Karya : Ramsyah
Swakarya.Com. Dari zaman kakek-nenek kita dulu, orang-orang Bangka Belitung sudah menanam lada dan menjadi lada putih terbaik hingga diakui dunia. Sampai zaman sekarang, lada putih Bangka Belitung tetap eksis sebagai lada kualitas nomor satu. Dengan label seperti itu, ternyata berbanding terbalik dilapangkan. Harga lada justru jatuh, membuat petani lada lumpuh.
Sudah kurang lebih dua tahun harga lada tetap jatuh bertahan pada harga rata-rata 50 ribu per kilonya. Dengan harga seperti itu, kehidupan petani lada hanya pas-pasan, bahkan rugi karena perawatan lebih mahal daripada produksi.
Usut punya usut, pemerintah menyayangkan rendahnya kualitas lada yang kini dihasilkan. Segala proses dari hulu ke hilir dianggap tidak berkualitas sehingga menurunkan harga lada. Adanya pencampuran lada hitam dan putih turut menjadi alasan.
Menilik lebih jauh persoalan ini, jikalau memang kualitas lada Bangka Belitung rendah, mengapa lada putih masih tetap primadona dipasar internasional. Lada Bangka Belitung tetap dilebeli kualitas nomor satu dunia. Bukankah ini agak berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Jika benar seperti itu, dan memang benar seperti itu, bukankah itu pertanyaan besar bagi kita?
Upaya dilakukan pemerintah untuk mengakali jatuhnya harga lada. Bibit unggul diupayakan untuk petani dan teknis penanaman lada yang baik mesti disosialisasikan secara intens. Sayangnya, kecil sekali realisasi ide tersebut di masyarakat.
Ditengah carut marut ekonomi lada Bangka Belitung, pemerintah membuat program menanam 1.000 lada sepanjang jalan ke Bandara Depati Amir. Disayangkan lagi, itu bukan solusi untuk masyarakat . Kini justru program tersebut berhasil menghabiskan APBD Bangka Belitung dan tidak berefek pada masalah lada.
Solusi selanjutnya, pemerintah membuat program resi gudang untuk lada masyarakat. Tiga kali disayangkan, program tersebut tidak disambut baik oleh masyarakat. Kecenderungan masyarakat Bangka Belitung adalah selalu mau menerima hasil secara utuh. Progam ini tidak membuat harga lada meningkat, tapi justru nampak menggantung harga sesuai harga pasar.
Berkaca dari kebijakan yang telah dibuat untuk menahan harga komoditi karet dan sawit. APBD dianggarkan untuk menopang komoditi karet dan sawit. Sudah seharusnya hal yang sama dilakukan juga untuk lada.
Mengingat lada bukan sekadar komoditi lokal tetapi sudah menjadi komoditas internasional. Oleh karena besarnya harga lada bila harus ditopang oleh APBD maka sudah seharusnya komoditas internasional ditopang oleh negara (APBN). Oleh karena itu perlu adanya peraturan dari pemerintah pusat (DPR RI) untuk menopang harga lada. Wakil Rakyat Bangka Belitung (Anggota DPR RI dari Bangka Belitung) sudah seharusnya menyuarakan perihnya harga dan merintihnya petani lada ke Senayan. Kebijakan untuk batas minimum harga lada yang pro kepada masyarakat Bangka Belitung sudah seharusnya sesegera mungkin diketok palu.
Wakil rakyat sudah seharusnya menjadi perpanjangan lidah rakyat. Telinga wakil rakyat sudah seharusnya untuk mendengarkan penderitaan rakyat. Mata wakil rakyat sudah seharusnya melihat kesulitan rakyat. Mulut wakil rakyat sudah seharusnya berteriak dengan lantang untuk kepentingan rakyat.