Pelaksanaan Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Proses Diversi

Penulis: Agnes Vebriani.SH, Penata Muda /III.a

Swakarya.com-Masih maraknya kasus Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) di Indonesia masih menjadi persoalan yang dihadapin pemerintah saat ini. Apalagi anak merupakan aset bangsa, karena sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai successor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa.

Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Sebagai aset bangsa, sudah semestinya negara melindungi agar ABH dapat ditangani dengan cara yang lebih humanis agar psikologis anak tidak terganggu. Dalam melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarka

n (Remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.

Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan restorative juctice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi).

Diversi tidak bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, namun pelaksanaan diversi merupakan usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya.

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelangar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal (luar pengadilan) dengan melibatkan sumber daya masyarakat.


Pada proses diversi ini diperlukan peran penting dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa: “Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan teknis yang disandang oleh petugas pemasyarakatan di Bapas dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP).

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 13 UU SPPA disebutkan bahwa: “Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.

Sedangkan pengertian Balai Pemasyarakatan (Bapas) menurut Pasal 1 angka 13 UU SPPA adalah: “unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan”.


Selain itu Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menjelaskan tentang proses keseluruhan penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Undang-undang tersebut juga pada setiap tahapan proses penyelesaian perkara Anak, sering menyebutkan tentang peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam upaya penanganan anak yang berkonfik dengan hukum, dimana Pendampingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan menjadi sangat berarti dan menjadi poin penting sebagai penentu aspek legalitas dari suatu putusan dan perlakuan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum.


Ketentuan tersebut juga diperkuat dengan adanya aturan yang menjelaskan bahwa peran Pembimbing Kemasyarakatan sudah mulai dilakukan sejak proses pra-ajudikasi, dimana terdapat dalam pasal 9 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa : “Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan : Kategori tindak pidana; Umur Anak; Hasil Penelitian Pemasyarakatan dari Bapas; dan Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat”.

Berdasarkan undang-undang tersebut semakin menguatkan bahwa peran Pembimbing Kemasyarakatan telah hadir pada tahap pra adjukasi dan sudah sangat menentukan dalam upaya diversi pada tahap penyidikan. Kemudian pada pasal 27 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan”.


Berdasarkan penjelasan ketentuan hukum diatas, maka Pembimbing Kemasyarakatan dalam melakukan pendampingan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum, sangat berperan dalam menentukan dasar perlakuan bagi Anak yang sedang ditangani oleh Penyidik dengan dasar hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

Kemudian pada saat Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pendampingan pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan, tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan adalah sebagai wakil fasilitator dalam musyawarah diversi antara Anak dan/atau orangtua/wali dengan korban atau Anak korban dan/atau orangtua/wali untuk menyelesaikan perkara melalui diversi.
Menurut UU RI No.11 Tahun 2012 Tentang SPPA, Diversi memiliki pengertian sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

Kemudian selain Pembimbing Kemasyarakatan, musyawarah diversi pada tingkat penyidikan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.65 Tahun 2015, melibatkan penyidik, Anak dan/atau orangtua/wali, korban atau Anak korban dan/atau orangtua/wali, dan Pekerja Sosial Profesional. Kemudian dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau orangtua/wali, musyawarah diversi juga dapat melibatkan tokoh agama, guru, tokoh masyarakat, pendamping, advokat atau pemberi bantuan hukum.


Adapun hal-hal terkait dengan kesepakatan diversi bahwa tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah tindak pidana dengan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Kemudian sebagaimana aturan yang tertuang dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa “ Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk;


Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
Rehabilitasi medis dan psikososial;
Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.


Dengan demikian bahwa peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam tahap pra adjudikasi khususnya dalam melakukan pendampingan pelaksanaan diversi telah menjadikan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai Aparat Penegak Hukum yang memiliki peran sangat strategis dalam menentukan keberhasilan penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum, dimana rekomendasi Pembimbing kemasyarakatan yag tertuang dalam Penelitian Kemasyarakatan menjadi dasar yang penting bagi hasil kesepakatan diversi yang berasas pada restorative justice.
***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *