*KENDALA DEMOKRASI DI DUNIA MUSLIM:
KASUS INDONESIA
Luthfi Assyaukanie, Ph.D
Swakarya.Com. Buku Denny JA, Jalan Demokrasi dan Kebebasan Untuk Dunia Muslim (2020), mengulas tentang kondisi-kondisi demokrasi di negara-negara muslim di dunia. Dengan anak judul “Indonesia Sebagai Model?”
Denny ingin mengajak pembaca melihat Indonesia sebagai salah satu “contoh berhasil” dalam menjalankan demokrasi. Meskipun dia menggunakan tanda tanya dalam anak judul itu, Denny ingin menekankan pentingnya Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, yang bisa dijadikan model.
Harapan Denny tentu bukan tanpa alasan. Sudah banyak tokoh politik dan sarjana dunia yang melihat demokrasi Indonesia sebagai harapan bagi dunia muslim. Hillary Clinton, misalnya, ketika berkunjung ke Indonesia, mengaku takjub dan memuji keberhasilan demokrasi Indonesia (The New York Times, 18/2/2009).
Larry Diamond, ahli demokrasi asal Amerika, menganggap demokrasi Indonesia sebagai “negara demokrasi liberal” yang relatif stabil. (Warburton, 2019: 256).
Sebelum tahun 1990an, negara-negara muslim selalu dikesampingkan dalam perbincangan tentang demokrasi. Para ilmuwan politik mengenalkan istilah “Islamic Exceptionalism,” yang maksudnya, Islam harus dikecualikan dalam setiap pembahasan tentang demokrasi; tidak ada negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang sukses menjalankan demokrasi. Istilah ini bukan tanpa alasan.
Pada 1992, hanya ada satu negara muslim yang menjalankan demokrasi, yakni Mali, sebuah negara kecil di Afrika. Tapi, memasuki akhir dekade 1990an, tesis “pengecualian Islam” mulai goyah.
Pada 1998, Indonesia, negara muslim terbesar di dunia, mengalami transisi politik dan mulai menjalani proses demokratisasi.
Lalu, orang mulai bicara tentang “pengecualian Arab” bukan lagi Islam. Namun, sejak terjadinya Musim Semi Arab pada akhir 2010, tesis pengecualian Arab pun dikesampingkan.
Beberapa negara Arab mulai menjalani transisi demokrasi. Salah satu yang berhasil adalah Tunisia, negara yang memulai gelombang musim semi itu.
Pada 2019, Freedom House, lembaga yang secara rutin mengeluarkan laporan kebebasan di dunia, mencatat: hanya ada dua negara muslim yang berstatus “Free” (bebas penuh), yakni Senegal dan Tunisia. Indonesia sendiri berada di posisi kelima, setelah Albania dan Sierra Leone.
Sejak 2014, status Indonesia turun menjadi “Partly Free” (separuh bebas), setelah menikmati status “Free” selama delapan tahun berturut-turut, yakni sejak 2006 hingga 20013.
Salah satu sebab turunnya peringkat Indonesia adalah hal-hal yang terkait dengan kebebasan sipil. Freedom House secara spesifik menunjuk UU Ormas (Organisasi Masyarakat) sebagai salah satu penyebab turunnya kualitas demokrasi Indonesia.
UU ini berpotensi mengekang kebebasan warga negara, khususnya kebebasan berserikat, dan memberikan ruang kepada penguasa untuk bersikap otoriter.
Sebab lainnya adalah banyaknya peristiwa-peristiwa intoleransi dan diskriminasi yang menggerogoti kebebasan di Indonesia.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami “krisis” demokrasi.
Sejak 1,5 dekade terakhir, para ilmuwan sosial di berbagai negara mendiskusikan fenomena redupnya demokrasi (democratic decline). Yang membuat mereka cemas, krisis demokrasi itu terjadi justru di negara-negara yang selama ini dianggap sebagai negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia, dan Selandia Baru.
Di kalangan sarjana sosial, ada semacam konsensus bahwa negara-negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi tidak akan kembali lagi menjadi negara non-demokrasi. Dengan kata lain, ada satu titik dalam proses demokratisasi di mana negara-negara yang sudah memenuhi semua syarat demokrasi (terkonsolidasi), akan terus mampu menjaga demokrasinya.
Tapi, fenomena global redupnya demokrasi membuka mata para ahli dan pengamat demokrasi, seperti David Runciman (2018), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), bahwa demokrasi bisa luruh dan ambruk, termasuk di negara-negara yang sudah terkonsolidasi.
Indonesia adalah salah satu contoh negara yang sudah–atau hampir–mengalami konsolidasi demokrasi kemudian mengalami kemunduran.
Soal apakah demokrasi Indonesia sudah terkonsolidasi menjadi perdebatan banyak orang. Tapi, sebagian besar pemerhati Indonesia, seperti Bill Liddle dan Saiful Mujani, meyakini bahwa Indonesia sudah lepas dari era transisi. Dalam tulisannya, “Indonesian Democracy from Transition to Consolidation”, Liddle dan Mujani menegaskan bahwa transisi demokrasi di Indonesia sudah berakhir pada 2004, ketika pemilihan umum presiden diselenggarakan secara langsung dan sebagian besar institusi-institusi politik sudah berjalan dengan baik (Liddle dan Mujani, 2013).
Tapi, bagi sebagian Indonesianis seperti Dirk Tomsa (2010) dan Marcus Mietzner (2012), yang terjadi dengan demokrasi Indonesia setelah 2004 bukanlah konsolidasi, tapi stagnasi. Stagnasi adalah situasi macetnya sebuah pergerakan.
Artinya, setelah 2004, demokrasi Indonesia tidak bergerak. Yang justru terjadi adalah sebaliknya, demokrasi Indonesia mengalami regresi, penurunan (Kurlantzick, 2014; Power, 2018; Schäfer, 2019).
Para sarjana itu berusaha mencari sebab dan menjelaskan mengapa demokrasi Indonesia mengalami stagnasi dan kemudian kemunduran?
Tulisan ini akan menjelaskan sebab-sebab itu dan mengemukakan pandangan saya yang agak berbeda dari sebagian besar para Indonesianis dalam melihat sebab-sebab kemunduran demokrasi di Indonesia.
Kritik saya terhadap para Indonesianis itu saya tujukan juga kepada Denny JA dalam bukunya, yang secara optimis memandang demokrasi di dunia Islam.
Inti dari kritik saya adalah bahwa demokrasi di dunia Islam memiliki keterbatasan, karena adanya kendala-kendala inheren dalam fondasi negara, baik dalam bentuk konstitusi maupun undang-undang yang dimilikinya.
Karena Denny JA memberikan Indonesia sebagai model, maka saya akan memfokuskan tulisan ini pada kendala-kendala demokrasi di Indonesia.
Variasi Negara Muslim
Namun, sebelum kita mendiskusikan tentang demokrasi Indonesia, izinkan saya menjelaskan apa yang dimaksud dengan negara muslim dan varian-variannya. Denny JA sudah berusaha menjelaskan negara-negara muslim itu, tapi tidak melihat kompleksitas masih-masing negara.
Bagaimanapun, negara muslim tidak homogen. Perbedaan geografi, demografi, dan pengalaman politik membuat negara-negara itu memiliki keunikan-keunikan sendiri.
Patut diingat baik-baik di sini, bahwa kita sedang mendiskusikan “negara muslim,” bukan “negara Islam,” atau negara-negara lainnya. Definisi negara muslim adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim. “Mayoritas” maksudnya lebih dari separuh atau di atas 50 persen.
Ada beberapa negara yang muslimnya terbanyak, tapi tidak cukup menjadi mayoritas jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok agama lain. Guinea-Bissau misalnya, memiliki populasi muslim terbesar, yakni 45%, tapi agama-agama lain jika disatukan, jumlahnya lebih banyak dari populasi muslim.
Hal yang sama terjadi pada Pantai Gading, yang memiliki populasi muslim terbanyak (43%) dibanding agama-agama lain.
Jadi, berapa jumlah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam?
Jika kita pakai angka pesimis, jumlahnya 48 negara, jika kita gunakan angka optimis, jumlahnya 50. Ada dua negara, yakni Bosnia-Herzegovina dan Nigeria, yang jumlah penduduknya berada di ambang batas 50%, tergantung versi sensus yang digunakan.
Demi penyederhanaan, kita anggap saja kedua negara ini memiliki populasi 50 persen lebih.
Tiga negara berada dalam status wilayah sengketa atau konflik, yakni Palestina, Sahara Barat, dan Kosovo. Tapi, secara status quo, mereka adalah negara merdeka, yang memiliki pemerintahan, konstitusi, dan kedaulatan sendiri.
Mempelajari karakter negara-negara muslim secara lebih detil, penting untuk menjawab pertanyaan mengapa terjadi defisit demokrasi di dunia Islam dan mengapa, dari 50 negara, hanya ada dua negara yang memiliki status bebas penuh?
Mengapa sebagian negara muslim memilih bentuk pemerintahan otokrasi dan sebagian lainnya berhenti pada demokrasi elektoral? Studi-studi tentang demokrasi umumnya melakukan pendekatan kawasan terhadap negara-negara yang mereka teliti.
Misalnya, demokrasi di kawasan Asia Tenggara, demokrasi di kawasan Timur Tengah, demokrasi di kawasan Asia Selatan, dan demokrasi di kawasan Amerika Latin.
Dalam kasus negara-negara muslim, pendekatan kawasan saja, agaknya kurang memadai. Harus ada pendekatan lain yang bisa mengidentifikasi langsung mana negara-negara yang berpotensi menjalankan demokrasi dan mana yang tidak.
Demokrasi sangat terkait dengan fondasi legal suatu negara. Tidak mungkin sebuah negara bisa menjalankan demokrasi jika tidak didukung oleh konstitusi yang demokratis. Yang saya maksud dengan “konstitusi demokratis” adalah aturan-aturan dasar dalam sebuah negara yang mendukung nilai-nilai demokrasi.
Tentu saja, konstitusi yang demokratis bukan satu-satunya jaminan sebuah negara bisa sukses menjalankan demokrasi. Tapi, tanpa konstitusi yang demokratis (atau bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi), mustahil demokrasi bisa berjalan dengan baik.
Demokrasi di negara-negara muslim bisa dilihat pertama-tama dari bagaimana konstitusi di masing-masing negara ini menyikapi demokrasi. Konstitusi yang terlalu besar memberikan wewenang pada agama (Islam), bisa menjadi hambatan utama bagi terlaksananya demokrasi.
Sebaliknya, negara-negara yang konstitusinya mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi (seperti sekularisasi), punya potensi yang besar untuk menjadi demokratis.
Pembicaraan tentang demokrasi di negara-negara muslim sebaiknya dimulai dengan melihat bagaimana konstitusi di negara-negara ini menyikapi demokrasi dan bagaimana mereka meletakkan agama (Islam) dalam konstalasi negara.
Salah satu pasal krusial dalam konstitusi adalah penjelasan tentang dasar negara dan bagaimana agama berperan di dalamnya. Negara-negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara dan Syariah sebagai sumber utama hukum nasionalnya akan sangat mungkin memiliki hambatan dalam berdemokrasi.
Sebaliknya, negara yang konstitusinya tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara memiliki peluang untuk mengembangkan demokrasi.
Berdasarkan pendekatan konstitusi ini, kita bisa membagi negara-negara muslim kepada 3 atau 4 kelompok. Kelompok pertama adalah negara-negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menjadikan Syariah sebagai sumber legislasinya. Kita bisa menyebut negara-negara ini sebagai “Negara Islam” (NI).
Kelompok kedua adalah negara-negara yang konstitusinya secara tegas menyebut sekularisasi atau istilah padanannya, yakni pemisahan agama dan negara. Kita bisa sebut negara-negara ini sebagai “Negara Sekular” (NS).
Ketiga, negara-negara yang konstitusinya tidak secara jelas menyebut Islam atau sekularisasi sebagai dasar negara. Kita bisa menaruh mereka ke dalam satu kategori yang kita sebut “Negara Netral Agama.” Kelompok ketiga ini bisa dibagi, sesuai kecenderungannya.
Ada yang lebih condong ke Islam, bisa kita sebut sebagai “Semi Negara Islam” (SNI) dan ada yang condong ke sekularisasi, kita sebut saja “Semi Negara Sekular” (SNS). Mari kita bedah satu-persatu masing-masing kategori ini.
Pertama, negara Islam (NI). Ada 9 negara di dunia yang konstitusinya menyebut Islam sebagai dasar negara dan menjadikan Syariah sebagai sumber utama hukum dan sistem perundangannya. Mereka adalah Pakistan, Iran, Afghanistan, Arab Saudi, Yaman, Oman, Mauritania, Bahrain, dan Maldives.
Penyebutan Islam sebagai dasar negara umumnya ditulis di Pasal 1 atau Pasal 2. Arab Saudi, Oman, dan Yaman, misalnya, menyebut diri sebagai “Negara Islam Arab” (Arab Islamic State), sementara Bahrain menyebut dirinya “Negara Arab Islam” (Islamic Arab State). Maldives menyebut dirinya: “Republik demokratis yang berdasar pada prinsip-prinsip Islam.” Iran, Pakistan, Afghanistan, dan Mauritania menyebut diri mereka sebagai “Republik Islam.”
Kedua, negara sekular (NS). Ada 13 negara yang konstitusinya secara terang menyebutkan diri sebagai negara sekular, yakni Turki, Burkina Faso, Kazakhstan, Mali, Chad, Senegal, Guinea, Azerbaijan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgystan, Gambia, dan Kosovo.
Dua negara lainnya, yakni Uzbekistan dan Niger, tidak menyebutkan kata “sekular” namun menggunakan frase “pemisahan agama dan negara”. Meskipun secara konstitusi sekular, beberapa urusan agama di negara-negara ini diatur oleh pemerintah. Turki, misalnya, masih memiliki Direktorat Agama Islam (Diyanet) yang tugasnya mengurusi pendidikan agama dan penunjukan imam masjid.
Ketiga, negara netral agama. Perinciannya sebagai berikut. Ada 18 negara yang konstitusinya menyebut Islam sebagai agama resmi dan 1 negara, yakni Suriah, tidak menyebutnya sebagai agama resmi tapi mensyaratkan kepala negaranya (presiden) beragama Islam. Kita bisa mengkategorikan mereka sebagai Semi Negara Islam (SNI).
Sebagian besar negara ini menjadikan Syariah sebagai sumber utama hukum dan sistem legislasinya. Ke-18 negara itu adalah: Bangladesh, Mesir, Aljazair, Iraq, Maroko, Malaysia, Tunisia, Somalia, Yordania, Uni Emirat Arab, Libya, Palestina, Kuwait, Qatar, Djibouti, Comoros, Sahrawi atau Sahara Barat, dan Brunei Darussalam.
Suriah di bawah dinasti Asad sebetulnya lebih dekat dengan semangat negara sekular atau paling tidak semi-sekular. Tapi, konstitusinya masuk kategori SNI. Karakter Brunei lebih dekat dengan Negara Islam, tapi konstitusinya tidak menyebutkan diri sebagai negara Islam.
Selanjutnya, ada 7 negara yang bisa kita masukkan dalam kelompok Semi Negara Sekular (SNS). Mereka adalah Indonesia, Nigeria, Sudan, Sierra Leon, Lebanon, Bosnia-Herzegovina, dan Albania.
Konstitusi negara-negara ini tidak menyebutkan Islam sebagai dasar negara maupun agama resmi negara, tapi juga tidak menegaskan diri sebagai negara sekular atau frase padanannya. Agama disebutkan secara netral. Konstitusi Indonesia, Albania, Bosnia, dan Sierra Leon, tidak menyebut nama agama secara spesifik, tapi kata “agama” (religion) disebut beberapa kali.
Dari ketiga atau keempat kategori ini, kita bisa memprediksi negara-negara mana yang punya potensi untuk menjadi demokrasi dan negara-negara mana yang kesulitan mengembangkan demokrasi.
Salah satu cara melihatnya adalah dengan merujuk lembaga-lembaga yang memberikan peringkat atau indeks demokrasi.
Tabel di bawah ini memberikan gambaran ada di mana kelompok-kelompok negara itu. Data ini saya ambil dari the Economist Intelligent Uniet (EIU), lembaga yang secara rutin mengeluarkan laporan tahunan tentang indeks demokrasi di dunia.
Indeks Demokrasi 10 Negara Muslim Teratas
No Negara Kategori Populasi Persentase Skor Jenis
1 Malaysia SNI 31.528.585 61,3 7,16 Flawed
2 Tunisia SNI 11.565.204 99,8 6,72 Flawed
3 Indonesia SNS 267.663.435 87,2 6,48 Flawed
4 Albania SNS 2.866.376 58,8 5,89 Hybrid
5 Bangladesh SNI 161.356.039 90,4 5,88 Hybrid
6 Senegal NS 15.854.360 96,1 5,81 Hybrid
7 Maroko SNI 36.029.138 99 5,1 Hybrid
8 Mali NS 19.077.690 95 4,92 Hybrid
9 Kyrgyzstan NS 6.315.800 80 4,89 Hybrid
10 Sierra Leone SNS 7.650.154 78,6 4,86 Hybrid
Sumber: the Economist Intelligent Unit, 2019.
Tabel di atas menjelaskan, tidak ada satupun negara Islam yang masuk 10 besar negara muslim paling demokratis. Ada 3 negara sekular, 3 semi negara sekular, dan 4 semi negara Islam.
Dalam tabel ini, negara netral agama (baik yang semi-Islam maupun yang semi-sekular) memiliki peluang demokrasi lebih tinggi ketimbang negara-negara sekular (dan tentu saja negara-negara Islam).
Salah satu penjelasannya adalah karena negara-negara ini berusaha memberikan ruang bagi agama dan sekularisme. Negara-negara yang menerapkan prinsip sekularisasi secara kaku, seperti Turki, mendapat kesulitan dalam menegosiasikan dua kecenderungan ini, sehingga menimbulkan polarisasi yang tajam dalam masyarakat. Ujung-ujungnya, negara-negara seperti ini memunculkan penguasa otoriter, baik dari latar belakang militer atau Islam.
Negara sekular, yang konstitusinya secara tegas memisahkan urusan agama dan negara sejatinya adalah negara yang paling berpeluang menjalankan demokrasi liberal. Negara-negara jenis ini tidak memiliki hambatan “legal” untuk menjalankan demokrasi.
Kalau negara-negara seperti ini gagal dalam menjalankan demokrasi, umumnya karena modal sosialnya (masyarakat) kurang mendukung atau elite politiknya korup atau inkompeten.
Sementara itu, negara-negara netral agama, baik yang semi-Islam (SNI) maupun semi-sekular (SNS), pada dasarnya memiliki hambatan legal, meskipun tidak separah Negara Islam.
Dalam bagian berikut, saya akan menjelaskan dua hambatan penting yang dialami negara netral agama, dengan mengambil Indonesia sebagai contoh. Perlu saya tekankan di sini, setiap kali kita bicara tentang hambatan demokrasi, yang kita maksudkan adalah demokrasi liberal, bukan hanya demokrasi elektoral.
Sebagian besar negara muslim mampu menjalani demokrasi elektoral, tapi selalu gagal atau kesulitan menaikkan dirinya ke jenjang yang lebih tinggi, yakni demokrasi liberal. Apa yang para ilmuwan bicarakan belakangan ini dengan pudarnya demokrasi sebetulnya adalah redupnya demokrasi liberal.
Secara elektoral, demokrasi Indonesia baik-baik saja, atau mungkin semakin matang, tapi secara substansial, ada masalah besar. Saya menyebutnya “hambatan” atau “kendala” demokrasi Indonesia.
Hambatan Konstitusi
Kendala pertama dan utama demokrasi di Indonesia adalah konstitusi. Indonesia adalah salah satu negara “netral agama” yang konstitusinya menyimpan sejumlah masalah.
Dihasilkan lewat perdebatan panas, rumit, dan panjang, konstitusi Indonesia adalah hasil kompromi antara kaum sekular nasionalis dan kelompok Islam. Perdebatan tentang pembentukan konstitusi Indonesia sudah sering diulas para sarjana (Boland, 2013; Effendy, 2003).
Saya tidak ingin mengulanginya di sini. Sejarah pembuatan konstitusi yang rumit ini bukan hanya menyisakan problem bagi sejarah politik Indonesia, khususnya karena ketidakpuasan kelompok Islam, tapi juga menyimpan problem pada beberapa pasalnya.
Konstitusi Indonesia adalah salah satu dokumen yang paling banyak menyebut kata “agama” di dalamnya. Tidak kurang dari 13 kali, kata agama disebut, umumnya dalam konteks penekanan pentingnya menjaga nilai dan norma. Meskipun kata “Islam” tidak disebut, agama ini memainkan peran penting dalam menafsirkan konstitusi.
Hak-hak dasar yang terkait dengan keyakinan dan agama, harus tunduk pada tafsir yang dipahami oleh ortodoksi Islam. Karena itu, dalam konteks ini, kebebasan beragama, meskipun dijamin UUD, maknanya harus mengikuti tafsir dan pemahaman kelompok mayoritas.
Mereka menganggap pasal-pasal pengaturan agama dalam konstitusi sebagai upaya untuk menjaga law and order, terlepas bahwa pasal ini bisa mendiskriminasi hak-hak minoritas, baik keyakinan yang tidak diakui oleh negara maupun ateisme.
Ketegangan antara kelompok Islam dan sekular itu terus membebani sejarah Indonesia, bahkan jauh setelah Indonesia merdeka. Setelah Soeharto jatuh pada 1998 dan parlemen baru dibentuk setahun kemudian, upaya amandemen untuk menjadikan UUD 1945 lebih demokratis dan lebih adil, tidak juga berhasil.
Kelompok Islam tidak mati, bahkan tambah kuat (Bruinessen 2010 dan 2013). Mereka mencoba mendesakkan agenda Islamis, seperti mengembalikan tujuh kata dan memasukkan pasal-pasal Islami ke dalam usulan amandemen. Diskusi-diskusi UUD seperti mengalami dejavu. Indonesia terbelah lagi antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sekular.
Meskipun ada beberapa tambahan pasal, seperti soal pembatasan masa jabatan presiden, isu HAM, dan otonomi daerah, dalam soal hubungan agama dan negara, konstitusi Indonesia tetap ambigu.
Salah satu sumber masalah yang kerap menjadi perdebatan di kalangan ahli dan aktivis kebebasan adalah Pasal 29, yang menyatakan “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah pasal yang sudah ada pada konstitusi lama, yang kerap menjadi inspirasi kelompok Islam dan kalangan konservatif untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara religius.
Pasal ini kerap dirujuk untuk melawan gerakan kebebasan yang dinilai bertentangan dengan agama. Dengan merujuk pasal ini, mereka menganggap ateisme atau keyakinan tidak adanya tuhan sebagai paham sesat yang bertentangan dengan UUD.
Berbagai penelitian tentang ateisme di Indonesia menjelaskan resistensi masyarakat (kelompok beragama) terhadap ateisme karena mereka meyakini ateisme dilarang oleh UUD (Schäfer 2016; Duile 2018; Hasani 2016). Orang-orang ateis bisa tetap hidup di Indonesia, tapi mereka tidak bisa menegaskan identitas mereka ke publik.
Orang yang mengaku ateis bisa dikriminalkan dan dihukum (Schäfer 2016: 265). Pasal ini menjadi payung bagi undang-undang illiberal lainnya, yang sudah banyak mengirimkan orang ke penjara (saya akan menjelaskannya nanti).
Pasal 29 dan Sila Pertama Pancasila (termuat dalam preambule konstitusi) adalah kendala utama bagi demokrasi liberal. Kendati soal ini terus menjadi perdebatan di kalangan intelektual dan sarjana di Indonesia, tafsir mainstream terhadap pasal ini mengerucut pada satu kesimpulan: Indonesia tidak bisa menerima keberadaan orang ateis.
Kendati kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin UUD (Pasal 28E), kebebasan tidak beragama dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dan jika dinyatakan di muka umum bisa dikenakan Pasal Penodaan Agama.
Ketika proses amandemen dilakukan pada 1999-2002, tidak ada partai-partai sekular yang berani mengutak-atik Pasal 29 ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Kelompok Islam ingin mengamandemen pasal ini dengan mengembalikan tujuh kata di belakang ayat pertama (Hosen, 2007).
Dengan situasi seperti itu, hampir mustahil partai krusial yang selalu menjadi rujukan kaum konservatif untuk melakukan diskriminasi, diamandemen. Bagi kaum sekular, lebih baik menerima pasal yang ada, daripada kaum Islamis meminta lebih. Dengan semakin meruyaknya konservatisme di Indonesia, ide amandemen terhadap konstitusi bisa menjadi ancaman terhadap kebebasan.
Hambatan Hukum
Sumber kedua yang menjadi pemicu tindakan-tindakan yang merusak kualitas demokrasi Indonesia, baik yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah, adalah hukum dan aturan-aturan yang illiberal.
Temuan-temuan lembaga pemeringkat demokrasi, seperti Freedom House dan the Economist Intelligence Unit (EIU) kerap merujuk peristiwa-peristiwa illiberal yang menyebabkan skor demokrasi dan kebebasan Indonesia turun, atau sulit untuk naik.
Mari kita lihat bagaimana peristiwa-peristiwa intoleran terkait erat dengan peran undang-undang dan aturan yang berlaku di Indonesia.
Salah satu yang paling sering memicu keresahan dan diskriminasi adalah UU tentang penodaan agama.
UU ini dikeluarkan pertama kali pada 1965. Salah satu tujuannya, menertibkan keriuhan yang kerap terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan meruyaknya aliran kepercayaan dan ketegangan antara kelompok Islam dan Komunis.
Kelompok Islam merasa resah dengan keberadaan aliran kepercayaan yang paraktik-praktiknya dinilai melanggar agama. Begitu juga, mereka merasa gerah dengan kampanye-kampanye PKI yang kerap menyinggung agama (Crouch, 2012:3).
Untuk mengatasi itu, mereka meminta presiden Soekarno agar segera mengeluarkan aturan yang intinya melarang orang menghina agama. Merasa krusial atau Soekarno ingin mengambil hati kelompok Islam, dia meresponsnya dan mengeluarkan surat penetapan presiden yang dikenal dengan PP No. 1 Tahun 1965.
Empat tahun kemudian (1969), Presiden Soeharto menaikkan statusnya menjadi UU yang dikenal dengan UU No 1/PNPS/1965 dan memasukkannya sebagai bagian dari KUHP Pasal 156a. Sejak saat itu, UU yang dikenal dengan sebutan “UU Penodaan Agama” ini berlaku sampai sekarang.
Inti dari UU ini adalah mencegah hal-hal yang dianggap melenceng dari ortodoksi agama, khususnya Islam. Pasal pertama, misalnya, menegaskan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu.”
Seperti yang bisa dilihat, artikel ini bukan hanya membatasi aktivitas ibadah kaum beragama, agar sesuai dengan ortodoksi, tapi juga melarang mereka menafsirkan ajaran-ajaran agama yang berbeda dari pemahaman mainstream.
Dengan kata lain, pasal ini bukan hanya mengancam kebebasan beragama seseorang, tapi juga kebebasan berpandangan dan berpendapatnya. Seorang beragama yang mengajarkan suatu pemikiran agama yang berbeda dari pemahaman umum, bisa terancam hukuman penjara.
Dalam praktiknya, sudah ratusan orang diadukan karena dianggap melecehkan agama akibat penafsirannya. Sebagian kasus ini diproses dan berakhir di meja hijau. Tidak sedikit yang berlanjut ke penjara.
Melissa Crouch mencatat, selama era Soeharto, setidaknya ada 29 kelompok minoritas agama yang dilarang berkegiatan, karena dianggap menyimpang dan melanggara UU ini.
Setelah Reformasi, sejak 1998 hingga 2009, pelarangan terhadap aliran-aliran yang dianggap berbeda semakin meningkat. Tidak kurang dari 50 kelompok minoritas dilarang berkegiatan. (Crouch, 2012:9-10).
Angkanya terus bertambah. Dengan adanya internet dan khususnya media sosial, isu-isu penodaan agama menjadi hal biasa. Diperkuat dengan UU lain yang juga anti-liberal, yakni UU ITE, UU Penodaan Agama menjadi instrumen yang paling ampuh memberengus kebebasan orang.
Upaya me-review UU itu pernah dilakukan pada 2010, tapi mengalami kegagalan. Dengan tekanan massa dan kelompok konservatif yang begitu besar, Mahkamah Konstitusi tampaknya tak mau mengambil risiko, dan memilih menolak usulan uji materi UU.
Sejak gagalnya judicial review ke MK ini, puluhan korban jatuh. Ada kasus Alexander Aan yang dinyatakan bersalah dan dihukum 2,5 tahun penjara, ada kasus Meiliana yang dihukum 1,6 tahun penjara, ada kasus Reza Hazuwen yang dihukum 2 tahun, ada Aking Saputra yang dihukum 1,6 tahun penjara, dan ada Andrew Handoko Putra, yang dihukum 1,6 tahun penjara (Amnesty International 2014; Telle 2018).
Namun dari semua kasus yang pernah terjadi, yang paling fenomenal adalah kasus yang menimpa Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama, mantan gubernur Jakarta, yang diputus bersalah dan dihukum dua tahun penjara.
Kasus Ahok adalah peristiwa yang paling memalukan dan terburuk sepanjang sejarah kebebasan di Indonesia. Seorang pejabat negara yang cakap, diperkarakan karena dituduh menodai agama. Bahkan, tuduhannya pun dibuat-buat.
Sudah banyak tulisan tentang kasus ini (lihat misalnya Peterson 2018 dan Mietzner 2019). Yang patut digarisbawahi adalah bahwa kasus Ahok lebih banyak aspek politiknya. Ahok adalah seorang Kristen, keturunan China, yang kebijakan-kebijakannya banyak merugikan pengusaha dan kelompok-kelompok intoleran di Indonesia.
Saya menyebut dua kelompok ini (pengusaha dan kaum intoleran) sebagai unholly alliance yang memainkan peran sangat penting dalam demo-demo anti-Ahok (Assyaukanie 2017).
Tapi, kasus Ahok –dan yang lainnya– tak akan pernah ada kalau tak ada UU Penodaan Agama.
Kendala kedua yang bersumber dari produk hukum adalah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). UU ini dengan jelas menggerogoti kebebasan dan memberikan kontribusi besar bagi rusaknya demokrasi di Indonesia.
UU ITE dikeluarkan pada 2008 dan mengalami amandemen pada 2016. Ini adalah murni undang-undang yang muncul di era demokrasi, tapi memiliki konsekuensi yang sangat buruk bagi kualitas demokrasi.
Seperti namanya, UU ini dimaksudkan untuk merespons fenomena baru, yakni internet. Pada mulanya, UU ini dibuat untuk mengatasi banyaknya transaksi palsu, penipuan, dan peretasan di dunia maya. Belakangan, dalam proses pembuatannya, UU ini memasukkan beberapa pasal yang terkait dengan pengaturan konten.
Sebagian besar masalah yang terkait dengan demokrasi dan kebebasan yang diakibatkan dari UU ini berasal dari pasal-pasal yang terkait dengan konten, yang hampir semuanya termaktub dalam Bab 7.
Ada dua pasal dalam Bab 7 yang kerap digunakan untuk menangkap orang yang kedapatan menyuarakan pendapatnya di media sosial atau di internet secara umum, yakni Pasal 27 dan Pasal 28.
Pasal 27 memuat berbagai larangan orang untuk membuat dan menyebarkan konten yang memuat pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, atau pengancaman. Sedangkan
Pasal 28 memuat berbagai larangan orang untuk membuat dan menyiarkan konten yang memuat berita bohong, berita menyesatkan, informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dua pasal ini kerap digunakan, baik oleh masyarakat atau pemerintah, untuk memperkarakan orang.
Patut dicatat di sini bahwa amandemen 2016 pada UU ITE mengubah jenis UU dari delik umum menjadi delik aduan. Sebelumnya, polisi bisa menangkap siapa saja yang dianggap melanggar UU ITE, tapi sejak diamandemen, polisi tidak bisa memproses suatu kasus jika tidak ada warga yang mengadukannya.
Tapi, aturan ini bukannya mengurangi kasus-kasus terkait dengan pelanggaran ITE. Justru sebaliknya, orang dengan mudah datang ke kantor polisi dan memasukkan laporan pengaduan tentang apa saja yang mereka anggap melanggar UU itu.
Safenet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) mencatat, selama tiga tahun, sejak versi revisi diberlakukan (Desember 2016) hingga akhir 2019, polisi menerima tak kurang dari 118 aduan dari masyarakat (Safenet, 2020). Sebagian besar tentang ujaran kebencian dan penghinaan.
Korban pertama yang dijerat UU ini adalah Prita Mulyasari, seorang ibu beranak dua, yang melakukan komplain terhadap Rumah Sakit (RS) Omni Internasional. Prita adalah pasien RS tersebut yang merasa telah didiagnosa secara salah.
Dia menceritakan kasusnya lewat email secara privat, tapi kemudian menyebar ke internet. Atas tindakannya ini, dia diadukan ke polisi dan dijatuhi hukuman 6 bulan penjara.
Kasus Prita menarik perhatian publik dan memicu simpati dari berbagai kalangan. Masyarakat yang simpati dengan Prita menggalang solidaritas dengan membuat “Koin untuk Prita,” untuk membantunya membayar denda, sanksi tambahan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya.
Kasus Prita merupakan ancaman besar bagi kebebasan orang untuk mengemukakan pandangannya, khususnya jika dia memiliki komplain terhadap suatu perusahaan atau lembaga. Meskipun Prita tak merasa menyebarluaskan emailnya, dia terjerat Pasal 27 tentang pencemaran nama baik.
Seperti sudah disebutkan, UU ITE tak hanya digunakan oleh anggota masyarakat, perusahaan, atau lembaga yang merasa keberatan dengan suatu konten di internet. Tapi juga digunakan oleh para politisi dan pemerintah untuk menangkapi lawan-lawan politik mereka.
Selama rentang 2017 dan 2019 kasus-kasus pelaporan UU ITE melonjak tajam, umumnya dipicu perbedaan politik. 2017 adalah tahun terjadinya Pilkada DKI, sedangkan 2019 adalah tahun diselenggarakannya Pemilu.
Naiknya kasus-kasus ITE selama periode ini juga terkait dengan lonjakan pengguna internet di Indonesia. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pertumbuhan tajam pengguna internet di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2014, pengguna internet Indonesia berjumlah 88,1 juta (APJII, 2014). Pada 2018 angkanya menjadi 171,1 juta (APJII, 2018), atau naik hampir dua kali lipat.
Pengguna Facebook di Indonesia menempati urutan ke-3 di dunia, pengguna Twitter ke-5 di dunia, dan pengguna Youtube nomor satu di Indonesia. Di tahun-tahun politik, tiga media sosial ini sangat aktif digunakan untuk bertukar informasi dan kampanye politik. Dan sebagian besar kasus yang diadukan ke polisi bersumber dari tiga media ini.
Dari daftar nama-nama yang dilaporkan Safenet karena kasus ITE, khususnya antara rentang 2015 hingga 2019, sebagian besar terkait dengan politik atau sentimen karena keberpihakan pada kandidat tertentu dalam Pemilu. Nama-nama kondang, politisi, aktivis, dan pengusaha, tercatat di dalamnya.
Sebagian laporan-laporan itu berlanjut ke meja hijau dan berujung ke penjara. Sebagian lainnya, terhenti di penyidikan, karena kekurangan bukti.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat dengan terang apa yang menjadi sebab sesungguhnya bagi redupnya demokrasi Indonesia. Para sarjana dan pengamat luar negeri menyebut sejumlah sebab, seperti naiknya populisme (Hadiz 2017), inkompetennya elit politik (Aspinall 2019; Mietzner 2012), penguasa yang tak liberal (Power 2018), dan meningkatnya konservatisme agama (Mietzner 2018).
Tidak ada yang salah dari penjelasan mereka. Yang kurang adalah mempertanyakan mengapa semua sebab itu terjadi in the first place? Mengapa populisme muncul? Mengapa konservatisme merebak? Dan mengapa penguasa semena-mena?
Saya melihat karena ada lanskap legal (dan konstitusional) yang menyediakan dan membuka peluang bagi semua sebab itu terjadi.
Penangkapan orang dan peristiwa Ahok tak akan pernah ada kalau tak ada UU Penistaan Agama. Pemenjaraan Ahmad Dhani dan lain-lain tak akan pernah ada kalau tak ada UU ITE. Akar masalah semua peristiwa yang menghancurkan kualitas demokrasi di Indonesia bersumber dari konstitusi dan produk-produk hukumnya.
Tulisan ini hanya menjelaskan dua produk hukum illiberal, sebagai contoh.
Ada beberapa produk hukum lain yang tak kalah bahayanya dari dua UU itu. Selama konstitusi Indonesia memberikan peluang bagi praktik-praktik diskriminasi dan UU yang dengan mudah digunakan oleh penguasa maupun masyarakat untuk memenjarakan orang, selama itu pula demokrasi Indonesia sulit berkembang.
Konstitusi dan UU adalah fondasi bagi jalannya demokrasi. Indonesia mengandung cacat ini. Demokrasi Indonesia tak akan pernah bisa lebih baik dari apa yang sudah dicapainya selama hambatan demokrasi ini terus dipelihara.
Washington DC, 12 April 2020
Luthfi Assyaukanie, Ph.D
Menyelesaikan PhD-nya dalam bidang sejarah politik di Universitas Melbourne, Australia. Selain mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, Luthfi mendirikan dan mengelola platform riset Faktadata.
Sejak Maret 2020, bekerja sebagai research fellow di National Endowment for Democracy (NED) di Washington DC, Amerika Serikat, untuk sebuah proyek penelitian tentang pudarnya demokrasi di negara-negara Muslim.
Bibliografi
- Amnesty International. Prosecuting Beliefs: Indonesia’s Blasphemy Laws. London, 21 November 2014.
- APJII. Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta: APJII, 2014.
- APJII. Penetrasi dan Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018. Jakarta: APJII, 2018
- Aspinall, E. and Warburton, E. “Indonesia: The Dangers of Democratic Regression.” Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 129.
- Aspinall, E.; Fossati, D.; Muhtadi, B.; Warburton, E. “Elites, Masses, and Democratic Decline in Indonesia.” Democratization 2019, 1–22.
- Assyaukanie, Luthfi. “Unholy alliance: Ultra-conservatism and political pragmatism in Indonesia,” Thinking ASEAN 19, January 2017.
- Bland, B. Politics in Indonesia: Resilient Elections, Defective Democracy. Lowy Institute, 2019.
- Boland, B. J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia; Springer Science & Business Media, 2013.
- Bruinessen, M. van. Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia; Routledge, 2010.
- Bruinessen, M. van. Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn”; Institute of Southeast Asian Studies, 2013.
- Crouch, M.A. “Law and Religion in Indonesia: The Constitutional Court and the Blasphemy Law.” Asian Journal of Comparative Law 2012, 7, 1–46.
- Duile, Timo. “Atheism in Indonesia.” South East Asia Research 2018, 26 (2), 161–175.
- Effendy, Bahtiar. Islam and the State in Indonesia; Institute of Southeast Asian Studies, 2003.
- Hadiz, V.R. “Indonesia’s Year of Democratic Setbacks: Towards a New Phase of Deepening Illiberalism?” Bulletin of Indonesian Economic Studies 2017, 53 (3), 261–278.
- Hasani, I. “The Decreasing Space for Non-Religious Expression in Indonesia : The Case of Atheism,” dalam Lindsey, T.; Pausacker, H. Religion, Law and Intolerance in Indonesia; Routledge, 2016.
- Hosen, N. Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia; Institute of Southeast Asian Studies, 2007.
- Kurlantzick, J. “Southeast Asia’s Regression From Democracy and Its Implications.” Working Paper, New York, 2014.
- Levitsky, S.; Ziblatt, D. How Democracies Die; Crown, 2018.
- Liddle, R. William dan Saiful Mujani. “Indonesian Democracy from Transition to Consolidation.” Dalam Mirjam Künkler dan Alfred Stepan. Democracy and Islam in Indonesia. Columbia University Press, 2013.
- Mietzner, Marcus. “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society.” Democratization 2012, 19 (2), 209–229.
- Mietzner, Marcus and B. Muhtadi. “The Mobilisation of Intolerance and Its Trajectories: Indonesian Muslims’ View of Religious Minorities and Ethnic Chinese,” in Fealy, G.; Ricci, R. Contentious Belonging: Contentious Belonging; ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2019.
- Mietzner, Marcus; B. Muhtadi; R. Halida. “Entrepreneurs of Grievance: Drivers and Effects of Indonesia’s Islamist Mobilization.” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 2018, 174 (2–3), 159–187.
- Mietzner, Marcus. “Party Financing in Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption.” Contemporary Southeast Asia 2007, 29 (2), 238–263.
- Osman, M.N.M. “Fear and Loathing: Uncivil Islamism and Indonesia’s Anti-Ahok Movement.” Indonesia 2018, No. 106, 89–109.
- Peterson, D. “Blasphemy, Human Rights, and the Case of Ahok.” The Asian Yearbook of Human Rights and Humanitarian Law. Volume 2, 2018, 52–94.
- Power, T.P. “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 2018, 54 (3), 307–338.
- Runciman, D. How Democracy Ends; Profile, 2018.
- Safenet. “Daftar Kasus Netizen yang Terjerat UU ITE.” https://id.safenet.or.id/daftarkasus/. Diakses pada 10 April 2020.
- Schäfer, Saskia. “Democratic Decline in Indonesia: The Role of Religious Authorities.” Pacific Affairs, Volume 92, Number 2, June 2019, pp. 235-255.
- Schäfer, Saskia. “Forming ‘Forbidden’ Identities Online: Atheism in Indonesia.” Austrian Journal of South-East Asian Studies 2016, 9 (2), 253–268.
- Telle, K. “Faith on Trial: Blasphemy and ‘Lawfare’ in Indonesia.” Ethnos 2018, 83 (2), 371–391.
- Tomsa, Dirk. “Indonesian Politics in 2010: The Perils of Stagnation.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 2010, 46 (3), 309–328.
- Warburton, E. “Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion.” Contemporary Southeast Asia 41(2): 255-285.