Penulis: Dedi Setiawan S.H
Swakarya.Com. Sebelum membahas urgensi pembentukan Balai Pemasyarakatan (Bapas) disetiap Kota/Kabupaten, seyogyanya terlebih dahulu mengenal secara garis besar apa itu Bapas. Dalam Pasal 1 Ayat (18) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan, yang dimaksud dengan Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Pembimbing Kemasyarakatan merupakan salah satu Pejabat Fungsional Tertentu di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM khususnya Balai Pemasyarakatan.
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi No. 22, Pejabat fungsional Pembimbing Kemasyarakatan adalah Aparatur Sipil Negara yang diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksankan kegiatan di bidang bimbingan kemasyarakatan yang merupakan bagaian yang melekat pada tugas Balai Pemasyarakatan. Bimbingan kemasyarakatan sendiri meliputi penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, pengawasan, dan sidang tim pengamat pemasyarakatan.
Sehinga optimalisasinya tupoksi Bapas tergantung dengan jumlah dan kinerja Pembimbing Kemasyarakatan yang didukung dengan jumlah Bapas yang memadai sesuai dengan amanat Undang-Undang.
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 4 ayat 1 dan 2) mengamanatkan Bapas didirikan di setiap kabupaten/kota, selain itu didalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengamanatkan pembentukan Balai Pemasyarakatan disetiap kabupaten/kota. Pembukaan Pos Balai Pemasyarakatan sepertinya diperlukan mengingat meningkatnya peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) saat ini dimana PK sangat diperlukan dalam hal pendampingan Anak, bahkan sudah dilibatkan dalam tahap pra-adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi sehingga perlu pelayanan yang efektif dan effiesn serta rsponsif demi menciptakan pelayanan yang prima.
Sehingga keberadaan Bapas dapat hadir lebih dekat ke masyarakat dalam memberikan layanannya.
Pasal 105 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan:
Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang ini:
a. setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik;
b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum;
c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun Bapas di kabupaten/kota;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial wajib membangun LPKS.
Mengingat pentingnya tanggungjawab yang diemban Pembimbing Kemasyarakatan sudah tepat jika keberadaan Bapas harus menjangkau secara luas kabupaten dan kota di Indonesia. Saat ini untuk wilayah kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan terdapat 4 (empat) Balai Pemasyatakatan yaitu Bapas Kelas I Palembang, Bapas Kelas II Lahat, Bapas Kelas II Ogan Komering Ulu dan Bapas Kelas II Musi Rawas Utara.
Sedangkan jumlah Kabupaten Kota di Sumatera Selatan saat ini berjumlah 17 (tujuh belas) kabupaten/kota. Selama dua tahun terakhir ini Bapas Kelas I Palembang mengirimkan pegawai untuk diperbantukan ke Bapas Kelas II Ogan Komering Ulu dan Bapas Kelas II Musi Rawas Utara untuk melaksanakan tugas Bimbingan kemasyarakatan oleh Pembimbing Kemasyarakatan karena jumlah Pembimbing Kemasyarakatan di Bapas tersebut belum memadai.
Selain jumlah Pembimbing Kemasyarakatan yang belum ideal, terdapat beberapa daerah yang belum terjangkau secara maksimal oleh Bapas yang sudah ada. Mengingat didalam Pendampingan Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) didalam sistem peradilan pidana anak, Pembimbing Kemasyarakatan harus turun mendampingi ABH sejak tahap Pra-adjudikasi yang artinya ABH tersebut berada di Polsek yang terkadang berada jauh dari jangkauan Bapas yang ada.
Sedangkan didalam penggalian data penelitian kemasyarakatan (Litmas) harus menggali secara menyeruh baik itu dari ABH, penyidik, masyarakat, keluarga dan pemerintah setempat yang mengharuskan Pembimbing Kemasyarakatan harus terjun langsung ke lapangan untuk menghasilkan Litmas yang berkualitas dan memberikan rekomendasi yang sesuai sehingga menjadi pertimbangan aparat penegak hukum lain terutama hakim didalam mengambil keputusan.
Selain itu Pembimbing Kemasyarakatan atau Bapas mengambil adil penting didalam memenuhi hak-hak warga binaan pemasyarakatan yang memenuhi hak-haknya dalam memperoleh program re-integrasi seperti Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Yang berdampak langsung pada pengurangan tingkat over kapasitas, Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per tanggal 09 September 2021 jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia berjumlah 266.663 orang dengan kapasitas seharusnya berjumlah 132.107 orang, dengan kata lain telah terjadi over kapasitas sebanyak 134.556 orang atau sekitar 201%.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-40.PK.01.04.03 Tahun 2019 disebutkan pemetaan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan pelayanan dan pembinaan Pemasyarakatan disebabkan wilayah kerja Bapas terlampau luas.
Sementara itu, jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Pembimbing Kemasyarakatan, sarana dan prasarana, serta daya dukung operasional lainnya sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah WBP yang harus dilayani. Sedangkan WBP yang telah berada diluar atau disebut Klien Bapas, harus melakukan wajib lapor selama menjalani masa pembimbingan di Bapas dan Pembimbing Kemasyarakatan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap Klien Bapas tersebut agar pembimbingan terhadap klien terpenuhi serta resiko Klien Bapas mengulang tindak pidana dapat diminimalisir.
Kondisi tersebut pada gilirannya menggangu optimalisasi pelayanan dan pembinaan menjadi tidak optimal.
Kondisi tersebut mengambarkan kondisi yang belum ideal, sehingga pembentukan Bapas di Kabupaten Kota merupakan keharusan yang harus bertahap direalisasikan demi optimalisasi tugas dan fungsi Balai Pemasyarakatan sesuai dengan amanat Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 4 ayat 1 dan 2) mengamanatkan Bapas didirikan di setiap kabupaten/kota. Bahkan Pasal 105 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan pembentukan Bapas di setiap Kabupaten/Kota paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang tersebut disahkan. Sehingga pada tahun 2017 harusnya pembentukan Bapas di setiap Kabupaten/Kota harusnya sudah terlaksana.
Perlu adanya politik hukum yang kuat dari pemerintah agar terlaksana dengan baik pembentukan Bapas di setiap kota/kabupaten terlaksana dengan baik sehingga fungsi dan tugas Bapas dapat berjalan dengan baik. Pembangunan Pos Bapas merupakan Langkah tepat mengingat keterbatasan anggaran dan sarana prasana dengan bekerja sama dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau pemerintah daerah agar bisa mendukung upaya Bapas dalam peningkatan pelayanan publik serta semakin dekat dan dikenal masyarakat karena pada umumnya masih banyak masyarakat/pemerintah yang belum tahu apa itu Bapas dan apa tugas dan fungsinya.
Jika pemerintah daerah dan masyarakat sudah mengenal dengan baik Bapas dan keberadaanya sangat dirasa perlu pembentukan sebuah satuan kerja baru dari Pos Bapas tentu akan terlaksana sebab pendampingan ABH dari pihak kepolisian harus dilaksanakan cepat dan peningkatan pelayanan bagi WPB di Lapas / Rutan setempat akan terlayani dengan baik. Perlu kolaborasi yang menyeluruh antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dan Pemerintah Daerah untuk merealisaikan amanat Undang-Undang Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan agar keberadaan Bapas di setiap Kota / Kabupaten dapat terlaksana dibaringi dengan pemenuhan kualitas dan jumlah SDM yang mumpuni terutama Pembimbing Kemasyarakatan.***