Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum


Penulis: Rozi, S.Sos., M.A, Dosen Agama Islam UBB dan Wakil Seketaris MD KAHMI Kota Pangkalpinang

Swakarya.com. Sebelum kita mendiskursuskan tentang moderasi beragama, maka ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Perguruan Tinggi Umum itu sendiri.

Menurut Nano Supriono, perguruan tinggi terbagi menjadi dua macam, yaitu perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Akan tetapi yang menjadi pembeda antara keduanya adalah terletak pada kewenangan dalam peregulasian dan pengelolaan yang dilakukan.

Adapun perguruan tinggi negeri diselenggarakan dan dikelola oleh pemerintah. Sedangkan perguruan tinggi swasta diselenggarakan dan dikelola oleh masyarakat secara terbuka.

Meskipun demikian, secara garis besarnya perguruan tinggi umum merupakan unit penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pelaksana pendidikan yang tujuannya secara khusus untuk mengambil ilmu pengetahuan umum (berbasis non agama). Yang mana ketentuan dan peraturannya sesuai Undang-Undang Republik Indonesia di mana mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidiknya terbuka untuk umum atau berasal dari khalayak umum yang tentunya sangat beranekaragam keyakinan beragama di dalamnya.

Oleh karena itu penting sekali memberikan pemahaman tentang moderasi beragama pada para mahasiswa. Hal itu dilakukan agar supaya mahasiswa dapat bersikap moderat atau mengambil jalan tengah dalam mengimplementasikan ajaran agama yang menjadi keyakinan mereka.

Berbicara persoalan moderasi beragama tentunya bukan berarti kita harus memoderasikan agama, karena dalam agama itu sendiri sudah mengajarkan makna moderasi. Lantas apa yang dimaksud dengan moderasi beragama?

Moderasi beragama yaitu proses memahami agama sekaligus mengimplementasikan ajaran agama secara seimbang dan adil. Demikian itu dilakukan agar terhindar dari perilaku yang terlalu berlebih-lebihan dalam beragama atau dalam istilah lain yaitu perilaku ekstrem.

Adapun contoh dari perilaku ekstrem dan perilaku berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama yaitu gampangnya mengafirkan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dengan kelompok mereka.

Demikian itu tentu tidak boleh dilakukan karena sejatinya hanya Tuhan Yang Maha Esa-lah yang dapat menentukan seseorang tersebut pantas dikatakan kafir atau tidak. Contoh lain mungkin bisa dilihat dari merasa paling benar, merasa paling suci dan menganggap orang lain adalah keliru.

Sejatinya pelaku agama harus seimbang dalam menjalankan ajaran agamanya. Seimbang dalam menjalankan nilai-nilai agama yang berhubungan dengan spiritual (membangun hubungan dengan Tuhannya) dan nilai-nilai yang berhubungan dengan sosial (membangun hubungan dengan manusia).

Tidak hanya itu, seseorang juga bisa dikatakan ekstrem dan berlebih-lebihan dalam beragama yaitu disaat mereka berani menghina atau merendahkan ajaran agama dan kepercayaan orang lain, serta menghina simbol-simbol yang dianggap suci oleh keyakinan agama tertentu.

Dengan kalimat lain, seseorang juga dapat dikatakan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agamanya jika melanggar tiga prinsip yaitu: 1) melakukan pelanggaran pada tatanan nilai kemanusiaan, 2) melanggar kesepakatan bersama, 3) melakukan pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum. Kemudian lantas siapakah yang bertanggung jawab dalam memberikan pemahaman tentang moderasi beragama kepada para mahasiswa yang berkuliah di PTU?

Sejatinya tegaknya moderasi beragama tentu perlu adanya gerak bersama (keterlibatan semua pihak), baik sifatnya perorangan maupun instansi atau lembaga. Namun jika dikhususkan kepada mahasiswa yang berkuliah di PTU tentunya harus selalu dikawal dan menjadi tanggung jawabnya para dosen yang mengajar di instansi atau lembaga tersebut, terkhusus dosen yang mengampu mata kuliah pendidikan keagaaman, namun tetap dengan prosedur atau pantauan dari instansi terkait.

Harapan pemberian pemahaman terkait moderasi beragama ini kepada para mahasiswa ialah supaya cara beragamanya mereka di dunia kampus dapat diimplementasikan dengan cara mengambil jalan tengah (moderat), tidak mudah mengotak-ngotak kelompoknya, terlebih tidak mudah mengafir-ngafirkan orang lain. Oleh karenanya dengan memberikan pemahaman terkait moderasi beragama juga, maka mahasiswa tidak berlebih-lebihan dan ekstrem ketika menjalani ajaran atau tuntunan agamanya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *