Refleksi 23 Tahun Reformasi: Kokohnya Oligarki Serta Praktik Korupsi Menandakan Cita-Cita Reformasi Yang Belum Terealisasi


Penulis : Muhammad Gifari, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP
UBB

Swakarya.Com. Lebih dari dua dekade semenjak lahirnya era Reformasi sebagai fase perubahan besar bagi Indonesia pasca kerusuhan Mei ‘98, tepatnya pada tanggal 21 Mei, dan terhitung 23 sudah Reformasi berdiri di negeri ini.

Pada saat itu krisis terjadi di berbagai sektor ber-skala nasional, dimana kursi kekuasaan tertinggi masih di pegang oleh soeharto selama 32 tahun dengan kokoh.

Namun dengan semangat perubahan dan kekuatan rakyat yang absolut, dimana memang sudah seharusnya kedaulatan di pegang oleh rakyat, yang mana hal ini sejalan dengan amanat UUD 1945 yang telah di sepakati sebagai pedoman dasar konstitusi negara republik Indonesia.

Masyarakat kala itu mencoba menumbuhkan kembali prinsip-prinsip demokrasi melalui gerakan massif yang terjadi di seluruh sebaran daerah di indonesia, mereka berusaha mengungkapkan ekspresi melalui eskalasi gerakan yang meningkat agar terwujudnya Reformasi.

Pada kala itu mahasiswa dengan sisi kritisnya bersama-sama melebur bersama masyarakat serta menjadi aktor utama dalam gerakan saat itu. Akibatnya gejolak yang terjadi membuat soeharto mengundurkan diri setelah adanya tekanan serta stabilitas nasional yang cukup terguncang, pengaruh akibat adanya gerakan yang cukup massif sebagai bentuk ekspresi kekecewaan rakyat kepada pemerintah atas adanya penyelewengan dan perlakuan tidak adil di masa orde baru/ era soeharto menjabat.

Stabilitas nasional pun cukup kacau karena berbagai sektor penting di anggap tidak lagi berjalan sesuai porsinya, diantaranya terjadi ketidak adilan dalam bidang politik, hukum dan ekonomi, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang sudah cukup mengakar pada era Orde Baru saat itu. tentu hal ini tidak sejalan dengan semangat dan prinsip yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945.

Menilai semangat Reformasi di masa sekarang setelah 23 tahun di gaungkan di negeri ini. dengan melihat fenomena yang terjadi sekarang di bangsa ini, sepertinya tidak salah dan tidak berlebihan jika perkembangan dan penerapan dari amanat Reformasi telah menyimpang bahkan mengalami kemunduran.

Ketika para pejuang Reformasi terdahulu mengharapkan perubahan dalam sektor sosial, politik, ekonomi, dan keadilan yang lebih demokratis serta lebih baik, namun jika dilihat secara fenomena yang terjadi di negeri ini, hal itu terpampang secara jelas jauh dari unsur memenuhi kandungan serta arti dari Reformasi itu sendiri.


Mengambil contoh dari bentuk kemunduran serta penyimpangan amanat Reformasi setelah 23 tahun terus dibawa dengan harapan dapat menjadi cahaya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, yaitu fenomena gerakan yang lagi-lagi wujud bentuk dari ekspresi kekecewaan seluruh elemen masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia pada tahun 2019.

Dimana terjadi demonstrasi besar-besaran, sebagai bentuk kemarahan publik yang semula di picu oleh berbagai upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai lembaga independen dan buah hasil Reformasi.

Banyaknya dinamika yang terjadi antara lembaga eksekutif dan legislatif yang semakin hari semakin memberikan kebijakan yang di sinyalir tidak solutif dan cenderung melahirkan kebijakan demi kepentingan golongan.

Akibatnya mendorong sebagian besar masyarakat mulai menurunkan standar kepercayaannya kepada lembaga legislatif sebagai penyambung aspirasi masyarakat.

Dimana seharusnya dewan legislatif hadir sebagai wadah penyalur aspirasi serta keluhan dan medium pemberi kebijakan solutif untuk masyarakat umum, justru seakan tutup telinga dan memilih untuk memenuhi hasrat pribadi maupun golongan tertentu di atas kepentingan masyarakat secara umum.

Setelahnya tidak cukup pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi pemicu gejolak yang terjadi di dalam elemen masyarakat di seluruh sebaran daerah di Indonesia, aksi pelemahan ini juga di diringi dengan munculnya sejumlah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang cukup menuai kontra di dalam persepsi masyarakat.

Terdapat beberapa Rancangan Undang-Undang yang di prioritaskan untuk di bahas walaupun terdapat desakan dari masyarakat untuk tidak mengesahkan RUU tersebut dan bahkan ada beberapa RUU yang sudah disahkan walaupun mendapatkan sentimen negatif yang cukup massif di kalangan masyarakat, diantaranya adalah : RKUHP, Revisi UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, RUU Sumber Daya Air dan RUU Ketenagakerjaan.


Oligarki berjalan angkuh dengan karpet merahnya melalui UU terkait Sumber Daya Alam, yakni Omnibus Law. Para penguasa kembali membawa perlindungan dan keamanan lingkungan serta keselematan generasi masyarakat dimasa yang akan datang ketitik yang terendah (lagi).

UU Omnibus Law Seperti yang diketahui memberikan respon dan gejolak yang cukup massif di berbagai kalangan, baik dari masyarakat sipil, akademisi, tetapi juga organ pembela lingkungan lainnya.

Sejak disahkan nya Omnibus Law sebagai induk untuk mengatur beberapa Undang-Undang, mendapatkan respon negatif yang cukup massif, selain dari substansi yang dituangkan, dimana memberikan banyak stigma penolakan dari sebagian besar kalangan, juga dalam proses perumusan dan pengesahan-nya yang dinilai tidak transparan dan dirasa terlalu tergesa-gesa. Belum genap satu tahun sejak disahkannya UU Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 lalu.

Dalam pelaksanaannya Omnibus Law memberikan kebijakan yang cenderung memberikan keistimewaan untuk oligarki.
Dalam proses pembentukan hingga pengesahan sejumlah UU di anggap sebagai produk pengusaha yang memasuki ranah politis pemerintahan, demi kelancaran hasrat pribadi atau golongan untuk mempermudah kepentingan mereka.

Setelahnya jika melihat dinamika yang terjadi di dalam tubuh perselingkuhan penguasa dan pengusaha tentu menjadi salah satu concern yang cukup penting untuk segera di atasi agar tetap sejalan dengan amanat yang terkandung dalam tubuh Reformasi.

Cukup banyak persoalan serta cacat implementasi dari cita cita awal Reformasi. Cukup banyak poin penting yang kemudian menjadi pekerjaan dimana menjadi salah satu urgensi untuk kemudian harus segera di tuntaskan setelah jalannya era Reformasi selama 23 tahun seperti Demokratisasi, Kesejahteraan dan Keadilan.

Dari masih banyak nya persoalan serta ketimpangan yang terjadi di dalam iklim Reformasi saat ini, dimana hal ini tidak sejalan dengan cita-cita dan makna yang terkandung dalam Reformasi sesungguhnya, maka dari itu perjuangan masyarakat serta aktivis dan mahasiswa sebagai alat control perubahan tidak boleh berhenti. Reformasi belum tuntas!***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *