Pro-kontra Rancangan Undang-undang Omnibus Law: “Peluang Ekonomi Sektor Industri atau Jalan Pintas Eksploitasi Negeri Sektor Lingkungan Hidup?”

Oleh: Cucu Rahmat Hidayat, Penulis adalah Direktur Bidang Hukum dan Advokasi Lembaga BAKORNAS LEPPAMI PB HMI

Swakarya.Com. Omnibus atau dapat juga disebut semua untuk semua (Duhaime Legal Dictionary) mungkin sudah tidak asing ditelinga beberapa orang. Sedangkan Omnibus Law adalah penyelesaian pengaturan kebijakan yang tercantum dalam undang undang ke dalam satu undang undang payung (Black’s Law Dictionary 11th Edition).

UU Payung (induk) dianggap dapat membawahi undang undang yang ada di bawahnya (anak) tetapi tetap setara dengan undang undang lainnya (berdasarkan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan).

Menurut Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian dalam presentasinya mengenai konsepsi Omnibus Law memiliki 3 manfaat yaitu, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang – undangan, efisiensi proses perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan, dan menghilangkan ego sektoral.

Lain dari itu, setelah saya baca draft Rancangan Undang-undang Omnibuslaw saya tertarik dengan aspek Lingkungan yang terlihat beberapa pasal dihapus dan digantikan dengan redaksi yang cukup konyol, diantaranya adalah pada pasal-pasal berikut:
-Pasal 23 ayat 1 halaman 81 mengenai Perubahan Pasal 23 Undang-undang Lingkungan Hidup tentang 9 kriteria usaha wajib AMDAL dipangkas menjadi 1 kriteria dengan bunyi redaksi yang Abstrak.

-Pasal 24 angka 3 halaman 82 mengenai Perubahan atas Pasal 24 ayat 5 Undang-undang Lingkungan Hidup, izin lingkungan dihilangkan lalu diganti dengan perizinan berusaha. Hal ini bisa saja mempersulit upaya hukum masyarakat terhadap dampak lingkungan yang buruk dari suatu perusahaan.

-Pasal 77 halaman 91 RUU ini juga menentukan hanya diberikannya sanksi Administratif kepada pengusaha yang melanggar aturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dll.

Hal tersebut menjadi konyol, karena menurut saya Rancangan Undang-undang Omnibuslaw seolah menjadi sertifikasi halal investor untuk mengeksploitasi kekayaan Negeri ini sampai keakar-akarnya.

Nyata saja, belum rampung Rancangan Undang-undang ini disahkan sudah ada 7 perusahaan Asing yang mengantri untuk relokasikan perusahaannya di Indonesia. Dengan besaran investasi yang diperkirakan mencapai 850 juta Dollar As dan serapan tenaga kerja sebanyak 30.000 orang, hal ini yang diharapkan pemerintah untuk dapat mendokrak ekonomi Negeri.

Kemudian muncul dalam benak saya, 850 juta Dollar As itu apa sebanding untuk menutupi dampak buruk yang timbul akibat dari perilaku usaha di Negeri ini nantinya? Lalu apa serapan 30.000 orang tenaga kerja itu murni pribumi atau jangan-jangan kembali buruh Asing yang kerja?

Hal ini menjadi sangat mengganggu tidur pegiat Lingkungan dan pejuang kerja (serikat buruh) dengan gambaran umum Rancangan Undang-undang Omnibuslaw ini yang seakan-akan menjadi sertifikasi atau jaminan bagi pengusaha, Pasal tentang investasi di perjelas dan rinci sedangkan Pasal terkait Lingkungan sebagai control dampak perilaku usaha seperti digaburkan, ya deskripsinya seperti “lingkungannya bisa diekploitasi asal investasi”.

Menanggapi Pro-Kontra Rancangan Undang-undang Omnibuslaw dan masuknya 7 Perusahaan Asing ini, Saya kira sudah sepatutnya Pemerintah harus kembali mengkaji lebih dalam Rancangan Undang-undang ini dengan melibatkan banyak pihak demi terjaganya mutu dari satu produk hukum dan menseleksi dengan seksama perusahaan yang akan alokasi usahanya di Indonesia agar eliminasi perusahaan yang tidak memberikan efek signifikan terhadap ekonomi dapat terdeteksi dini demi terhindarnya nasib rakyat jadi buruh di Negeri sendiri. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait