganan proses hukum pada anak, orangtua harus berperan aktif dalam pendampingan sejak awal. Dengan begitu, anak tidak merasa lagi sebagai penjahat yang tidak bisa diperbaiki moralnya, melainkan sebagai harapan generasi bangsa melalui pembinaan khusus oleh negara.

Sehingga harapan penurunan atau bahkan penghilangan tingkat residivis pada anak dapat direalisasikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *