Fenomena Revenge Porn Berbasis Internet dalam Perspektif Feminsime

Penulis : Arini, Azzahra Feria Afifah, dan Kiki Fitriani (Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bangka Belitung)

MELALUI jaringan internet seperti media sosial, masyarakat dapat mengakses dan menyebarkan informasi dengan mudah, serta dapat mengetahui perkembangan terkini yang ada di dunia, baik berita politik, gaya hidup, sosial, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya.

Dalam hal ini, bebasnya akses internet di masyarakat virtual menjadikan beberapa pihak menyalahgunakan fungsi dari penggunaan internet, misalnya penggunaan media sosial yang seharusnya dijadikan sebagai media dalam membangun interaksi dan relasi dengan orang lain, malah dijadikan sebagai tempat kejahatan atau kekerasan berbasis online yang sering dikenal dengan istilah cyber crime.

Masyarakat dapat melakukan akses secara illegal dalam suatu sistem komputer, salah satu jenis cyber crime yang dimaksud adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dalam hal ini adalah Revenge Porn (pornografi untuk balas dendam).

Berdasarkan data KOMNAS Perempuan, pada tahun 2018 terkait kasus yang dilaporkan mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO) meningkat sebanyak 67%, dengan 97 aduan perkara, dan 65 aduan perkara di tahun 2017.

Sedangkan di tahun 2020, kasus kekerasan berbasis gender online meningkat sebanyak 300% berdasarkan hasil laporan dari 97 kasus menjadi 281 kasus (Komnas Perempuan go.id, 2020).

Istilah revenge porn digunakan untuk mendeskripsikan suara, gambar, dan video intim dimana awalnya dibuat dalam konteks hubungan pribadi, kemudian dipublikasikan kepada publik melalui internet tanpa adanya persetujuan dari individu yang ditampilkan dalam konten.

Berdasarkan survei Cyberbullying Research Center (2019) terdapat 23% responden pernah menjadi korban revenge porn. Hal ini terjadi karena pelecehan siber berorientasi pada gender yang dapat berakibat fatal dalam internet.

Revenge porn umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti pacar, mantan kekasih, atau pihak ketiga yang berusaha menjatuhkan citra korban dalam konten tersebut .

Motif pelaku mengunggah konten yakni hanya untuk menyakiti, mempermalukan, dan melecehkan salah satu pihak khususnya korban ketika suatu hubungan akan mulai berakhir dengan buruk.

Revenge porn bisa terjadi disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi budaya patriarki, buruknya penegakan hukum dan kesadaran terhadap hukum, serta kemudahan media sosial dan teknologi.

Sedangkan, faktor internal yaitu faktor-faktor atau pengaruh yang meliputi dorongan akan hasrat seksual, kebutuhan uang, rasa ingin balas dendam atau perasaan cemburu terhadap pasangan.

Mayoritas korban dari revenge porn ini adalah perempuan yang disebabkan karena adanya relasi kekuasaan patriarki dalam suatu hubungan.

Dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Nairobi tahun 1985 dijelaskan, bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap tindakan yang berakibat pada penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau pemerasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi (Sughihastuti, 2007).

Masyarakat patriarki mendiskriminasi gender perempuan sebagai makhluk yang lemah sehingga dapat dijadikan alat dalam melakukan pelecehan dan kekerasan pada perempuan melalui internet.

Perempuan hingga saat ini masih sering dijadikan ‘objek’ oleh para laki-laki yang diibaratkan sebuah benda.

Selain itu, perempuan mudah luluh dengan kata-kata manis para laki-laki yang mana pihak perempuan biasanya dijanjikan banyak hal atau diiming-imingi sesuatu, serta ungkapan persuasif namun memaksa perempuan untuk mengikuti keinginan atau hasrat pasangannya.

Dalam kasus revenge porn ini, seperti kata “kalo kamu beneran sayang sama aku, mana buktinya? harusnya kamu mau dong vcs sama aku”. Dari percakapan ini dapat menyebabkan terjadinya Revenge Porn.

Dalam mengamati ketidakadilan dalam kasus Revenge Porn, dapat menggunakan kajian mendalam terhadap teori feminsime.

Gerakan feminisme diawali pada kesadaran perempuan mengenai ketidakadilan hak dan kewajiban antara perempuan dengan laki-laki.

Perempuan menyadari bahwa terdapat keadaan dimana perempuan ditindas dan dieksploitasi sehingga memunculkan pemikiran bahwa keadaan ini harus diakhiri. Selama melakukan pergerakannya, feminisme dibagi menjadi hingga tiga gelombang.

Dalam kasus revenge porn, perspektif feminisme akan menjelaskan mengapa korban yang kebanyakannya adalah perempuan menjadi satu-satunya yang disalahkan.

Selain itu, pemikiran yang memandang perempuan itu lemah akan dijelaskan juga dalam perspektif feminisme.

Teori feminisme menjelaskan bagaimana perempuan memperjuangkan hak-hak dan kewajibannya. Pada dasarnya, teori feminisme ini adalah suatu ideologi yang memberdayakan perempuan, dimana perempuan bisa dijadikan subjek dalam segala bidang dengan menggunakan pengalamannya sebagai perempuan yang lepas dari mainstream kultur.

Oleh karena itu, mereka ingin menghapuskan budaya patriarki yang selama ini dibangun oleh masyarakat.

Melalui gerakan ini, para perempuan hanya ingin mewujudkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan yakni kesetaraan martabat dan kebebasan mengontrol raga serta kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah.

Kasus revenge porn yang saat ini sudah banyak terjadi di masyarakat terutama selama perkembangan teknologi, menjadi saksi bahwa perempuan masih menjadi objek atau benda yang tak berdaya yang dengan mudah dapat ditindas oleh laki-laki.

Lalu mengapa hanya perempuan yang disalahkan? Padahal perempuan lah yang banyak menjadi korban dalam kasus ini. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut.

Pertama, budaya patriarki, dimana di bangun oleh masyarakat yang menetapkan kekuasaan berada di pihak laki-laki, yang akhirnya menjadi sebuah budaya di masyarakat dan membentuk atau melahirkan suatu norma dimana mencakup hierarki dominasi dan subordinasi terhadap perempuan yang mengakibatkan adanya bias gender.

Kedua, perempuan dianggap lemah. Hal ini terjadi karena penilaian masyarakat yang melihat ciri-ciri fisik dan psikologis perempuan, serta pemberlakuan sterotype dimana adanya pelabelan terhadap perempuan yang bersifat merugikan dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan (Narwoko & Suyanto).

Melalui gerakan feminsime, sesungguhnya dapat menjadikan pemerintah dan masyarakat luas sadar akan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus revenge porn.

Pihak perempuan sebagai korban malah dijadikan sebagai tersangka sampai dianggap perempuan yang tidak benar dalam hal ini “wanita murahan” karena dianggap membuat konten pornografi.

Dalam hal ini, seharusnya pemangku kepentingan harus adil dalam merancang dan membentuk sistem kebijakan hukum yang benar-benar memihak korban, terkhusus para perempuan.

Selama ini diketahui bahwa sistem hukum yang ada dianggap kurang memihak, karena tidak ada perspektif keadilan gender dalam pembuatan kebijakan undang-undang, baik itu UU ITE, UU Pornografi, ataupun pasal dalam KUHP tentang pencemaran nama baik.

Terkait kasus revenge porn, negara sebagai rumah masyarakat seharusnya berkewajiban dan bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan kepada para korban dan sanksi bagi pelaku.

Hal tersebut dilakukan agar korban tidak perlu cemas atas keselamatan dirinya. Karena bagaimanapun juga korban lebih cenderung menanggung akibat sosial psikologis dari kasus revenge porn yang dikhawatirkan menganggu kesehatan mental perempuan.

Korban cenderung merasakan serangan kecemasan dan depresi yang disebabkan dari rasa malu dan tekanan yang begitu besar dengan keadaan sekitar apalagi pelaku menggunakan internet sebagai media penyebaran konten sehingga jejak digital konten tersebut sulit dihapus, dan dapat diakses serta diperbanyak oleh siapa saja, sehingga mendorong korban untuk melakukan hal-hal yang akan merugikannya sendiri seperti percobaan bunuh diri dan hal mengerikan lainnya.

Untuk itu, pembentukan kebijakan tegas dari pemerintah harus dilakukan, dengan diiringi perlindungan bagi korban, seperti mendapatkan ganti rugi, restitusi, kompensasi, bantuan medis, konseling, bantuan hukum, pemberian informasi kepada korban beserta keluarga melalui proses penyelidikan dan pemeriksaaan tindak pidana.

Selain penerapan kebijakan pemerintah, dalam menghindari dan mengurangi kasus revenge porn, masyarakat perlu berhati-hati dalam pergaulan terutama bagi pemuda yang terikat oleh hubungan pacaran dan belum sah.

Jangan terlau mudah percaya pada kalimat atau rayuan gombal dari pasangan, serta tidak mudah mengirim foto-foto pribadi diri sendiri.

Selama hubungan tersebut masih belum sah menurut agama dan negara, sebaiknya untuk menjaga privasi diri dengan sebaik-baiknya.

Masyarakat juga perlu meningkatan pemahaman teknologi, internet, media sosial sebagai media yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah serta melaporkan kekerasan perempuan apabila hal yang tidak diinginkan terjadi, dalam kasus revenge porn.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *