Penulis : Hafizh Akbar & Ariq Risqullah
Swakarya.COm. Provinsi kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi yang terdiri dari dua pulau bersa yaitu Bangka dan Belitung serta pulau-pulau kecil disekelilingnya. Provinsi Bangka Belitung sendiri merupakan provinsi yang berdiri pada era reformasi diindonesia.
Provinsi Bangka Belitung berdiri pada tanggal 21 November 2000 dan ditetapkan sebagai Provinsi ke -31 berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2002, yang sebelumnya tergabung dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari website provinsi Bangka Belitung keadaan tanah Kepulauan Bangka Belitung secara umum mempunyai pH atau reaksi tanah yang asam rata-rata di bawah 5, akan tetapi memiliki kandungan alumunium yang sangat tinggi.
Didalamnya mengandung banyak mineral biji timah dan bahan galian serupa pasir, kuarsa, batu granit, kaolin, tanah liat dan lain-lain.
Dengan keadaan tanah tersebut Bangka Belitung memiliki tantangan dengan melimpahnya dengan sumber daya alam yang ada dengan banyak penduduk 1.230.227 Ribu pada tahun 2010 dengan tingkat kemiskinan 4,62% pada maret 2019 dan tingkat penganguran terbuka (TPT2020) 5,25% pada agustus 2020.
Berdasarkan data badan pusat statistik Provinsi kepulauan Bangka Belitung. Hal itu yang menjadi tantangan bagi Provinsi kepulauan Bangka Belitung untuk mengurangi tingkat penganguran dan kemiskinan.
Di era Revolusi industri yang semakin maju setiap tahunnya pada setiap sektor hal tersebut mendorong penggunaan energi listrik sebagai konsumsi masyarakat pada setiap sektor seperti semakin maraknya perkembangan dan riset mengenai kendaraan dan peralatan yang menggunakan energi listik sebagai sumber energi.
Ahli-ahli energi menyebutkan dalam proyeksi energi listrik Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2050 proyeksi konsumsi energi listrik Indonesia perkapita mencapai 7.000 kWh dengan proyeksi pembangkit 430 GW. Tapi kebutuhan tersebut nampaknya sangat sulit diwujudkan hanya dengan mengandalkan sumber energi baru terbarukan.
Potensi pembangkit listrik tenaga mikrohidro diproyeksikan di atas kertas mencapai 75 GW, tetapi dengan kondisi yang terjadi hari ini, sungai-sungai mulai dangkal, sulitnya membuat bendungan dam serta hutan-hutan banyak yang ditebang sehingga mengurangi area resapan, nampaknya target tersebut sangat sulit diwujudkan.
Kemudian ahli-ahli energi juga menyebutkan dari potensi energi geothermal 29,4 GW yang hanya bisa dimanfaatkan menjadi energi listrik tidak akan lebih dari 14 GW.
Begitu pula dengan potensi angin yang tidak merata serta panas matahari yang tidak menentu membuat pengembangan solar panel dan kincir angin sebagai pembangkit energi listrik berbasis EBT untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi listrik nasional sangat sulit diwujudkan.
Dengan keadaan tersebut energi Nuklir menjadi salah satu solusi dari kebutuhan energi Listik Indonesia sebagai rencana pembangunan energi berkelanjutan tentu menjadi momen baru kebangkitan energi berkelanjutan ramah lingkungan yang berbasis kesejahteraan di Indonesia.
Penempatan nuklir sebagai solusi terakhir di dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) bukan berarti menempatkan nuklir pada pilihan terakhir ketika sumber energi listrik murah seperti batu bara dan minyak telah habis.
Pembangkit listik tenaga nuklir (PLTN) merupakan suatu pembangkit listik yang menggunakan Uranium sebagai sumber panasnya. PLTN sendiri dikategorikan berdasarkan jenis reaktornya. Prinsip kerja sebuah PLTN kurang lebih sama dengan pembangkit listrik tenaga uap, menggunakan Uap bertekanan tinggi untuk memutar turbin.
Putaran turbin ini lah yang diubah menjadi energy listrik. Dari Jurnal yang ditulis Novalinda,sari.dkk tentang Perhitungan Burnup Desain Reaktor GFR berbasis bahan bakar Uranium Nitride.
Jurnal Penelitian Sains 22 (2) 2020: 50-54 menyebutkan Bahwa Perbedaanya ialah terletak pada bahan bakar dan sumber energi. Bahan bakar reaktor nuklir dibedakan menjadi dua jenis material yaitu bahan fisil contohnya uranium 235,plutonium 239, dan bahan fertil seperti uranium 238, thorium 232.
Dikutip dalam Jurnal Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Distribusi cadangan Uranium dunia 5% diantaranya berada Indonesia, Bangka belitung yang merupakan salah satu daerah yang memiliki cadangan uranium di Indonesia.
Hal ini menyebabkan Provinsi Bangka Belitung memiliki beberapa Potensi untuk kedepannya untuk menjadi penyuplai Energi listik di Indonesia Melalui PLTN. Berbicara tentang PLTN yang energi berkelanjutan dan ramah lingkungan serta berbasis kesejahteraan maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, PLTN sendiri merupakan pembangkit listrik dengan penggunaan lahan yang relatif kecil dibangingkan yang lain sebagai contoh PLTN di California bernama Diablo Canyon Power Plant dengan daya pembangkit 2256MW hanya membutuhkan lahan sekitar 80 hektar saja.
Sedangkan Penggunaan lahan untuk pembangunan PLTN jika dibandingkan dengan pembangkit listrik lain jauh lebih kecil, sebagai contoh pada PLTA Saguling dengan kapasitas daya pembangkit 700MW membutuhkan kurang lebih 5000 hektar lahan.
Kedua, penyimpanan dan pengolahan limbah produksi. Limbah tentu menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam proyeksi pembangunan energi yang bersih dan berkelanjutan. Ketika kita berdiskusi mengenai limbah pada sebuah pembangkit listrik seharusnya kita tidak hanya bicara tentang sisa hasil produksi sebuah pembangkit, tetapi juga limbah penggunaan material produksi.
Majalah Forbes tahun 2018 merilis sebuah berita dari International Renewable Energy Agency menyebutkan bahwasanya limbah dari sebuah pembangkit listrik tenaga surya setiap tahun rata-rata mencapai 250.000 metrik ton. Hal ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir yang hanya 12.000 metrik ton.
Berdasarkan Hal nilai ekonomis adalah menjadi faktor terpenting jika menginginkan sebuah konsep energi yang berbasis kesejahteraan. Konsumsi listrik Indonesia per kapita tahun 2019 menunjukan angka 1060 kWh, sementara diproyeksikan dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2025 akan meningkat sebesar 2.500 kWh.
Di Indonesia batu bara masih menjadi sumber pembangkit listrik nasional. Pemerintah setiap tahunnya mensubsidi lebih dari 50 Triliun Rupiah untuk keberlangsungan listrik nasional.
Dari segi nilai cost production listrik dengan batubara seharga $0.11. Hal tersebut akan meningkat seiring dengan semakin berkurangnya kesediaan batubara yang ada. Hal ini Semakin mendorong pemanfaatan Uranium yang belum termanfaatkan secara optimal di Indonesia.
Bangka Belitung adalah salah satu tanah surga ciptaan Tuhan yang kaya raya. Di usia yang menginjak 20 tahun ini Bangka Belitung masih bisa belum lepas dari Timah. Dengan segudang ancaman dan harapan yang masih tercokol didalamnya.
Bicara tentang timah hari ini kita tidak bisa lagi berharap akan terulang kedigdayaan kilaunya seperti 10-20 tahun kebelakang. Bukan hanya akses tambang yang semakin sulit, harga yang semakin menjepit bahkan sampai pasokan yang menipis tentu jadi permasalahan kompleks pada ranah ini. Salah satu pemanfaatannya adalah tidak hanya menambang tapi bagaimana kita bisa mengolah sisa hasil tambang itu sendiri.
Pasir sisa tambang timah (Tailing) hari ini menjadi hangat diperbincangkan dikalangan elit dan akademisi, menjadi permata berikutnya yang akan dilirik. Tailing hari ini bukan merupakan barang mewah di Bangka Belitung, harganya yang hanya 2-5 ribu saja perkilo tak sebanding dengan kandungan bawaan yang mengikut di dalamnya.
Padahal di dalam pasir tailing msih banyak kandungan mineral dan logam tanah jarang yang sangat diminati oleh pasar internasional. Selain zircon dan monazite adalah thorium yang menjadi salah satu kandungan logam tanah jarang yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan reaktor PLTN.
Thorium 232 sendiri yang merupakan salah satu bahan fertile untuk pembangkit listrik tenaga nuklir yang mana merupakan bahan ikutan timah yang mana kepulauan Bangka Belitung sendiri merupakn penghasil timah di Indonesia.
Menurut studi yng dilakukan BATAN ada sekitar 121.500 ton cadangan thorium di Babel yang dapat memberikan daya 121 Gigawatt selama 1000 tahun. Hal ini tentu semakin dekat untuk direalisasikan.
Penandatanganan kesepaktan antara Gubernur Bangka Belitung dengan Thorcon tentang kajian pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLLT) jenis TMSR-500 menjadi salah satu langkah maju mewujudkan sebuah industri hilir tambang timah.Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) jenis TMSR-500 yang akan digarap oleh Thorcon yang berdaya 2060MW hanya memerlukan lahan sekitar 6 hektar.
Selain itu, Bob S. Effendi seorang konsultan energi sekaligus kepala representative Thorcon International menjelaskan bahwa setidaknya tahun 2028 Indonesia berpotensi memiliki PLTN nya sendiri dan Bangka Belitung adalah tempatnya.
Potensi ini jelas akan menjadi sebuah harapan baru bagi Provinsi Bangka Belitung di era pasca tambang timah. Selain memiliki peluang sebagai salah satu penyuplai energi listrik nasional, hal ini tentu juga akan berpengaruh pada meningkatnya pendapatan asli daerah (pad), meningkatnya investasi, serta meningkatkan jumlah keterbukaan lapangan kerja dan tenaga kerja. Potensi ini semestinya juga harus ditunjang oleh beberapa hal, antara lain :
Pertama , sebuah kebijakan akan prioritas tenaga kerja lokal dan keterlibatan putera daerah. Kedua, keterlibatan akademisi serta tenaga ahli lokal dalam melakukan riset, kajian serta pengembangan. Dan ketiga, keterbukaan akses dan sosialisasi, edukasi serta desiminasi tentang PLTN itu sendiri bagi masyarakat Bangka Belitung .
Oleh karena itu, bersamaan dengan momentum 20 tahun hari lahirnya Bangka Belitung, sudah seharusnya kita menatap era pasca timah yang sejahtera, tentu tidak mudah, tapi perlahan dan terus berjalan searah. Disi lain ini merupakan tugas rumah kita bersama sebagai anak muda Bangka Belitung meningkatkan keahlian serta daya saing dan tentu juga tugas Pemerintah Provinsi memaksimalkan Potensi kekayaan alam yang ada tanpa terjadi nya Konflik sosial terjadi di beberapa daerah yang sekarang terjadi di wilayah pertambangan.***