- Kasus Eropa Timur, Mesir dan Dunia Ketiga
*Esai ini mengedit seperlunya tulisan asli di Facebook Esoterika-Islamika, yang diasuh AE Priyono*
Swakarya.Com. Musuh terbesar sistem demokrasi adalah absennya kaum demokrat. Halangan paling sulit tumbuhnya kebebasan adalah tak hadirnya pejuang kebebasan.
Untuk negara yang demokrasinya baru tumbuh, tak hanya masyarakatnya rentan akan isu primordialisme. Elit politiknya sendiri juga rentan. Bahkan tokoh dalam pemerintahan dapat pula menjadi sponsor politik identitas yang sensitif.
Lihat India, Eropa Timur, Mesir.
India sejak tahun 1990an bergelora bangkitnya sentimen politik Hindu. Tak hanya masyarakat Hindu mendukungnya. Tak hanya elit politik menggunakannya. Tapi tokoh pemerintahan yang berkuasa juga mengeksekusinya.
Di India, pergantian nama Bombay menjadi Mumbay pada 1996 merupakan upaya Hinduisasi warisan sejarah India yang pluralis.
Gerakan Hinduisasi Bombay dipelopori oleh partai Hindu yang bernama Shiv Sena. Ia mengambil nama tokoh Hindu abad ke-17, Shivaji. Tokoh ini dikenal pada zamannya keras beroposisi terhadap kekaisaran Muslim Mughal di New Delhi.
Di masa kini partai hindu itu dibangun dengan passion yang sama. Ia bertekad membersihkan negara Maharastra. Ini nama negara bagian di mana Bombay menjadi ibukota. Akan mereka lakukan pemurnian India terhadap seluruh pengaruh “asing.” Sasaran utamanya kaum Muslim.
Sentimen pembersihan pengaruh Muslim itu sendiri sangat aneh. kaum Muslim sudah datang ke wilayah India sejak awal abad ke-12. Rupanya 800 tahun tinggal di India belum pernah cukup bagi kaum Muslim untuk dianggap pribumi.
Penggantian Bombay menjadi Mumbay dilanjutkan dengan perubahan aneka nama jalan. Nama bangunan, tonggak-tonggak penanda tempat, juga diubah. Mumbay sepenuhnya ditata dengan selera dan citarasa Hindu.
Pemberian nama baru untuk kota bukan sekadar tindakan simbolis. Perubahan nama Bombay menjadi Mumbay itu mewakili terjadinya pergeseran sikap terhadap keberagaman. Mereka yang minoritas, yang identitas kulturnya beda, sang “liyan” ditegaskan sebagai “bukan kami.”
Yang bukan kami tidak diberikan perlindungan dan kebebasan yang sama. Pengaruh “yang bukan kami,” dikurangi. Jika perlu, mereka diperangi.
Mengerasnya pemilahan masyarakat itu tak hanya wacana intelektual. Ia dapat berubah menjadi gelegak berdarah. Itu pernah terjadi pada 1947, ketika Pakistan berdiri. Pembunuhan dan kekerasan atas nama politik identitas terjadi.
Di Bombay, hal yang sama berulang. Puluhan ribu kaum Muslim dibunuh. Ratusan ribu lainnya diusir ke pedalaman.
Korban Hinduisasi bukan hanya Muslim, tapi juga minoritas Kristen. Ini terjadi pada tahun 1998-1999. Banyak orang Kristen dibunuh di berbagai wilayah negara bagian.
Selain pembunuhan dan pengusiran, terjadi juga pembakaran kitab suci injil. Tak kurang penjarahan gereja. Bahkan terjadi pemerkosaan para biarawati. Pemerintah India selalu menutup rapat kasus ini.
Dimanakah kaum demokrat saat itu? Dimanakah bersembunyinya pejuang kebebasan kala itu?
Konflik etnis dan agama memang sudah berlangsung setua sejarah. Para diktator senantiasa terlibat mengobarkannya.
Tapi di era ini bukan hanya kekuasaan diktator yang memanfaatkan konflik etnis. Demokrasi yang baru tumbuh juga rentan. Kebebasan dalam demokrasi itu sering pula dimanipulasi. Ia disalah gunakan untuk pencetusan, pemeliharaan, dan pelestarian konflik-konflik etnis/agama.
Alasannya sederhana. Begitu masyarakat terbuka, terbuka pula persaingan para politisi berebut kuasa. Mereka menarik simpati publik dengan menggunakan bahasa yang paling langsung dan paling efektif untuk solidaritas kelompok.
Itulah bahasa politik identitas. Itulah bahasa etnis. Itulah bahasa agama. Permusuhan antar kelompok identitas menjadi emosional dan mendalam. Tak hanya ia meletup menjadi konflik wacana etnis dan agama. Kadangkala bahkan, ia menjadi perang terbuka.
Tanpa dibangunnya toleransi atas keberagaman; tanpa pemerintah kuat berdiri di tengah menjaga hak asasi warga negara; tanpa diterapkannya dengan tegas perlindungan atas kebebasan identitas; masyarakat yang beragam dimana saja terdapat potensi konflik dan perang.
Adalah Immanuel Kant yang mengatakan demokrasi sesungguhnya bersifat tiranik. Kebebasan satu pihak bisa digunakan untuk menghancurkan kebebasan pihak lain.
Minoritas acapkali menjadi korban. Dan minoritas itu bisa siapa saja tergantung situasi. Ia bisa Muslim, Kristen, Hindu, atau paham kepercayaan lain. Ia bisa etnik kulit hitam, Asia, Cina, Arab. Ia bisa kaum LGBT.
Meskipun demikian, Immanuel Kant juga mengatakan. Di antara bentuk rezim lainnya , demokrasi lah yang paling bersifat pasifis (penuh damai).
Itu terjadi jika pemerintah tegas berada di tengah dengan segala kewibawaan dan alat kekerasan yang ia punya. Dengan segala daya pemerintah melindungi agar kebebasan warga negara dilindungi.
Tapi di negara yang demokrasinya baru tumbuh; di negara yang politik identitasnya membara, pemerintah terlalu lemah. Tanpa hadirnya pejuang demokrasi dan kebebasan dalam skala signifikan, suasana larut dalam konflik primordial itu.
Pemilu demokratis di berbagai negara bekas Uni Soviet adalah contoh berikutnya. Transisi menuju demokrasi tak jarang menyulut perang etnis dan agama.
Di Yugoslavia, pemilu demokratis malah ikut menciptakan perpecahan negara. Muncul gerakan nasionalis separatis.
Kelompok dari mayoritas etnik dan agama keras memainkan politik identitas. Sebalikya, berbagai kelompok minoritas konsolidasi melindungi diri. Situasi ini mudah sekali meletup mengakibatkan kekerasan baru. Satu kekerasan dibalas dengan kekerasan lain. Ini bukan hanya dialami di Bosnia, tetapi juga di Georgia, dan Azerbaijan.
Pemilu-pemilu di Afrika lebih dramatis lagi. Ia bahkan dapat mengakibatkan runtuhnya demokrasi.
Kompetisi politik antara sesama peserta pemilu bisa mengakibatkan perpecahan yang berlangsung lama. Perpecahan itu bahkan berlanjut setelah pemilunya sendiri usai.
Kultur menerima kekalahan dalam pemilu belum kuat dihayati. Apalagi jika mereka mengembangkan imajinasi dikalahkan dengan curang. Gerakan oposisi, pemberontakan bersenjata, dan kudeta, terjadi silih berganti di Afrika. Ini bahkan dapat berlanjut menjadi perang suku.
Riset politik di Afrika menyimpulkan. Transisi menuju demokrasi tidak cocok di lingkungan masyarakat yang sentimen etnisnya terlalu kuat. Kesimpulan ini memang terkesan sahih.
Lain lagi kasus Mesir.
“Jika demokrasi diberikan kepada rakyat Mesir, kaum fundamentalis akan merebut kekuasaan.” Itulah ucapan terkenal dari Hosni Mubarak.
Seorang diplomat senior Amerika mengunjungi Presiden Mesir, Hosni Mubarak di tempat peristirahatannya di Heliopolis. Itu lokasi di dekat Cairo. Keduanya membicarakan masalah bilateral Mesir-AS. Juga didiskusikan masalah kawasan, dan proses perdamaian Israel Palestina.
Pada suatu momen perbincangan itu, sang diplomat melontarkan pertanyaan tentang kondisi kebebasan sipil rakyat Mesir. Ia meminta perhatian agar Presiden memperlunak kebijakan represifnya.
Mubarak diminta membebaskan beberapa tahanan politik. Ia juga dianjurkan membuka kebebasan pers. Tak lupa jangan pula memenjarakan para cendekiawan.
Mubarak berdiri dan menyahut ketus: “Jika saya melakukan apa yang Anda minta, fundamentalisme Islam akan mencaplok Mesir. Apakah itu yang Anda inginkan?”
Hijrah menuju demokrasi memang riskan diwarnai politik identitas. Bahkan negara yang sudah lama bertransisi menuju demokrasi tetap potensial kembali bergelora politik identitas. Kekerasan yang disulut politik identitas dapat sangat berdarah.
Tapi apakah artinya, transisi menuju demokrasi jangan diambil? Apakah artinya negara yang belum penuh mempraktekkan kebebasan harus tetap saja dalam bentuknya yang sekarang?
Biarkan data yang bicara. Riset dilakukan ilmuwan politik Jack Snyder dan Edward Mansfield menyebutkan. Selama 200 tahun dunia modern, potensi konflik internal di dalam rezim demokrasi jauh lebih rendah.
Rezim yang tidak demokratis, atau rezim demokrasi yang kebebasannya rendah justru lebih rentan mengalami konflk internal.
Kasus di India, Mesir dan dunia ketiga lain memberikan pesan. Untuk membuat transisi demokrasi lebih mulus; untuk merawat kebebasan yang lebih kokoh, tak hanya dibutuhkan kesejahteraan ekonomi yang cukup. Tak hanya dibutuhkan kelembagaan politik yang saling mengontrol.
Tapi demokrasi juga membutuhkan kaum demokrat. Kebebasan juga membutuhkan pejuang kebebasan. Semakin banjak jumlah mereka, semakin stabil sebuah negara. Semakin strategis posisi mereka, semakin mereka mampu berbuat.
(Bersambung)