Pantun Bukan Sembarang Pantun


Karya : Mohamad Arif Agitian

Hendak kemana mencari kayu
Carilah kayu di hutan dusun
Apalah tanda seorang melayu
Kalau bercakap ia bepantun.


Pantun merupakan bagian dari karya sastra melayu yang masih ada hingga saat ini. Khususnya di kalangan bangsa rumpun melayu, yaitu negara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan juga bagi sebagian masyarakat Singapura.

Umumnya pantun-pantun di kalangan bangsa rumpun melayu ini memiliki beberapa kesamaan bahkan ada juga pantun yang menjadi milik bersama, memiliki arti dan maksud yang sama.

Hanya saja terdapat perbedaan tidak berarti pada beberapa bagian seperti bagian sampiran atau kata. Sebagai contoh, pantun yang cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia, yaitu,

Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau angsa dua
Hancur badan di kandung tanah
Budi baik dikenang jua

Pantun diatas juga populer di kalangan masyarakat Malaysia dan Brunei Darussalam dengan narasi sebagai berikut

Pulau pandan jauh di tengah
Gunung daik bercabang dua
Hancur badan di kandung tanah
Budi baik dikenang jua.


Pantun dari setiap bangsa rumpun melayu tentu memiliki nilai estetika dalam setiap rangkaian kata sehingga bagian sampiran dan isi berpadu menjadi pantun dengan keindahan bahasa dan kedalaman makna atau pesan yang terkadung di dalamya.

Sebuah pantun akan lebih elok saat diucapkan jika memenuhi kriteria pantun yang kompleks, diantaranya terdiri dari empat baris dengan dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris terkahir sebagai isi, berima a-a-a-a atau a-b-a-b, terdiri atas 8 hingga 12 suku kata dan memperhatikan nilai estetika dan logis yang terkandung dalam pantun. Begitu pun seorang pemantun akan lebih terampil mengucapkan atau mendendangkan pantun yang sesuai dengan kriteria.

Namun saat ini sering kali kita jumpai atau mendengar pantun yang mengabaikan nilai estetika dan logis. Seperti di acara – acara televisi, acara seremonial, percakapan sehari-hari bahkan sambutan pejabat.

Hal ini tentu dapat mengurangi estetika bahasa dan mengabaikan nilai yang terkandung dalam pantun, terlebih lagi dapat menyebarkan kekeliruan dalam pembuatan pantun.

Provinsi kepulauan Bangka Belitung sebagai daerah yang berbasis adat melayu tentu sangat akrab dengan pantun. Pantun biasanya digunakan saat acara adat, acara pernikahan bahkan dinyanyikan dalam bentuk lirik musik tradisi dambus.

Pantun kepulauan Bangka Belitung sebenarnya hampir sama dengan kriteria pantun pada umunya, hanya saja pantun Bangka Belitung lebih spesifik menggambarkan berbagai informasi, nilai-nilai, norma-norma, penggambaran perspektif, pengalaman hidup, daya pikir dan imaji pemantun yang hidup di kepulauan Bangka Belitung. Berikut contoh pantun Bangka Belitung,

Burung tiung di atas dahan
Berhinggap punai di dahan kayu
Bangka Belitung Negeri yang sopan
Serumpun sebalai tanah melayu.

Adapun diksi yang dipilih dan nilai yang terkandung dalam pantun tentu mencerminkan daerah provinsi kepulauan Bangka Belitung sehingga pantun Bangka Belitung menjadi sangat penting untuk terus dilestarikan.

Pelestarian pantun saat ini sudah menjadi perhatian pemerintah daerah provinsi kepulauan Bangka Belitung, hal ini dapat dilihat dari adanya gagasan untuk mewajibkan pejabat daerah untuk berpantun atau sekedar membacakan pantun dalam membuka atau menutup sambutan.

Tentu ini menjadi langkah awal yang baik dan harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lainnya, karena kita menginginkan pantun sebagai sastra lisan yang ada di provinsi kepulauan Bangka Belitung dapat terus lestari di setiap lapisan masyarakat, mulai dari pejabat, masyarakat hingga para siswa yang sedang menempuh pendidikan di berbagai jenjang sekolah.

Selain itu, hal penting yang perlu kita perhatikan adalah bukan hanya pantun yang terdiri dari empat baris dengan dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris terkahir sebagai isi, berima a-a-a-a atau a-b-a-b, dan terdiri atas 8 hingga 12 suku kata yang ingin kita lestarikan, melainkan pantun yang memiliki nilai estetika, diksi dan norma yang menggambarkan kepulauan Bangka Belitung.

Persoalan yang pernah kami jumpai saat melakukan sosialisasi pembuatan pantun dalam program Ayo Berpantun bersama kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung dan pak cik Kurio selaku pemantun Bangka, di beberapa sekolah yang ada di kota Pangkalpinang mayoritas pantun yang dibuat para siswa hanya memperhatikan rima dan barisan. Hal ini kami rasa wajar karena materi pantun yang diajarkan di sekolah merupakan materi pantun yang umum.

Namun sangat disayangkan, mengingat provinsi kepulauan Bangka Belitung memiliki khazanah pantunnya tersendiri dan mengandung norma-norma masyarakat kepulauan Bangka Belitung.
Untuk menyikapi hal tersebut, diperlukan sebuah langkah untuk merancangan konsep yang komprehensif untuk menggalakkan pantun kepulauan Bangka Belitung berikut dengan kaidah-kaidahnya.

Langkah ini bisa dimulai dengan sinergi antara pemangku kebijakan dengan instansi yang memiliki wewenang, misalnya Gubernur provinsi kepulauan Bangka Belitung menginstruksikan dinas pendidikan untuk merancang konsep pengajaran dan pembelajaran pantun Bangka Belitung.

Dalam perancangan konsep konsep pengajaran dan pembelajaran pantun Bangka Belitung dinas pendidikan dapat melibatkan pakar-pakar pantun, pakar pembelajaran dan kurikulum, guru-guru hingga instansi lainnya. Setelah konsep ini dinyatakan siap, maka pengajaran dan pembelajaran pantun kepulauan Bangka Belitung dapat diterapkan dalam mata pelajaran muatan lokal atau diintegrasikan dalam pembelajaran tematik kurikulum 2013 di jenjang satuan pendidikan.

Melalui upaya ini, tentu menumbuhkan optimisme dan harapan baru terhadap pelestarian pantun, karena pantun kepulauan Bangka Belitung bukan sekedar pantun.

Katun bukan sembarang katun
Katun dipintal di tanah Bangka
Pantun bukan sembarang pantun
Pantun berisi adat dan norma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *