Mekanisme Penanganan Anak Pelaku Pidana di Bawah 12 Tahun


Penulis: Msy. Siti Hajir, S.Si/ PK Ahli Pertama BAPAS Kelas I Palembang

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Adapun ketentuan mengenai anak tidak dijelaskan secara rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait batasannya. KUHP hanya menyebutkan dalam Pasal 45 dan 72 ayat (1), bahwa batas usia belum dewasa adalah belum berumur 16 (enam belas) tahun.

Anak merupakan generasi masa depan bangsa. Anak memiliki potensi untuk berperan secara aktif memelihara kehidupan bangsa dan negara yang telah diletakkan oleh para orang tua sebelum mereka. Maka dari itu, kelak anak memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Jika salah mendidik anak, maka sejatinya orang tua telah salah membangun pondasi masa depan bangsa Indonesia.

Dalam perkembangannya menuju fase remaja, anak-anak seringkali terpengaruh dengan lingkungan sekitar. Lingkungan yang baik akan membawa anak pada hal-hal yang positif, begitupun sebaliknya lingkungan yang buruk akan berdampak pada karakter dan kepribadian anak yang negatif.

Rasa keingintahuan terhadap sesuatu yang baru, akan menuntun anak mencoba untuk melakukan sesuatu yang mungkin menurutnya bukan sesuat yang buruk. Banyak fenomena-fenomena penyimpangan atau pelanggaran hukum yang sering kali dilakukan oleh komunitas mereka, seperti penyalahgunaan narkoba, miras, judi, perkelahian, pencurian, dan lain sebagainya.

Terutama penyalahgunaan narkoba, suatu penyelewengan yang paling banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak remaja. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah pengguna narkoba di tahun 2021 mencapai 3,36 juta jiwa, dimana 57% diantaranya adalah anak-anak remaja.

Menurut catatan KPAI, 17,8% dari total penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) diisi oleh anak-anak remaja yang terjerat tindak pidana penyalahgunaan narkoba.

Menurut hasil survey, 65% dari anak-anak remaja pemakai narkoba mengatakan bahwa mereka mendapatkan barang haram tersebut dari lingkungan sekitar rumah. Sehingga dapat digarisbawahi bahwa peran orang tua dan keluarga sangat penting dalam melindungi anak-anak dari penyalahgunaan narkoba.
Pada dasarnya, anak memiliki hak yang tidak dapat disamakan dengan haknya orang dewasa ketika berada dalam proses penegakkan hukum.

Kondisi fisik dan mental menjadi satu alasan mengapa anak perlu mendapatkan prioritas dalam perlindungan dan perlakuan khusus. Sistem pemidanaan anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Alasan yang mendasari ditetapkannya UU SPPA ini adalah untuk menghindari anak dari proses peradilan yang telah menjadi stigma buruk di masyarakat sehingga diperlukan suatu cara berbeda dalam proses penyelesaian perkara pidananya.

Dalam Pasal 2 UU SPPA dijelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas perlndungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.

Dalam Pasal 5 UU SPPA kembali dijelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan dilakukan upaya Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Adapun turunan UU SPPA terkait Upaya Diversi pada Pelaku Anak adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun.

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU SPPA, terdapat ketentuan bahwa jika anak pelaku tindak pidana yang belum berumur 12 tahun, maka Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional dapat memilih keputusan untuk menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali atau mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Kesejahteraan Sosial Penyelenggara (LPKS) di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. UU SPPA mengandung mandat bahwa proses peradilan umum yang panjang dan lama harus dihindari dalam mekanisme penanganan anak pelaku pidana anak di bawah umur 12 tahun.

Penentuan maksimal umur 12 tahun bagi anak yang mendapatkan upaya Diversi didasarkan juga pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2020 yang dalam pertimbangan hakim disebutkan bahwa perlu penetapan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak perlindungan serta hak untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini diupayakan karena dasar pertimbangan aspek sosiologis, psikologis, dan pedagogis.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika anak yang belum berumur 12 tahun melakukan tindak pidana maka dipandang belum dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut.

Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat BAPAS melalui peran Pembimbing Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat PK, berperan penting dalam proses pendampingan anak dalam sidang pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PK melakukan pendekatan kualitatif guna mencermati perilaku, tindakan, lingkungan sosial serta aspek lainnya yang terkait dengan pelaksanaan peran PK pada tahap sidang pengadilan. Tetapi, eksistensi PK belum dikenal dengan baik di mata masyarakat.

Mekanisme penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 UU SPPA disebutkan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:
diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; dipisahkan dari orang dewasa;
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; melakukan kegiatan rekreasional; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; tidak dipublikasikan identitasnya; memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi;
memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; memperoleh pendidikan; memperoleh pelayananan kesehatan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa semua rangkaian proses peradilan yang dilakukan pada tindak pidana anak akan berbeda dengan proses peradilan orang dewasa. Bahkan pada setiap penanganan proses hukumnya, mereka berhak didampingi oleh orangtua atau wali selain kuasa hukumnya.

Pihak lain yang terlibat dan ikut berperan dalam proses ini adalah Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, Hakim, dan Pekerja Sosial Profesional.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *