Jakarta, Swakarya.Com. Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2004-2009, Muhammad Jusuf Kalla berbagi pengalaman sebagai seorang pemimpin baik di Partai Golkar maupun sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia selama dua kali. Kepada para peserta Executive Education Program for Young Political Leader 5 Golkar Institute, JK –sapaan akrabnya- mengingatkan bahwa berpolitik itu untuk menyejahterakan rakyat. Tak hanya itu, berpolitik juga harus melalui bermacam-macam tahapan.
“(Politik) Kekuasaan ini untuk mencapai kesejahteraan rakyat.”
“Semua yang saya kerjakan, semua bertahap. Tidak ada yang saya lewati. Di politik itu, pertama, saya jadi Anggota DPRD. Saya masuk Golkar tahun 1965. Saya mungkin orang yang paling lama di Golkar.”
“Jadi bertahap. Di politik juga begitu. Saya ketua pemuda Golkar, kemudian (Anggota) DPR, kemudian Menteri, ke Menko (Menteri Koordinator). Kemudian ke Wapres. Jadi kita harus punya kemampuan leadership seperti ini. Jadi saya tidak ada lompati. Kita lewati seperti tangga,” demikian ujar JK, Selasa (25/1/2022) di Ruang Learning Management System (LMS) Golkar Institute, Kantor DPP Partai Golkar.
Pada acara itu, JK mendapat banyak pertanyaan dari peserta seperti bagaimana seni memimpin. Ia juga mendapat pertanyaan tentang mengapa para stafnya begitu loyal kepadanya.
“Karena saya loyal sama dia. Yang pertama loyal kepada negara, baru loyal kepada saya,” jawab JK disambut tawa peserta.
Selama menjadi pemimpin, ia mengaku paling sulit memberhentikan staf-stafnya.
“Saya 35 tahun pimpin perusahaan, paling susah itu pecat orang. Memecat orang itu, paling susah lakukan,” lanjutnya.
Ia juga menjelaskan kepada para peserta bahwa untuk terjun di politik tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu.
“Tidak harus kaya. Tapi kita harus mandiri dulu,” jelas JK.
Sebagai tokoh bangsa, JK mendapat gelar sebagai “Juru Damai”. Ia berbagi kisah pengalaman mendamaikan dua tokoh Malaysia, Najib Razak dan Anwar Ibrahim. Ia mengaku harus “bolak balik” Jakarta-Kuala Lumpur untuk mendamaikan keduanya. Apa yang ia lakukan ini bahkan tidak diketahui istri tercintanya. Tak hanya itu, ia juga bercerita bagaimana menyelesaikan konflik Aceh. Menurutnya, untuk mampu menyelesaikan konflik, harus memahami akar masalahnya.
“Untuk melaksanakan perdamaian, harus tahu betul masalahnya. Konflik Aceh itu orang tahunya karena dia mau jadi (pemerintahan) agama Islam. Padahal tidak, Aceh itu kaya, tapi kenapa tertinggal,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan konflik Aceh, menurut JK solusinya adalah diberikan otonomi yang luas kepada Pemerintah Aceh. Tak hanya konflik skala nasional maupun internasional, JK juga bercerita bahwa ia pernah dimintai untuk menyelesaikan konflik rumah tangga.
“Saya mendamaikan kisruh rumah tangga, orang mau cerai,” kenang JK disambut tawa peserta.(*)