Efektivitas Pelaksanaan Restorative Justice Dalam Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum

Penulis: Agnes Vebriani. SH. Penata Muda /III.a
Swakarya.Com- Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) selalu terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2021 saja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan pengaduan 5.953 kasus pelanggaran hak anak. Dimana sebanyak 2.971 kasus merupakan pelanggaran pemenuhan hak anak. Sedangkan, 2.982 kasus terkait pelanggaran perlindungan khusus anak. Dimana sisanya sebanyak 126 merupakan kasus anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku.

Permasalahan ABH ini tidak terlepas dari seiring dengan kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi dan budaya, membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar nilai-nilai dan norma yang ada dimasyarakat terutama norma hukum, seseorang yang terkategori masih anak-anak juga bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun tidak sadar.


Pelanggaran terhadap norma hukum yang membuat seorang anak harus berhadapan dengan sistem peradilan, menimbulkan tanggapan yang mengatakan bahwa adanya penegak hukum yang belum memberikan perhatian secara khusus terhadap tersangka anak, dan hal tersebut menunjukan bahwa hukum yang ada di Indonesia masih belum cukup berpihak pada anak-anak, sedangkan sebagai bagian dari subjek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlindungan dikarenakan anak adalah titipan Tuhan dan generasi penerus keluarga, marga, suku, bangsa dan Negara serta generasi penerus umat manusia.

Perlindungan anak tersebut adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.


Meskipun sudah ada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap ABH yang diperlakukan tahun 2012, namun tampaknya belum memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari data ABH yang masih terus terjadi. Ini tentunya masih belum terlaksananya secara masif amanat dari UU SPPA yang menghendaki adanya keadilan Restorative Justice.


Keadilan Restoratif sendiri menurut UU SPPA adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.

Adapun ciri-ciri Restoratif justice antara lain:
Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain dan dipandang sebagai konflik.


Fokus perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban untuk masa mendatang.


Sifat normative dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.


Restitusi sebagai sarana para pihak, rekonsiliasi dan restorasi merupakan tujuan utama.


Keadilan dirumuskan sebagai hubungan antar hak, dinilai atas dasar hasil.


Fokus perhatian terarah pada perbaikan luka social akibat kejahatan.


Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif.


Peran korban dan pelaku diakui, baik dalam penentuan masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Perlu didorong untuk bertanggungjawab.


Pertanggungjawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman atas perbuatannya dan diarahkan untuk ikut memutuskan yang terbaik.


Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, social dan ekonomis.
Stigma dapat dihapus melalui restoratif.
Di zaman sekarang sangat mudah untuk melakukan sesuatu dan sangat mudah pula untuk melakukan kesalahan.

Terlihat dari kondisi Indonesia saat ini menurut Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) per Juni 2020 ada sekitar 229.313 Narapidana dan Tahanan, padahal kapasitas yang tersedia 132.843, itu berarti over kapasitas sekitar 73%. Pemberian pidana seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Over Kapasitas yang terjadi saat ini malah semakin tinggi di berbagai UPT Rutan dan Lapas.


Metode yang diberikan saat ini seakan-akan selalu tidak efektif, akibatnya masyarakat yang sudah melakukan tindak pidana tidak merasa jera, meskipun Pemasyarakatan saat ini bukan memberikan efek jera, tetapi mengembalikan mereka agar bisa kembali ke masyarakat dengan baik.

Sangat perlu diberikan pembinaan dan bimbingan agar mereka mengetahui dimana sisi baik dan buruk, baru setelah itu ibaratnya praktek secara langsung, di kehidupan nyata, yaitu membaur dengan masyarakat luas. Oleh karena itu di era sekarang ini sangat cocok jika dilakukan Restorative Justice terlebih khusus pada kasus ABH.


Dalam rangka tercapainya tujuan dari pelaksanaan Restorative Justice, maka diperlukan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebagai ujung tombak di kemasyarakatan, sesuai arahan Menteri Hukum dan HAM Bapak Yasonna Laoly. Artinya, harus adanya pemahaman hal ini karena seiring berjalannya waktu aturan juga flexibel, mengikuti arus perkembangannya, karena jika masih terpaku pada aturan konvensional akan menimbulkan beberapa efek yang kurang baik bagi pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.


Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan Restorative Justice sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yakni dengan melakukan upaya diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam penanganan yang awal dan cepat terhadap perilaku menyimpang. Manfaat pelaksanaan program diversi sebagai berikut :
Membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas mungkin.


Memperbaiki luka-luka karena kejadian tersebut, kepada keluarga, korban dan masyarakat.


Kerjasama dengan pihak orang tua, pengasuh dan diberi nasihat hidup sehari-hari.


Melengkapi dan membangkitkan anak-anak untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab.


Memberikan tanggung jawab anak atas perbuatannya dan memberikan pelajaran tentang kesempatan mengamati akibat-akibat dan efek kasus tersebut.


Memberikan pilihan bagi pelaku untuk berkesempatan menjaga agar tetap bersih dari catatan kejahatan.


Mengurangi beban pada peradilan dan lembaga penjara.


Pelaksanaan Restorative Justice maupun upaya diversi ini dalam dilakukan melalui peran strategis Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dengan menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum.

Petugas PK adalah orang yang besar yang dilahirkan tuhan untuk meringankan beban orang-orang yang berada di dalam Lapas, maka diperlukan kesiapan petugas-petugas agar dapat menjalankan tugas tersebut dengan baik.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *