Penulis: Alexander Oktovianus Tampubolon, Mahasiswa Ilmu Politik UBB
Swakarya.Com. Diawal tahun 2020, sebuah wabah penyakit mematikan bernama Coronavirus Disease (Covid-19) melanda hampir seluruh negara di dunia. Wabah ini ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.
Penetapan status pandemi ini atas dasar penyebaran wabah yang begitu cepat dan luas hingga ke wilayah yang jauh dari pusat wabah.
Kasus pertama diketahui dialami seorang warga Wuhan, China.
Proses penularan dari virus ini tergolong mudah dikarenakan salah satu media penyebaran nya melalui kontak fisik. Dikutip dari covid19.go.id, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 6,248 kasus pasien positif, 535 pasien meninggal dan 631 pasien sembuh. Angka ini menunjukan perlunya kewaspadaan atas penyebaran Covid-19.
Maka dari itu, diperlukannya penanganan berupa kebijakan intensif terhadap penyebaran virus tersebut oleh pemerintah yang diikuti penerapan arahan oleh berbagai pihak. Social distancing menjadi salah satu kebijakan yang diterapkan pemerintah guna memutus mata rantai dari penyebaran virus Covid-19.
Penerapan yang dilakukan dengan tujuan menghindari terciptanya suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang.
Secara otomatis merubah berbagai pola kegiatan bermasyarakat, birokrasi, hingga beberapa perusahaan.
Salah satunya perusahaan ritel yang pada umumnya melibatkan interaksi banyak orang yang harus mengikuti aturan dengan menutup segala bentuk kegiatan yang ada didalam perusahaan.
Hal ini merupakan dampak dari mati nya roda usaha dan dalam situasi seperti ini kebijakan yang diberlakukan pemerintah membuat perusahaan ritel mau tidak mau harus mem-PHK dan merumahkan beberapa karyawannya disamping penurunan dari hasil penjualan serta biaya operasional yang harus tetap dibayar perusahaan yang berdampak pada berkurang nya kemampuan perusahaan untuk membayar gaji karyawan.
Kondisi seperti ini menjadikan pademi buah simalakama bagi beberapa karyawan dan perusahaan. Timbul persoalan bagi karyawan yang di berhentikan dan dirumahkan mengenai nasib atas keberlangsungan ekonomi mereka depannya sementara keadaan yang seperti ini menyulitkan mereka untuk mencari perkerjaan baru ataupun pekerjaan tambahan.
Disamping mereka harus memahami diberhentikan dan dirumahkannya dikarenakan hal yang bukan berasal dari kesalahan internal perusahaan.
Bukan tidak mungkin akan ada kemungkinan buruk yang akan dihadapi karyawan yang dirumahkan setelah masa social distancing ini tidak di berlakukan lagi atau berjalannya pola kegiatan seperti semula.
Beberapa dari karyawan yang dirumahkan berpotensi besar mengikuti rekan mereka yang di PHK pada gelombang sebelumnya.
Seperti yang kita diketahui dalam masa pemberlakuan social distancing perusahaan mengalami banyak sekali kerugian dan expense (beban) yang akan terus membengkak. Jadi bukan tidak mungkin perusahaan akan memangkas kembali jumlah karyawan untuk menutupi angka expense sampai kondisi perusahaan stabil.
Ketidak pastian yang dialami karyawan dan kerugian yang dialami perusahaan telah membuktikan bahwa dampak yang dihasilkan dari pandemi bukan hanya merusak kesehatan masyarakat luas dan pola kehidupan namun juga menghantam sendi-sendi dari perekonomian perusahaan.
Simalakama menjadi gambaran yang tepat untuk nasib karyawan dan perusahaan saat ini. Namun hal ini merupakan langkah aman serta bentuk dukungan karyawan dan perusahan terhadap upaya pemerintah menekan penyebaran pendemi tersebut.