Implementasi Metode Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Verbal Bullying pada Anak

Penulis: Nadine Febiola (Mahasiswa FH UBB)

KEADILAN restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon perkembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Restorative justice sebagai model pendekatan dalam upaya penyelesaian suatu perkara pidana muncul pada era tahun 1960-an.

Pada pertengahan tahun 1970, asas-asas tentang restorative justice dengan segala bentuk partisipasinya seperti rekonsiliasi korban dan pelaku kejahatan telah diterapkan oleh kelompok kecil aktivis, personil sistem peradilan pidana dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa.

Keadilan restoratif diterima sebagai salah satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB pada tahun 2000.

Setelah pengakuan itu, semakin banyak negara yang menerapkannya dalam menangani perkara pidana.

Keadilan restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan korban, pelaku dan masyarakat.

Prinsip utama keadilan restoratif adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai sukarelawan mediator atau fasilitator penyelesaian kasus.

Kelompok kerja Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah peraturan khusus mengatur hukum acara peradilan anak yang menghadirkan konsep diversi dan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara anak.

Perlindungan secara khusus harus diberikan terhadap anak termasuk juga terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.

Bullying merupakan aktivitas yang dilakukan dengan tujuan memojokan orang lain dengan nada merendahkan, mengolok-olok hingga kekerasan fisik maupun verbal.

Merupakan suatu hal yang perlu mendapat kajian dalam hukum pidana implementasi restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana bullying yang dilakukan oleh anak.

Maraknya kasus tindak pidana bullying yang dilakukan oleh anak yang kasusnya kurang mendapat perhatian dan menimbulkan ketidakadilan bagi korban bullying.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak lebih lazim disebut sebagai kenakalan anak, istilah ini diambil dari istilah asing yaitu juvenile delinquency.

Juvenile berarti young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency berarti doing wrong, yang diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.

Aksi-aksi negatif serupa itu adalah sebagai wujud dari bullying, sebuah prilaku yang telah lama berlangsung dan mengancam segala aspek kehidupan sebagian besar anak- anak di sekitar kita seperti di sekolah, di rumah, di lingkungannya.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan peristiwa-peristiwa bullying para pelajar yang saat ini sedang maraknya terjadi.

Bullying sudah tidak lagi menjadi pemberitaan yang asing lagi di telinga kita. Peristiwa demi peristiwa bullying masih terus terjadi di wilayah sekolah.

Kasus kekerasan ini telah lama terjadi di Indonesia, namun luput dari perhatian. Pengertian Bullying menurut Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) adalah sebagai suatu bentuk kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan sesorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan tidak berdaya.

Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai dengan anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menentukan, bahwa setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai dengan anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menentukan, bahwa setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pengimplementasian restorative justice tidak berarti bahwa semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang tua, karena Hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain:
1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first offender);
2. Anak tersebut masih sekolah;
3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggu/ merugikan kepentingan umum.

Sistem peradilan anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya sebuah sistem tetaplah kembali kepada kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan keputusan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip the best interest of the children.

Karakteristik pelaksanaan restorative justice:
1. Pelaksanaan restorative justice ditujukan untuk membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang dimbulkan oleh kesalahannya;

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kemampuan dan kualitasnya dalam bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, disamping itu untuk mengatasi rasa bersalah secara konstruktif;

3. Penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan melibatkan korban atau para korban, orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan keluarga korban, sekolah dan teman sebaya;

4. Penyelesaian dengan konsep restorative justice ditujukan untuk menciptakan forum untuk bekerjasama menyelesaikan masalah yang terjadi;

5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial.

Kelebihan dari Restorative Justice yaitu bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekankan daripada mengisolasinya secara tertutup.

Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak, karena itu penjatuhan sanksi terhadap anak haruslah berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Artinya penjatuhan sanksi tersebut harus dapat menjamin dan melindungi keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

Penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana harus mempertimbangkan berbagai hal yang signifikan seperti motif anak melakukan tindak pidana yang pasti berbeda dengan orang dewasa maupun masa depan anak yang masih panjang.

Menurut Penulis, upaya penyelesaian tindak pidana bullying melalui restorative justice, dimana dalam Hukum Pidana terdapat 2 (dua) macam upaya penyelesaian tindak pidana, yaitu: (1)upaya penal yaitu melalui jalur peradilan, dan (2)upaya non-penal yaitu melalui jalur di luar peradilan.

Serta kelebihan dan kekurangan restorative justice, dimana kelebihan restorative justice mempermudah penyelesaian perkara pidana anak, serta mendamaikan diantara pihak tanpa ada rasa dendam dan saling bermusuhan.

Sedangkan kelemahan restorative justice ialah menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *