Oleh: Muhammad Ghozali
Pajak adalah suatu kata yang sering terdengar di telinga dan sering dijumpai oleh mata, akan tetapi tidak banyak dipahami dengan baik, apa itu pajak, fungsinya, dan dampaknya bagi semua pihak terutama untuk negara khususnya Republik Indonesia. Pajak menjadi sumber pendapatan utama buat negara, tercantum dalam Undang-Undang bahwa pajak merupakan kontribusi yang wajib dibayarkan oleh rakyat kepada negara namun tidak menjadi suatu timbal balik secara langsung melainkan untuk membiayai kebutuhan umum dan pembangunan yang bertujuan mensejahterakan rakyat misalnya melalui pembangunan jalan ataupun sarana publik.
Era saat ini, masih banyak orang yang jika mendengar kata-kata “membayar pajak” dapat membuat pusing atau sengaja menghindarinya. Hal tersebut dikarenakan pajak bagi sebagian orang berkesan rumit dan juga membingungkan, serta sering merasa keberatan untuk mengurangi pendapatan mereka demi membayar pajak. Seseroang sering kali tidak berpikir bahwa selama ini kenikmatan menggunakan jalan raya, jembatan, penerangan jalan, taman dan fasilitas umum lainnya bukan berasal dari pajak yang dibayarkan. Oleh karena itu, kebutuhan akan pengetahuan perpajakan sangatlah diperlukan bagi semua elemen wajib pajak baik bagi pajak Badan maupun pajak orang pribadi.
Pendapatan pajak dapat dilihat bahwa penerimaan pajak tahun 2022 terealisasikan Rp2.626,4 triliun atau 115,9 dari target yang tertuang pada peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2022 sebesar Rp2.266,2 triliun, realisasi tersebut sebesar 30,6% sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin kokoh dan terjaga serta didorong harga komoditas yang relatif masih tinggi. (Kemenkeu, 2022). Pendapatan tersebut tidak lepas dari program “pajak bertutur” dimana gerakan ini bisa memberi pemahaman tentang peraturan pajak dan sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai insan taat pajak yang baik.
“Pajak Bertutur”
Menyadari pentingnya membangun kepatuhan sukarela Wajib Pajak, DJP mengembangkan Program Pajak Bertutur yang dijalankan sejak 2017 hingga sekarang. Gerakan Indonesia Sadar Pajak yang dicanangkan pada tahun 2045 oleh DJP yang dimulai sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2060, pada saat ini sedang berada di masa edukasi. (Vira dan Septian: 2019)
Program ini membentuk moral terkait pajak secara berkesinambungan melalui sosialisasi atau edukasi bagi komponen usia sekolah (SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi). Bertujuan membuka cakrawala pengetahuan dan penanaman nilai kesadaran pajak meskipun kelompok usia ini tidak memberikan dampak penerimaan bagi DJP saat ini, tetapi tetap dipertimbangkan untuk memanen peningkatan kepatuhan pajak pada generasi milenial di masa mendatang.
Pada saat pertama kali diselenggarakan, program ini mendapat antusiasme tinggi dari peserta. Kegiatan yang dilakukan pada 11 Agustus 2017 ini memperoleh penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai penyelenggaraan Edukasi Pajak Bertutur dengan jumlah siswa yang terlibat terbanyak. Tercatat ada 127.459 siswa dari 2.182 sekolah se-Indonesia mengikuti program ini. (Harisman Isa Mohammad, Majalah Pajak: 2017)
Pajak Bertutur merupakan program inklusi kesadaran pajak sebagai bentuk implementasi dari Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor MoU-21/MK.03/2014 dan Nomor 13/X/NK/2014 tentang Peningkatan Kesadaran Perpajakan Melalui Pendidikan.
Selanjutnya, untuk mengakomodir jenjang perguruan tinggi, dibuat MoU antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor MoU-4/MK.03/2016 dan Nomor 7/M/NK/2016 tentang Peningkatan Kerjasama Perpajakan Melalui Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
MoU selanjutnya ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara DJP dengan unit eselon I di kementerian masing-masing. Mempertimbang cakupan Pajak Bertutur semakin luas, pada tahun berikutnya DJP menambah kerjasama dengan berbagai pihak termasuk dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertahanan. (Sanda Aditiya A, dan Nyarwi Ahmad: 2022)
Mengacu pada hal tersebut, sektor pendidikan menjadi bagian paling penting untuk mewujudkan cita-cita gerakan tersebut, karena sebagai salah satu faktor yang utama dalam upaya memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat. Disamping itu, masyarakat juga mengetahui hak dan kewajiban perpajakan sebagai warga negara yang baik, dalam hal ini warga negara yang dimaksud adalah peserta didik yang nantinya hidup bermasyarakat. Adanya kegiatan edukasi perpajakan dapat membantu kebijakan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Meskipun siswa memang sudah mendapatkan pengetahuan pajak melalui pelajaran dari tingkat SMP tetapi pengetahuan yang diberikan hanya sedikit sebab masih banyak dari para guru juga kurang mengetahui secara detail mengenai perpajakan.
Maka tentunya edukasi perpajakan mesti tidak lepas dari edukasi ke guru juga, sebagai motor penggerak dan pemberi informasi di satuan pendidikan. Sehingga sosialisasi yang dilaksanakan pihak DJP tetap dilakukan secara kontinu dan selalu digaungkan kepada masyarakat khususnya masyarakat sekolah untuk menjaga dan menumbuh rasa kepedulian atau kesadaran baik bagi guru itu sendiri maupun elemen sekolah akan pentingnya kepatuhan membayar pajak.
Rubicon Pegawai DJP Kementerian Keuangan
Dibalik gencarnya sosialisasi sadar pajak terutama melalui program “Pajak Bertutur” yang dilakukan dari tahun ke tahun, Kemenkeu diterpa badai yang menjadi pekerjaan baru yang harus dituntaskan. Kasus terbaru yang menyeret salah satu nama Pejabatnya menjadi PR bagi instansi yang semestinya memberi contoh untuk mentaati bayar pajak.
Kasus yang bermula dari penganiayaan dilakukan anak yang menyeret nama sang ayah selaku oknum Pejabat di DJP Kemenkeu menjadi sorotan di tengah masyarakat karena harta kekayaannya tidak sebanding dengan jabatan yang diemban dan diduga ada beberapa kekayaan yang tidak dilaporkan.
Disamping itu gaya hidup anak menjadi sorotan masyarakat salah satunya Rubicon yang digunakan berstatus “masa pajak habis”. (Hajidah Alaydrus, CNBC Indonesia: 2023)
Perbincangan tersebut pun masih sering mencuat sehingga berdampak munculnya seruan dan reaksi untuk tidak membayar pajak. Meskipun memang dampak tersebut tidak terlalu besar, sebab penerimaan pajak di Indonesia dominan masih berasal dari pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan juga dari badan usaha, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwasanya masyarakat dapat menjadi acuh untuk melapor hartanya.
Menilik dari persoalan di atas, tidak menutup kemungkinan masyarakat pada lapisan pendidikan juga terpengaruh meskipun selama ini pajak telah digaungkan ke ranah pendidikan lewat program “Pajak Bertutur” yang secara tidak langsung terbentur oleh kasus Rubicon yang telah tersemat pada pikiran masyarakat bahwasanya: “percuma membayar pajak kalau orang pajak saja tidak membayar pajak”. Tagline seperti itu semakin berkembang di telinga masyarakat dan bakal tertanam ke generasi penyambut 2045.
Selain itu, menjadi bomerang bagi guru ataupun pihak perpajakan dalam mengedukasi wajib pajak ke lembaga pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan disiplin terhadap pelaku yang mencoreng instansi secara transparan ke khalayak umum, menyelidiki dan membenahi SDM dalam internal, mengembalikan rasa percaya masyarakat terhadap perpajakan melalui prestasi dalam bidang perpajakan, komunikasi ke masyarakat, kegiatan edukasi, maupun laporan keuangan yang transparansi ke publik, berusaha membendung slogan atau berita hoax dimasyarakat, memberi edukasi kepada masyarakat ketika membuat NPWP baik dari fungsinya, manfaat, maupun dampaknya sehingga pendapatan pajak tetap bertahan bahkan terus tumbuh agar selalu terjaga stabilitas ekonomi.