Oleh: Indah Cahyani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Indonesia dikaruniai sejuta kekayaan alam. Bentang geografis negara ini terletak persis di khatulistiwa membuatnya senantiasa diiringi matahari sepanjang tahun. Hal ini berdampak pada kondisi alam yang sedemikian tropis. Berbagai flora dapat tumbuh sepanjang tahun di Indonesia yang hanya memiliki dua musim pergantian, yakni musim hujan dan musim panas. Oleh karena itu, alam Indonesia seakan tidak pernah berhenti bekerja dalam memberi berkah dan manfaat bagi segenap masyarakat Indonesia.
Tidak sampai situ, Indonesia dengan kekayaan alamnya juga memainkan peran besar dalam kancah perdagangan dunia. Indonesia secara konsisten mendominasi di sektor perkebunan dengan berbagai komoditas yang berkualitas. Salah satu komoditas ekspor Indonesia yang berasal dari hasil pertanian adalah kelapa sawit yang selama ini jadi andalan.
Salah satu wilayah Indonesia yang menjadi gudang penghasil kelapa sawit adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dilansir dari data yang dipublikasikan detik.com, Tahun 2018, produksi kelapa sawit di Bangka Belitung 119.056 ton, kemudian naik sebanyak 126.675 ton di 2020. Produksi kelapa sawit pun diproyeksikan di angka 130.602 ton di tahun ini dan 132.887 di tahun 2022.
Peningkatan secara konsisten tersebut nyatanya berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Hal ini terlihat sejak awal tahun 2022, muncul fenomena kelangkaan minyak diikuti dengan kenaikan harga yang terjadi secara konstan sejak awal tahun 2022. Padahal, minyak goreng dihasilkan dari kelapa sawit yang hasilnya berlimpah ruah di Indonesia.
Apabila meilirik pada kronologis singkat dinamika harga minyak goreng, diketahui bahwa kenaikan harga minyak goreng telah terjadi sejak akhir 2021 dan sampai saat ini belum terselesaikan.
Kenaikan harga minyak goreng masih dipicu oleh kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dunia sejak November 2021, menyebabkan harga minyak goreng kemasan bermerek sempat naik hingga Rp 24.000 per liter. Meski pemerintah telah mengatur berbagai regulasi agar harga minyak tetap stabil, nyatanya pasar bebas masih memegang kuasa yang lebih kuat dari kehendak pemerintah.
Bangka Belitung tidak menjadi pengecualian dari fenomena ini. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu kondisi yang ironis. Segala kekayaan alam Indonesia seakan tidak ada gunanya, karena pada akhirnya, Indonesia harus takluk pada kondisi pasar dunia meski kondisi yang ada di Indonesia justru sebaliknya. Produksi kelapa sawit selaku bahan baku minyak goreng mengalami kenaikan secara terus menerus. Meski demikian, pemerintah tak sepenuhnya dapat disalahkan terkait hal ini. Reaksi masyarakat yang berlebihan sehingga menimbulkan gelombang panic buying terhadap minyak goreng yang berimbas pada kelangkaan stok minyak goreng memperkeruh keadaan yang telah ada. Di Bangka Belitung sendiri, pemerintah secara konsisten mengimbau kepada sekuruh masyarakat untuk bijak menghadapi situasi kelangkaan minyak goreng ini.
Pada akhirnya, baik pemerintah maupun masyarakat sudah sepatutnya bersiap dalam menghadapi situasi terkait minyak goreng. Pemerintah harus tanggap, tegas, dan mampu memberikan solusi pada masyarakat. Sedangkan masyarakat harus bijak dan tetap tenang dalam menghadapi permasalahan ini. Sehingga, apabila kolaborasi keduanya telah berjalan, maka akan tercipta ekosistem perdagangan minyak goreng yang stabil.